Presiden Donald Trump akhirnya menandatangani RUU stimulus pandemi di AS. Meski belum cukup menggerakkan ekonomi AS, bantuan itu sangat dibutuhkan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Menjelang masa jabatannya selaku Presiden AS berakhir, Trump tak habis-habisnya membuat kontroversi. Yang terbaru adalah keengganannya menandatangani rancangan undang-undang bantuan stimulus pandemi bagi warga AS, yang sudah disepakati di Kongres oleh kubu Republik, pendukungnya, dan juga Demokrat. Trump memang akhirnya menandatangani RUU itu, Minggu (27/12/2020) waktu setempat, setelah menghadapi tekanan dari sana-sini.
Perdebatan RUU tentang paket stimulus pandemi senilai 2,3 triliun dollar AS sudah berlangsung beberapa bulan di Kongres, mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga Senat. Perdebatan terjadi, antara lain, soal paket bantuan hampir 900 miliar dollar AS. Sebagian dari bantuan itu akan dikucurkan bagi sekitar 14 juta warga AS yang terdampak pandemi. Warga AS berpenghasilan kurang dari 75.000 dollar AS per tahun, misalnya, akan mendapatkan masing-masing 600 dollar AS.
Angka 600 dollar AS itu keluar atas usul Steven Mnuchin, Menteri Keuangan, yang notabene pembantu Trump. Sejak awal kubu Demokrat mengusulkan angka 2.000 dollar AS, tetapi ditolak kubu Republik. Setelah negosiasi panjang, disepakatilah angka 600 dollar AS. Karena itu, banyak orang terheran bahwa salah satu alasan keengganan semula Trump menandatangani RUU tersebut adalah angka 600 dollar AS yang dinilai terlalu sedikit. Ia meminta angka itu dinaikkan menjadi 2.000 dollar AS, seperti usulan awal Demokrat.
Dari total paket stimulus itu, 1,4 triliun dollar AS dialokasikan untuk anggaran belanja pemerintah federal. Andai RUU tetap tidak ditandatangani Trump, penghasilan jutaan pegawai pemerintah federal bakal terdampak. Saking kesalnya, Senator Republik Pat Toomey mengatakan, jika tetap menolak menandatangani RUU itu, Trump bisa-bisa akan dikenang akibat ”perilaku yang kacau, menyengsarakan, dan tak menentu”.
Banyak ahli ekonomi menyebut paket stimulus itu masih kurang besar untuk bisa menggerakkan lagi ekonomi AS yang terpukul pandemi. Meski demikian, bantuan itu sangat berarti bagi warga AS yang menderita akibat kehilangan pekerjaan.
Kekuasaan Trump di Gedung Putih tinggal kurang dari tiga pekan lagi. Sejak kalah dari Joe Biden dalam pemilu presiden, ia jarang muncul di depan publik. Ia lebih sering menghabiskan waktu di klub miliknya, bermain golf, dan sambil—tentu saja—terus mencuitkan komentar lewat akun Twitter-nya. Selama hampir setahun masa akhir pemerintahannya, saat dunia dilanda pandemi Covid-19, warga AS menderita luar biasa. Hingga kini, sudah 19 juta warga AS terinfeksi Covid-19, lebih dari 333.000 orang meninggal.
AS menjadi negara terparah terdampak pandemi. Salah satu faktor penyebabnya ialah kebijakan-kebijakan serampangan Trump dalam menangani pandemi. Ia sudah ”dihukum” warganya, dengan tidak terpilih lagi sebagai presiden empat tahun ke depan melalui proses demokrasi.