Biden Siap Pimpin Amerika Serikat
Meski belum memastikan kemenangan, hingga Kamis malam WIB, Biden mencatat sejarah baru di Pemilu AS. Ia menjadi capres dengan perolehan suara pemilih terbanyak sepanjang sejarah pemilu AS, yakni 72 juta suara pemilih.
WASHINGTON, KAMIS — Calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden, mendekati kemenangan atas calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump, dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, Kamis (5/11/2020). Ia menyatakan akan memerintah sebagai seorang Presiden AS.
Sementara itu, dengan posisi kian tertinggal dalam perolehan suara dewan elektoral, Trump mengajukan gugatan. Ia menuntut penghitungan ulang surat suara di sedikitnya satu negara bagian.
Hingga Kamis pukul 23.00 WIB, menurut lembaga Edison Research yang dikutip Reuters, Biden memimpin dengan 243 suara dewan elektoral, sementara Trump 213. Media AS, The New York Times, CNN, dan The Washington Post, hingga waktu yang sama mencatat 253 untuk Biden dan Trump 213 atau 214. Kantor berita Associated Press dan Fox News mencatat 264 untuk Biden, berbanding 214 untuk Trump. Diperlukan 270 dari 538 suara dewan elektoral bagi capres untuk memenangi pilpres.
Baca juga: Kumpulkan Suara Pemilih Terbanyak, Biden Cetak Sejarah Lagi
”Saya akan memerintah sebagai Presiden AS,” kata Biden (77) dalam konferensi pers, Rabu siang waktu AS atau Kamis dini hari WIB. ”Tak akan ada negara bagian merah dan negara bagian biru saat kita menang. Yang ada hanya Amerika Serikat,” ujarnya merujuk pada warna simbol kubu Republik (merah) dan Demokrat (biru).
Kendati menyatakan yakin menang, hingga berita ini diturunkan, Biden belum mendeklarasikan kemenangan.
Ia juga menyerukan persatuan warga Amerika Serikat di tengah polarisasi yang terjadi selama dan pasca-pemilihan presiden. ”Kita harus berhenti memperlakukan lawan kita sebagai musuh,” kata Biden (77 tahun) di kampung halamannya di Wilmington, Delaware. ”Apa yang menyatukan kita sebagai orang Amerika jauh lebih kuat daripada apa pun yang dapat memisahkan kita.”
Baca juga: Biden Dekati Kemenangan, Trump Minta Penghentian Perhitungan
Sangat kontras dengan retorika Trump yang menyebut-nyebut adanya kecurangan dalam pilpres kali ini, Biden tetap tampil tenang dan mendorong kondisi jauh dari permusuhan. Tidak semata soal pilpres, ia pun berupaya merangkul warga AS yang dinilai telah tercabik oleh empat tahun kepemimpinan Trump yang terpolarisasi dan trauma oleh pandemi Covid-19. Kasus terkonfirmasi penyakit itu hampir menembus 100.000 secara harian pada tengah pekan ini.
Dua hari setelah puncak pemungutan suara, 3 November, belum ada kandidat meraih cukup suara elektoral guna memastikan kemenangan. Biden meraih momentum mengungguli Trump berkat kemenangan di Negara Bagian Illinois, Minnesota, dan New York. Sementara penghitungan surat suara masih berlangsung, ia memimpin di Wisconsin, Nevada, dan Arizona.
Adapun di Alaska, Georgia, South Carolina, dan Pennsylvania, Trump unggul. Namun, keunggulannya di Georgia dan Pennsylvania terus terpangkas, terutama di beberapa daerah, seperti Atlanta (Georgia) dan Philadelphia (Pennsylvania) yang condong ke Demokrat. Dengan posisi sementara mengoleksi 214 suara elektoral, ia harus memenangi empat negara bagian kunci—Pennsylvania, North Carolina, Georgia, dan Nevada—untuk mempertahankan jabatannya.
Meskipun belum memastikan kemenangan, hingga Kamis malam WIB, Biden mencatat sejarah baru di Pemilu AS. Ia menjadi capres dengan perolehan suara pemilih terbanyak sepanjang sejarah pemilu AS, yakni 72 juta suara pemilih (popular vote). Perolehan suaranya melebihi capaian Barack Obama pada pemilu 2004 saat Biden menjadi wakilnya, yakni 69,4 juta. Keduanya memenangi pemilu 2004. Perolehan suara Trump pada pemilu kali ini juga dilaporkan melebihi suara perolehan Obama.
