Wajar jika Palestina marah dan kecewa atas normalisasi hubungan Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan Israel. Kini, mereka perlu langkah dan strategi baru.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain secara resmi berkawan dengan Israel. Lewat penandatanganan kesepakatan di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat (AS), Selasa (15/9/2020), UEA dan Bahrain sepakat menjalin hubungan diplomatik penuh dan kerja sama di berbagai sektor dengan Israel. Apa pun argumentasi, termasuk klaim untuk meretas jalan perdamaian di Timur Tengah, langkah kedua negara Arab itu telah keluar dari ikatan yang disepakati Liga Arab tahun 2002 melalui Inisiatif Damai Arab. UEA dan Bahrain adalah anggota organisasi negara-negara Arab itu.
Melalui kesepakatan Inisiatif Damai Arab, negara-negara Arab mau berdamai dengan Israel jika Israel menarik diri dari wilayah yang diduduki dalam perang tahun 1967, menerima berdirinya negara Palestina beribu kota di Jerusalem Timur, dan menyelesaikan masalah pengungsi Palestina yang terusir dari wilayahnya sejak 1948.
Langkah UEA dan Bahrain berkawan dengan Israel membuat Palestina merasa seperti ”ditikam dari belakang”, selain teryakinkan bahwa Liga Arab dengan Inisiatif Damai Arab tak lagi bisa diandalkan untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Palestina. Kesepakatan UEA dan Bahrain dengan Israel, kata Perdana Menteri (PM) Palestina Mohammad Shtayyeh, ”Menyakitkan dan pukulan terhadap konsensus Arab”.
Apalagi, saat mengumumkan normalisasi dengan Israel, 13 Agustus lalu, UEA berdalih langkah itu untuk menghentikan rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel. Seolah menyelamatkan Palestina, tetapi pada dokumen yang ditandatangani itu tak menyebut isu Palestina.
Isu Palestina disebut sekilas dalam dokumen kesepakatan Bahrain dan Israel berupa seruan menuju ”resolusi konflik Palestina-Israel yang adil, komprehensif, dan abadi”. Itu saja. Tidak ada seruan penghentian aneksasi tanah Palestina oleh Israel, tidak pula ajakan menerima kembali pengungsi Palestina, apalagi dorongan pada berdirinya negara Palestina. Wajar jika Palestina marah dan kecewa, merasa telah ”dijual”, seperti cuitan sarkastis pejabat senior Palestina Hanan Ashrawi di Twitter, Agustus lalu: ”Semoga kalian tidak mengalami dijual oleh ’teman’ kalian sendiri”.
Apa yang kini bisa diperbuat Palestina? Lebih dari tujuh dekade berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari konfrontasi hingga negosiasi, tetapi cita-cita negara Palestina tak kunjung terwujud. Penghalangnya adalah rezim zionis Israel, didukung AS. Situasinya begitu kompleks, mengingat negara-negara Arab merajut kepentingan dengan AS dan—kini juga—Israel guna meredam pengaruh Iran serta poros Turki atau Qatar.
Penting bagi Palestina menempatkan posisinya secara tepat di tengah konflik kawasan dan geopolitik. Namun, yang paling utama, agar cita-cita negara Palestina segera terwujud, adalah persatuan dan kesatuan di antara mereka, soliditas rakyat dan pemimpinnya agar tak mudah dipecah belah, diadu, terseret arus konflik kawasan Timur Tengah yang tak berkesudahan.