Referendum bagi Trump
Lebih dari 90 juta warga AS telah memberi suara pada pemungutan suara dini. Namun, puncak pertarungan Presiden Donald Trump dan penantangnya, Joe Biden, berlangsung Selasa besok.
Pekan ini, semua upaya bernilai miliaran dollar AS akan diuji di ribuan tempat pemungutan suara. Presiden, anggota parlemen, pejabat daerah, hingga peraturan daerah akan diputuskan dalam hari puncak pemungutan suara Pemilu AS, Selasa, 3 November 2020.
Di tingkat nasional, ada pemilihan presiden, semua dari 435 kursi DPR, dan 35 dari 100 kursi Senat. Di tingkat negara bagian dan pemerintah kota, ada pemilihan 13 gubernur, anggota DPR dan Senat di sejumlah negara bagian dan kota, hingga jaksa dan persetujuan untuk peraturan daerah.
Baca juga : Gairah Politik Pemilih Muda di AS Meningkat
Dari semua jenis pemungutan suara itu, pemilihan presiden AS paling mendapat sorotan. Ada 11 calon presiden (capres) dalam pemilu kali ini, salah satunya adalah penyanyi Kanye West. Namun, suami aktris Kim Kardashian itu hanya boleh ikut pemilu di 11 negara bagian dengan total 84 suara perwakilan. Untuk bisa berkuasa di Gedung Putih, capres AS harus disokong sekurangnya 270 dari 538 suara perwakilan.
Pada Pemilu 2020, hanya Donald Trump, Joe Biden, dan Jo Jorgensen yang bisa ikut pemilu di semua negara bagian. Trump berstatus petahana dari Republiken, Biden dari Demokrat, dan Jorgensen dari Libertarian.
Walakin, karena jaringan dan ketersediaan dana, kompetisi Biden-Trump paling disorot.
Trump telah menghabiskan lebih dari 1 miliar dollar AS untuk berkampanye sejak 2017. Selain itu, ada ratusan juta dollar AS yang dikeluarkan Republiken untuk kampanye Pemilu 2020. Sebagian dana itu diarahkan sebagai sokongan kepada Trump.
Biden dan Demokrat menghadapi pemilu, terutama dengan penguasaan atas DPR dan fakta bahwa ia selalu unggul di berbagai jajak pendapat. Meski demikian, pengalaman tahun 2016 membuat Demokrat tetap tidak mau terbuai dengan keunggulan di jajak pendapat.
Baca juga : Hadapi Sengketa Pemilu, Trump Usulkan Hakim Baru
Sampai beberapa hari menjelang pemungutan suara puncak pada 2016, Hillary Clinton yang disokong Demokrat masih unggul di sejumlah jajak pendapat. Namun, faktanya adalah Trump menang karena sokongannya lebih tersebar dibandingkan Hillary. Sebaran sokongan itu penting karena kemenangan ditentukan oleh suara perwakilan dan suara perwakilan ditentukan lewat kemenangan di setiap daerah pemilihan.
Enam modal Trump
Kemenangan pada 2016 adalah salah satu dari enam modal Trump dan Republiken menghadapi Pemilu 2020. Selain status Trump sebagai petahana, Republiken memiliki modal berupa dominasi di Senat dan Mahkamah Agung, perdamaian Arab-Israel, primordialisme, dan militansi pemilih.
Dari 100 kursi Senat, saat ini 53 kursi diduduki Republiken. Sementara enam dari sembilan hakim agung merupakan hakim yang dicalonkan para presiden Republiken. Bahkan, tiga hakim di antaranya dicalonkan Trump. Hakim terbaru usulan Trump adalah Amy Coney Barrett. Senat menyetujui penunjukan Barrett sebagai pengganti Ruth Bader Ginsburg, yang meninggal tepat 1,5 pekan jelang puncak pemungutan suara.
Trump dan para Republiken bolak-balik menekankan pentingnya kelengkapan jumlah hakim agung di tengah besarnya peluang sengketa hasil pemilu. Mereka menyebut, jika ada perbedaan pendapat dan harus ada pemungutan suara, jumlah ganjil komposisi hakim agung akan menghindari kemungkinan kebuntuan dalam pembuatan putusan MA.
Baca juga : Trump Kembali Menolak Pemilu lewat Pos
Perdamaian Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Sudan juga berperan penting bagi Trump. Bukan karena jumlah pemilih Yahudi, yang dalam berbagai pemilu sepanjang abad ke-20 dan ke-21 cenderung memilih Demokrat. Perdamaian Arab-Israel yang disokong Trump berguna untuk meraih suara pemilih Kristen Evangelis.
Umat Kristen Evangelis di AS meyakini pentingnya pendirian negara Israel sebagai pelengkap nubuat kedatangan kembali Almasih sebagai juru selamat. Lewat Perjanjian Ibrahim (Abraham Accord) yang difasilitasinya, Trump dianggap semakin meneguhkan pendirian negara Israel yang sebenarnya.
