Publik AS sangat terpolarisasi antara kubu Republik dan Demokrat. Profesor (emeritus) Ilmu Politik di Ohio, William Liddle, menyebut kelebihan Trump menarik dukungan jutaan orang bak pemimpin agama baru atau kultus.
Oleh
B JOSIE SUSILO HARDIANTO & LUKI AULIA
·4 menit baca
Pemilihan Presiden Amerika Serikat berlangsung sangat ketat. Meskipun sebelumnya, dalam sejumlah jajak pendapat, Presiden Donald Trump tertinggal hampir 10 persen dari penantangnya, Joe Biden, di masa-masa akhir pilpres, sang petahana mampu mengatasi ketertinggalan. Sejauh ini, Biden meraih 224 suara di dewan elektoral.
Sempat dicerca karena kebijakannya terkait penanganan pandemi Covid-19, isu migran, dan ras, Trump telah berhasil meraup 213 suara dewan elektoral. Isu pandemi membuat posisi Trump rawan dalam sejumlah jajak pendapat. Namun, fakta bahwa dalam pilpres Trump mampu memperpendek jarak dengan Biden menunjukkan begitu dinamisnya pemilik suara.
Menjawab pertanyaan tertulis yang dikirim via surat elektronik, Profesor (emeritus) Ilmu Politik di Universitas Ohio, R William Liddle, mengatakan, publik AS sangat terpolarisasi dan makin terpolarisasi antara kubu Republik dan Demokrat. Kedua pihak percaya kalau lawannya menang, malapetaka akan menyusul bagi bangsa, baik di dalam negeri maupun dalam hubungan luar negeri.
Lebih lanjut, ahli Asia Tenggara itu berpendapat, kubu Republik mempertahankan nilai-nilai lama, terutama hak beragama, yang mereka yakini akan diserang atau dihapuskan oleh pemerintahan Demokrat. Akarnya, keputusan Mahkamah Agung 1973 yang menentukan bahwa hak aborsi berlaku di seluruh AS. Sejak itu, aktivis Republik terus bermobilisasi. Kini, berkat pengangkatan tiga hakim baru di MA oleh Trump, ketiganya diduga anti-aborsi, mereka merasa di ambang pintu sukses.
”Ada beberapa isu spesifik lain, termasuk ketakutan kaum Republik bahwa hak mereka memiliki senjata akan dicabut. Namun, masalah umum yang paling memengaruhi pemilih Republik adalah kecemasan tentang ekonomi atau sumber pendapatan pribadi atau keluarga,” kata Liddle.
Keuntungan Trump
Ada dua kelompok yang berusaha melawan regulasi Pemerintah AS yang dinilai berlebihan. Yang pertama, kalangan pebisnis, termasuk kecil dan menengah, yang sudah lama menjadi basis Republik. Trump melayani mereka dengan banyak keputusan yang mengurangi beban regulasi.
Kelompok kedua, buruh dan orang lain yang termarjinalisasi. Sejak era Clinton (1993-2001), mereka merasa ditinggalkan Partai Demokrat yang semakin globalis, yaitu terlalu melayani ekonomi global. Akibatnya, jutaan pekerja pindah ke Meksiko, China, dan lain-lain. Kelompok kedua ini merespons dalam jumlah besar kepada imbauan Trump pada 2016. Jelas, tanpa mereka, Hillary Clinton memenangi pilpres itu.
Sejak 2015 sampai kini, Liddle merasakan kelebihan Trump sebagai politisi. Dia mampu menarik dukungan jutaan orang, bukan hanya sebagai pilihan politik mereka, melainkan juga sebagai semacam pemimpin agama baru atau kultus. Hal itu terlihat hari-hari ini dalam konvoi-konvoi Trump Trains yang mengancam keamanan kampanye Biden.
Selain itu, juga terlihat dalam komplotan untuk menculik dan membunuh gubernur Michigan beberapa bulan lalu. ”Pada hari pemilu ini dan masa early voting (pemungutan suara dini) yang baru selesai, saya prihatin pengikut kultus itu persentasenya terlalu besar dalam penggelembungan massa yang sangat nyata,” kata Liddle.
Dengan kata lain, salah satu perbedaan pokok adalah antusiasme kaum pinggiran untuk menentukan bahwa jago mereka dipertahankan sekali lagi.
”Di pihak Demokrat, selama kampanye, saya tidak melihat antusiasme yang setara. Joe Biden bukan pemimpin karismatis. Beliau bergantung kepada ketakutan dan kemarahan luar biasa, terutama yang dirasakan pemilih Demokrat, tetapi juga masyarakat independen atau nonpartai, juga sebagian pemilih Republik, yang jenuh dengan Trump. Salah satu sasaran adalah ibu-ibu kelas menengah yang tinggal di daerah perumahan di luar pusat kota,” tutur Liddle lagi.
Hasil jajak pendapat selama ini menunjukkan betapa kelompok itu, meski partisan Republik, sudah jenuh dengan Trump.
Namun, ada catatan menarik. Selama berbulan-bulan, muncul keluhan dari sejumlah aktivis Demokrat yang berasal dari komunitas Latin bahwa Biden kurang memberi perhatian kepada pemilih dari komunitas Hispanik. Sebaliknya, Biden dinilai lebih memberi perhatian pada pemilih dari komunitas kulit hitam di sejumlah kota di Midwestern.
Hal itu yang membuat Trump beruntung. Di sejumlah negara bagian, dukungan terhadapnya dari warga Latin meningkat. Jajak pendapat nasional yang digelar Edison menunjukkan sekitar 11 persen warga Afrika-Amerika, 31 persen Hispanik, dan 30 persen warga keturunan Asia memilih Trump. Untuk setiap komunitas, angka itu naik 3 persen dari pilpres tahun 2016.
Di sisi lain, jika Trump kembali terpilih, Liddle menilai sulit meramalkan kebijakan apa yang akan dipilihnya. Menurut Liddle, Trump memiliki filsafat hidup bahwa dunia terdiri dari pemenang dan pengalah.
”Setiap pagi ia mempertimbangkan bagaimana ia bisa menang hari itu. Selama ini, dunia luar, di luar AS, dianggap alat yang bisa membantu dia mencapai kemenangan setiap hari. Aliansi lama ditinggalkan sebab dianggap dalam otak yang terbatas itu terlalu mahal. Mitra baru, seperti Rusia atau China, naik dan turun menurut perhitungannya hari itu,” kata Liddle.
Terkait pemilihan Presiden AS, Menteri Keuangan Perancis Bruno Le Maire, Rabu (4/11/2020) di Paris, menilai siapa pun yang terpilih akan berdampak kecil pada hubungan perdagangan AS-Eropa. Menurut Le Maire, Washington tidak mungkin melepaskan sikap konfrontatifnya, apakah Trump menang atau tidak.
”Jangan menipu diri kita sendiri. AS tidak menjadi mitra yang bersahabat bagi negara-negara Eropa selama beberapa tahun,” kata Le Maire kepada Radio Classique.
”Apakah Joe Biden atau Donald Trump yang terpilih, malam ini atau besok, tidak ada yang mengubah fakta strategis ini. Benua Amerika telah melepaskan diri dari Benua Eropa,” kata Le Maire. (AP/AFP/REUTERS)