Baca juga: Trump atau Biden yang Menang? Pahami Dulu Cara Penghitungan Suara Pilpres AS
Sebelum mencetak rekor soal perolehan suara, Biden mencatat sejarah dengan memilih Kamala Harris sebagai calon wakil presiden. Untuk pertama kalinya ada perempuan kulit berwarna menjadi cawapres dari partai utama di pemilu AS. Biden juga menjadi calon tertua yang pernah mengikuti pemilihan presiden dari partai utama.
Ajukan gugatan
Dalam posisi tertinggal, kubu Trump mengajukan gugatan hukum dan tuntutan penghitungan ulang di Wisconsin. Di negara bagian ini, Biden unggul sekitar 21.000 dari 3,3 juta suara yang diberikan pemilih. Mereka juga menuntut penghentian penghitungan surat suara di Michigan dan Pennsylvania. Tim kampanye Trump menuntut pula agar Chatham County di Georgia memisahkan surat suara yang tiba terlambat dan tak menghitung surat suara tersebut.
Baca juga: Trump Mulai Gugat Pemilu AS
Tim pemenangan Donald Trump mulai mendaftarkan gugatan terhadap proses dan hasil Pemilu 2020 di Pennsylvania, Michigan, dan Georgia. Sebelumnya, tim Trump juga telah mendaftarkan gugatan di Nevada. Gugatan di Pennsylvania, Michigan, dan Georgia didaftarkan pada Rabu sore waktu setempat atau Kamis pagi WIB. Inti gugatan beragam, mulai dari permintaan akses lebih luas bagi saksi dan pemantau hingga permintaan penghentian penghitungan surat suara.
Di Georgia gugatan diarahkan pada keabsahan surat suara yang dikirim melalui pos. Tim Trump menuding ada surat suara yang tetap dihitung walau telat diterima panitia pemungutan suara (PPS). Sementara di Michigan, tim Trump meminta penghentian penghitungan suara. Permintaan disampaikan setelah hasil penghitungan suara berbalik dari keunggulan untuk Trump menjadi kemenangan untuk Biden.
Sebelumnya Trump (74) secara sepihak mengklaim kemenangan dirinya. Ia pun bergeming dengan sikap tidak akan menerima hasil penghitungan suara. Ia mengeluarkan pernyataan yang belum pernah diucapkan oleh presiden AS yang sedang menjabat sebelumnya, yakni praktik kecurangan pemilu, tetapi tidak menunjukkan bukti apa pun.
”Kerusakan telah terjadi pada integritas sistem kita dan pada Pemilihan Presiden itu sendiri,” kata Trump melalui media sosial Twitter. Ia menuduh tanpa bukti atau penjelasan soal ”surat suara yang dibuang secara diam-diam” di Michigan.
Pernyataan agresif Trump itu memicu reaksi dari para pendukungnya. Mereka dilaporkan menggelar aksi protes di sejumlah kota hingga Rabu tengah malam.
Di New York, misalnya, seperti dilaporkan The New York Times, para pengunjuk rasa mengadakan demonstrasi damai di Manhattan pada Rabu pagi. Seruan agar setiap suara dihitung itu diwarnai bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi. Sebanyak 20 pengunjuk rasa ditangkap kepolisian setempat.
Protes serupa juga dilaporkan terjadi di Phoenix dan diikuti sedikitnya 150 orang. Selain membawa bendera bergambar Trump, sejumlah pengunjuk rasa juga menenteng senjata api.
Baca juga: Pemilih AS yang Sangat Dinamis
Ribuan pengunjuk rasa anti-Trump juga menggelar aksi menuntut penghitungan lengkap surat suara lewat pos. Mereka sudah dan siap turun ke jalan di kota-kota di seluruh AS. Garda Nasional dilaporkan diterjunkan untuk mengatasi aksi anti-Trump di Portland. Aksi pelemparan toko-toko mewarnai aksi unjuk rasa itu.
Penghitungan surat suara dan penyelesaian gugatan hukum paling lambat selesai pada 8 Desember. Dewan elektoral akan berkumpul pada 14 Desember dan memilihkan capres atas nama warga di tempat tugas para anggota dewan itu. Presiden terpilih dilantik 20 Januari 2021.
Konstitusi AS menetapkan presiden dipilih oleh dewan elektoral. Keputusan dewan elektoral ditentukan oleh suara mayoritas di daerah pemilihan tempat dewan itu bertugas. Lazimnya, dewan elektoral hanya meneruskan suara pemilih dan memberi suara kepada calon yang mendapat suara mayoritas di daerah pemilihan. (AP/AFP/REUTERS)