Militer Myanmar merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil dan menyatakan negara dalam keadaan darurat karena mengklaim pemilu November lalu penuh kecurangan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Perampasan kekuasaan sipil yang sah di Myanmar oleh militer melukai demokrasi. ASEAN dan dunia meminta keduanya mengutamakan dialog.
NAYPYIDAW, SENIN — Negara-negara ASEAN, Uni Eropa, dan negara-negara lain di dunia prihatin atas tindakan militer Myanmar yang merebut kekuasaan sipil dan menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan sejumlah tokoh sipil lainnya, Senin (1/2/2021).
Tindakan itu mencederai demokrasi sehingga mereka mendorong penyelesaian secara demokratis, damai, dialog, dan bukan kudeta dalam menyelesaikan dugaan kecurangan pemilu parlemen.
Ketua ASEAN 2021, Brunei Darussalam, dilaporkan sedang berkonsultasi dengan negara-negara anggota lainnya terkait situasi di Myanmar. ”Brunei Darussalam sebagai Ketua ASEAN sedang berkonsultasi dengan negara anggota lainnya tentang dukungan mereka untuk pernyataan ASEAN,” kata Channel News Asia, mengutip Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Brunei Darussalam.
ASEAN terbelah dalam melihat tindakan militer Myanmar tersebut. Ada yang menyebut itu sebagai urusan dalam negeri Myanmar. Beberapa negara lagi lebih menekan Myanmar dengan mendorong penyelesaian konflik melalui dialog, damai, dan cara-cara demokratis.
Negara ASEAN yang masuk dalam kelompok pertama adalah Filipina, Thailand, dan Kamboja. Juru bicara Presiden Filipina, Harry Roque, mengatakan, Filipina mengutamakan keselamatan warga Myanmar dan melihat peristiwa ini sebagai urusan domestik dan tidak akan ikut campur tangan.
Mekanisme hukum
Sementara Indonesia, Singapura, dan Malaysia berada di kelompok kedua. Mereka tidak menyebut tindakan militer itu sebagai urusan domestik Myanmar, tetapi mendorong penyelesaian yang demokratis, damai, dan mengutamakan dialog agar situasi tidak memburuk.
Pemerintah Indonesia menilai, perselisihan terkait hasil pemilu 8 November lalu agar diselesaikan sesuai mekanisme hukum. Persoalan agar diselesaikan sesuai prinsip-prinsip Piagam ASEAN, di antaranya komitmen pada hukum, pemerintahan yang baik, demokratis, dan konstitusional.
Ito Sumardi, Duta Besar RI untuk Myanmar 2014-2019, mengatakan, selama ini transisi demokrasi di Myanmar dirasakan masih jauh dari harapan karena pengaruh militer masih sangat kuat. Sementara itu, kesan ”euforia demokrasi” dari masyarakat sipil masih terus berlangsung dan kesan merangkul kelompok etnis lainnya belum berhasil secara optimal.
Kemlu Singapura menyatakan keprihatinan yang mendalam atas apa yang terjadi di Myanmar. ”Kami memantau situasi di sana dengan saksama dan berharap semua pihak yang terlibat akan menahan diri, menjaga dialog, dan bekerja menuju hasil yang positif dan damai,” kata Kemlu Singapura.
Malaysia juga senada dengan Indonesia dan Singapura. ”Malaysia mendukung berlanjutnya diskusi antarpara pemimpin Myanmar untuk mencegah konsekuensi buruk bagi penduduk dan negara, terutama di tengah situasi pandemi Covid-19 yang sulit ini,” kata Kemlu Malaysia.
Tindakan tegas
Sejumlah negara di luar kawasan, seperti blok negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, India, Australia, dan beberapa negara Barat lainnya, menyatakan prihatin dan ada pula mengecam karena langkah militer itu melukai demokrasi.
Mereka meminta demokrasi Myanmar segera dipulihkan lagi. Juru Bicara Gedung Putih, Jen Psaki, mengatakan, AS akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa saja yang bertanggung jawab jika demokrasi tak dipulihkan.
AS menentang upaya apa pun yang menolak hasil pemilu November 2020, yang dimenangi partai berkuasa, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Kekalahan Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP), partai dukungan militer, mesti diterima. Jika ada sengketa atau kecurangan pemilu, seharusnya diselesaikan dengan mekanisme hukum.
Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken meminta militer Myanmar membebaskan semua pejabat pemerintah dan pemimpin masyarakat sipil yang ditahan serta menghormati aspirasi rakyat yang sudah dituangkan dalam pemilu demokratis.
Menlu Australia Marise Payne juga meminta militer Myanmar menyelesaikan sengketa hasil pemilu melalui mekanisme hukum. ”Bebaskan segera semua pemimpin sipil yang ditahan secara ilegal itu,” kata Payne.
Jepang meminta Myanmar membebaskan Suu Kyi, Myint, dan tokoh sipil lainnya dari pemerintah yang telah dipilih secara demokratis. Jepang donor utama untuk Myanmar.
Uni Eropa, mitra dagang terbesar ketiga Myanmar, juga bereaksi. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengecam perebutan kekuasaan yang terjadi di Myanmar dan meminta semua orang yang ditahan segera dibebaskan.
”Pemerintahan sipil yang sah harus dipulihkan sejalan dengan konstitusi negara dan pemilu November lalu,” kata Ursula.
”Ini serangan terhadap demokrasi, demokrasi yang rapuh yang sudah dimiliki Myanmar,” kata Yanghee Lee, mantan Pelapor Khusus PBB untuk HAM di Myanmar. Menurut dia, kudeta militer membawa pengorbanan besar bagi masyarakat dan harus diakhiri dengan damai. (REUTERS/AP/AFP/ ADH/JOS/CAL)