Faktor yang kerap luput dari perhatian adalah fakta bahwa Biden adalah seorang Katolik. Dari 45 presiden sejak negara itu berdiri, hanya John F Kennedy yang Katolik. Para presiden lain AS adalah seorang Kristen atau setidaknya menunjukkan identitas kekristenan. Hal itu sesuai dengan demografi AS yang mayoritas Kristen.
Faktor demografi itu dipadukan dengan militansi pemilih yang terbakar, antara lain, oleh agitasi Trump. Dalam jajak pendapat Reuters, 43 persen pemilih Trump mengindikasikan menolak hasil pemilu jika Biden menang. Di berbagai kesempatan, Trump mengindikasikan penolakan peralihan kekuasaan jika kalah. Ia selalu menyatakan tak akan kalah dan karena itu tidak perlu membahas peralihan kekuasaan.
Baca juga : Yakin Bakal Menang Lagi di Pilpres, Trump Cemooh Jajak Pendapat
Militansi pendukung Trump, antara lain, berupa insiden pada Jumat (30/10/2020) di jalan antara San Antonio dan Austin, Texas. Bus tim pemenangan Biden dihalangi puluhan mobil dengan aneka atribut kampanye Trump. Akibatnya, Biden memutuskan membatalkan kampanye di Austin.
Texas termasuk salah satu daerah pemilihan yang masih mengambang karena belum dipastikan akan dimenangi Biden atau Trump. Meski demikian, Texas termasuk negara bagian dengan suara tertinggi dalam pemungutan suara dini. Sampai Minggu (1/11/2020), 90,3 juta warga telah memberi suara di pemungutan suara dini.
Militansi juga ditunjukkan ribuan orang yang berdesakan tanpa mengenakan masker saat menghadiri kampanye Trump di sejumlah kota dan negara bagian. Trump dan wakilnya, Mike Pence, bolak-balik melepas masker. Padahal, di tengah pandemi Covid-19 dan AS menjadi negara dengan jumlah penularan dan kematian akibat Covid-19 terbanyak di dunia, mengenakan masker dan menjaga jarak adalah tindakan pencegahan yang sangat dianjurkan.
Kampanye Biden
Sebaliknya, kampanye Biden lebih banyak dilakukan secara virtual. Kalaupun ada kumpulan massa, para penyokong Biden dan Demokrat lebih banyak tetap berada di mobil masing-masing, bukan berdiri berdesakan seperti pendukung Trump.
Baca juga : Trump Temui Pemilih, Biden Diam di Rumah
Seperti Biden, para penyokong capres dari Demokrat itu juga berkampanye dari rumah. Hal ini, misalnya, dilakukan Marilyn Crowder (60), penduduk Philadelphia, Pennsylvania. Setelah memberi suara pada pemungutan suara dini, ia menelepon para kenalan dan kerabatnya agar segera memberi suara. ”Saya memberi suara seolah hidup saya bergantung pada itu,” katanya kala mengantre hampir empat jam agar bisa memberi suara, yang dikutip The New York Times.
Crowder adalah salah satu dari 90,3 juta pemilih AS yang telah memberi suara pada Pemilu 2020. Jumlah pemilih dalam pemungutan suara dini juga menunjukkan militansi pemilih. Jajak pendapat oleh The New York Times dan Siena College menemukan kecenderungan pemilih Republiken akan memberi suara pada 3 November. Sementara Demokrat lebih suka memberi suara pada pemungutan suara dini.
Direktur ElectProject dan pengajar ilmu politik di University of Florida, Michael McDonald, menyebut, semangat pemilih pada Pemilu 2020 sangat mengejutkan. Pandemi, gerakan Black Lives Matter, dan agitasi politisi mendorong gairah itu. ”Politik menjadi yang terpenting saat ini, dan masyarakat terlibat,” ujarnya.
Ketegangan paling terasa di negara bagian yang masih mengambang. Republiken dan Trump menggelar puluhan kampanye tanpa henti di negara-negara bagian yang masih mengambang, seperti Pennsylvania, Georgia, Ohio, dan Michigan.
Baca juga : Trump Coba Kejar Keunggulan Biden
Trump mempunyai 11 jadwal kampanye pada Minggu (1/11/2020) dan Senin. Sementara Biden terutama menyapa pemilih lewat iklan bernilai puluhan juta dollar AS. Iklan-iklan itu ditayangkan melalui berbagai siaran televisi yang menjangkau hampir 50 juta pemirsa.
Bagi Trump, Pemilu 2020 seperti referendum untuk pemerintahannya. Dengan jajak pendapat yang terus menunjukkan bahwa hanya rata-rata 60 persen warga tidak puas pada pemerintahannya, Pemilu 2020 akan menentukan apakah ia akan terus mendapat mandat atau berhenti pada Januari 2021. (AP/REUTERS)