Militer Myanmar Takut Kehilangan Kekuasaan Politik dan Ekonomi
Tujuan kudeta bisa berhasil jika membawa kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kudeta dianggap gagal jika hanya membawa kemakmuran elite dan penderitaan bagi rakyat.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Kemewahan kekuasaan politik dan ekonomi selama lebih dari lima dekade membuat elite militer Myanmar nyaman. Kemapanan itu kini terusik oleh menguatnya demokrasi dan kekuasaan sipil.
Baru saja mencoba bangkit dan tertatih-tatih menjalani proses transisi demokrasi, Myanmar kembali digoyang kudeta militer. Myanmar sudah tak asing dengan kudeta. Setidaknya, Myanmar mengalami tiga kali kudeta militer, yakni tahun 1962, 1988, lalu 1989.
Sama seperti kudeta tahun ini, alasan kudeta sedari dulu karena militer hendak memulihkan situasi politik dan keamanan. Setelah kudeta, juga selalu ada janji akan ada pemilu baru. Sama seperti yang dijanjikan pemimpin tertinggi militer, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, kali ini.
Pada kudeta kali ini, militer segera menyatakan negara dalam status darurat selama satu tahun. Militer menunjuk Wakil Presiden, Jenderal Myint Swe, menjadi presiden sementara. Selama masa darurat ini, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial diserahkan kepada Hlaing.
Gelagat kudeta sudah terlihat sejak militer menuduh ada kecurangan dalam pemilu, November lalu, dan menuntut komite pemilu merilis daftar pemilih. Namun, tuntutan ini diabaikan karena komite pemilu meyakini tidak ada kecurangan.
Hasil Pemilu 2020 menunjukkan proses demokrasi berjalan hingga partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi menang telak 83 persen. Proses demokrasi Myanmar dimulai 2011 dan pada Pemilu 2015 NLD menang dan memberi Suu Kyi kekuasaan.
Hanya saja, kekuasaan itu tidak mutlak karena di dalam konstitusi 2008, yang disusun oleh militer, militer mendapat jaminan kursi 25 persen di parlemen. Militer juga memiliki kekuatan memveto perubahan konstitusi, seperti yang diperjuangkan Suu Kyi dan NLD.
Militer panik
Perjuangan mengubah konstitusi 2008 ini membuat militer tak nyaman. Suu Kyi juga dicurigai hendak mengubah pembagian kekuasaan antara militer dan sipil yang selama ini berjalan.
Menurut pengamat politik internasional di Sekolah Sejarah dan Hubungan Internasional, Flinders University, Australia, Priyambudi Sulistiyanto, militer Myanmar panik ketika NLD menang telak dengan 83 persen suara.
Militer khawatir tidak akan bisa menguasai parlemen lagi meski memiliki 25 persen kursi. Jika NLD menguasai parlemen, berarti konstitusi 2008 akan bisa diamandemen.
”Mungkin sipil tidak menyadari ada klausal status darurat jika kondisi negara dianggap tidak stabil yang dijadikan celah bagi militer untuk mengambil alih kekuasaan. Klausal itu mungkin dibuat militer untuk berjaga-jaga,” kata Priyambudi.
Di dalam konstitusi 2008 memang disebutkan militer bisa mengambil alih kekuasaan untuk mencegah situasi yang bisa memecah-belah persatuan atau mengganggu solidaritas nasional atau mencegah tindakan yang bisa menyebabkan kehilangan kedaulatan.
Militer jelas khawatir karena sejak lama sudah ikut menentukan arah politik Myanmar di tengah hubungan yang kurang harmonis dengan pemerintah sipil. Belum lagi mengingat kepentingan ekonomi atau bisnis militer.
Karena sudah lama berkuasa, menurut Priyambudi, transisi kekuasaan dari militer ke sipil seharusnya dilakukan secara bertahap dan butuh waktu lama. Barangkali juga akan dibutuhkan generasi politisi baru yang berpandangan lebih realistis.
”Saya khawatir Suu Kyi akan mendorong pendukungnya melawan dan menolak kudeta. Jika ini terjadi, bisa berdarah-darah lagi. Sebaiknya transisinya pelan-pelan. Indonesia bisa dicontoh karena transisi demokrasinya relatif lebih baik ketimbang Myanmar atau Thailand,” kata Priyambudi.
Faktor China
Komunitas internasional terutama negara-negara Barat mengecam kudeta Myanmar bahkan Amerika Serikat mengancam akan kembali menjatuhkan sanksi. Namun, ada juga yang tidak bisa atau tidak mau bersikap seperti sejumlah negara anggota ASEAN karena memegang prinsip nonintervensi.
China bisa membantu negosiasi di balik layar dengan militer Myanmar.
China pun memilih tidak bersikap. Ini karena China memiliki kepentingan di Myanmar, yakni proyek membuka jalur dari Yunan ke Laut Andaman yang melalui Myanmar.
”China bisa membantu negosiasi di balik layar dengan militer Myanmar. Kuncinya, bagaimana bisa meyakinkan China bahwa transisi demokrasi itu penting. China juga tidak akan mau kondisi Myanmar kacau karena punya kepentingan di Myanmar,” kata Priyambudi.
Myanmar bergantung pada China sejak 1980-an karena dijatuhi sanksi oleh komunitas internasional gara-gara kekuasaan junta militer yang otoriter. Kali ini pun Myanmar terancam sanksi lagi. Namun, menurut Foreign Affairs, 2 Februari 2021, sanksi berat sekalipun tidak akan mampu mematahkan para pimpinan militer yang ada di balik kudeta.
Bisa jadi malah akan semakin dekat dengan China. Toh selama ini para pemimpin militer Myanmar terbukti tidak terganggu dengan sanksi ekonomi dan larangan perdagangan meski membuat rakyat Myanmar menderita.
Kudeta
Kudeta yang dilakukan militer atau elite yang ingin berkuasa kerap terjadi sepanjang abad ke-20 dan 21. Kudeta berperan penting dalam sejarah karena menandai titik balik transformasi sejumlah negara.
Sejak 2000, di kawasan Asia Pasifik terjadi beberapa kali kudeta dan upaya kudeta seperti di Thailand, Fiji, Bangladesh, Laos, Filipina, Timor Leste, dan Nepal. Di Thailand saja terjadi setidaknya 10 kali kudeta dan dimulai tahun 1932.
Untuk kawasan Asia Timur, ada China, Jepang, dan Korea Selatan yang juga tak luput dari sejumlah upaya kudeta. Di Asia Selatan, tentu saja ada Myanmar yang langganan kudeta. Begitu pula Pakistan yang pemerintah sipilnya kerap dikudeta oleh militer. Vietnam, Kamboja, bahkan Indonesia juga mengalami hal yang sama.
Sejarah politik Asia sudah terlalu sering menyaksikan manuver konspirasi yang dilakukan para pemimpin militer dan sipil yang merebut instrumen dan institusi kekuasaan negara.
Tujuan kudeta bisa berhasil jika kemudian membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Sebaliknya, kudeta dianggap gagal jika hanya membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyat.