Normalisasi Arab-Israel Pudarkan Inisiatif Damai Arab
Bagi rakyat Palestina dan Arab, istilah ”normalisasi” tersebut memiliki asosiasi yang sangat negatif. Rakyat Palestina sudah lama mengalami penderitaan. Normalisasi sama artinya memperdalam penderitaan itu.
Satu per satu negara Arab meninggalkan konsensus yang disepakati pada 2002 dalam relasi mereka dengan Israel. ”Inisiatif Damai Arab”—konsensus itu—menegaskan bahwa mereka hanya akan mengakui Israel jika Israel mundur dari tanah yang diduduki dalam perang 1967 dan negara Palestina berdiri. Uni Emirat Arab dan Bahrain memulai langkah keluar dari konsensus tersebut.
Cuaca di area Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, Rabu (16/9/2020) siang itu, sangat cerah. Hari itu, Presiden AS Donald Trump menggelar hajatan besar. Ia menjamu mitra terdekat, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan dua menteri luar negeri dari dua negara Arab, yaitu Abdullah bin Zayed al-Nahyan dari Uni Emirat Arab (UEA) dan Abdullatif bin Rashid al-Zayani dari Bahrain.
Para pemimpin dan pejabat itu, terutama Trump dan Netanyahu, terus mengembangkan senyum di wajah. ”Kita berada di sini siang ini untuk mengubah arah sejarah,” kata Trump dalam pidatonya di Balkon Ruang Biru yang menghadap ke arah Halaman Selatan. ”Setelah beberapa dekade terjadi perpecahan dan konflik, kita menandai terbitnya Timur Tengah baru,” lanjut Trump.
Baca juga : AS Berupaya Bangun Koalisi Abraham
Setelah Trump, Netanyahu serta Abdullah dan Abdullatif diberi kesempatan pidato di tempat yang sama. Isi dan nada pidato mereka hampir sama, berisi pujian dan kata-kata manis atas pencapaian yang telah mereka torehkan siang itu. ”(Hari ini) Menjadi poros sejarah. Hari ini mengawali terbitnya fajar baru perdamaian,” ujar Netanyahu.
”Terlalu lama Timur Tengah mundur karena konflik dan ketidakpercayaan, menyebabkan kerusakan tidak terperi dan menghambat potensi terbaik generasi kita dan anak muda. Sekarang ada kesempatan mengubah itu,” ujar Abdullatif dari Bahrain.
”Penandatanganan kesepakatan damai pekan ini adalah langkah bijak. Ini pengingat bahwa bangsa UEA dan Israel serta semua orang di Timur Tengah lelah dengan konflik. Prioritas sekarang adalah melanjutkan pembaruan masyarakat dan menstabilkan kawasan yang lebih luas,” kata Abdullah dari UEA.
Baca juga : Meratapi Kemunduran Dunia Arab
Abdullah mewakili kedua kakaknya, Khalifah bin Zayed al-Nahyan dan Mohammed bin Zayed al-Nahyan. Secara resmi, Khalifah adalah Presiden UEA dan Emir Abu Dhabi. Adapun Mohammed berstatus putra mahkota Abu Dhabi. Karena kondisi kesehatan Khalifah, secara faktual Mohammed menjadi pemimpin UEA dan Abu Dhabi. Mohammed pula yang aktif mengupayakan perdamaian UEA-Israel. Saat dokumen perdamaian itu ditandatangani di Gedung Putih, Mohammed tidak hadir.
UEA dan Bahrain menjadi negara Arab ketiga dan keempat yang menormalisasi hubungan dengan Israel setelah Israel menandatangani kesepakatan damai dengan Mesir tahun 1979 dan Jordania tahun 1994.
Selesai pidato, Abdullah dan Abdullatif menandatangani kesepakatan bilateral masing-masing dengan Netanyahu. Setelah itu, mereka juga menandatangani deklarasi Kesepakatan Ibrahim (Abraham Accord) bersama Trump.
Baca juga : Abraham Accord dan Palestina
Pakta kesepakatan UEA dan Israel bertajuk ”Kesepakatan Perdamaian, Hubungan Diplomatik, dan Normalisasi Penuh” lebih detail dan lebih maju dibandingkan dokumen kesepakatan Bahrain dan Israel. Kesepakatan Bahrain dan Israel menyebut ”hubungan diplomatik penuh”, tetapi menghindari istilah normalisasi.
Dokumen perdamaian yang ditandatangani UEA-Israel dan Bahrain-Israel sama sekali tidak menyinggung soal solusi dua negara, yang selama ini menjadi konsensus dan solusi yang didukung sebagian besar komunitas internasional. Pada awalnya, UEA menyebutkan normalisasi hubungan dengan Israel itu, antara lain, guna mencegah aneksasi wilayah Tepi Barat oleh Israel. Dokumen-dokumen itu hanya menyebut penyelesaian konflik Palestina-Israel secara adil, menyeluruh, dan abadi.
Kemarahan Palestina
Bisa dipahami mengapa Palestina marah dan tidak terima dengan penandatanganan hubungan diplomatik dua negara Arab itu dengan Israel. Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh mengatakan bahwa Palestina tidak mau dijadikan alasan negara lain untuk menjalin hubungan dengan Israel.
Sementara Kantor Presiden Palestina menegaskan, perdamaian hanya ada apabila terwujud Palestina merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya dan area sebelum perang 1967 sebagai wilayahnya. Perdamaian juga terwujud apabila pengungsi selepas perang 1948 boleh kembali.
”Masalahnya bukan pada negara-negara yang menandatangani kesepakatan itu, melainkan orang Palestina yang menderita di bawah pendudukan,” demikian pernyataan Kantor Presiden Palestina, sebagaimana dikutip kantor berita Palestina, WAFA.
Baca juga : Palestina Merasa Dikhianati UEA
”Ini bukan perdamaian, ini bentuk penyerahan diri atas terus berlanjutnya agresi,” cuit akun Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Dalam jajak pendapat oleh Palestinian Center for Policy and Survey Research, sebanyak 86 persen orang Palestina yakin bahwa perdamaian UEA-Bahrain-Israel bukan untuk kepentingan Palestina. Hingga 53 persen responden menyebut kesepakatan itu sebagai pengkhianatan terhadap Palestina.
Baca juga : Palestina Perlu Mengubah Strategi
Bahrain dan UEA terus menyangkal hal itu. ”Perkembangan tentang (pembentukan) negara Palestina juga penting. Kesepakatan UEA-Israel menghentikan pencaplokan. Kepemimpinan Palestina seharusnya memanfaatkan momen ini untuk menata ulang langkahnya dan bersiap untuk terlibat lagi dari diskusi yang produktif. Mereka (Palestina) akan selalu mendapat dukungan penuh UEA,” kata Abdullah selepas penandatanganan dokumen itu, sebagaimana dikutip kantor berita UEA, WAM.
Mengenai hal itu, Netanyahu dan Trump menyampaikan pandangan berbeda. ”Kami tidak mau membahas itu sekarang,” kata Trump kala ditanya soal pencaplokan Israel terhadap wilayah Palestina.
Baca juga : Tanah Palestina Terus Menciut
Netanyahu pun bolak-balik menyatakan, pencaplokan Palestina tidak termasuk dalam pembahasan selama perundingan perdamaian Israel dengan Bahrain ataupun UEA. Dalam rencana perdamaian Israel-Palestina versi Trump, lebih dari separuh Tepi Barat dan sebagian Lembah Jordan akan diserahkan kepada Israel. Hingga kini, Israel telah membangun banyak permukiman ilegal di kedua wilayah itu.
Direktur Perencanaan Kebijakan Kemenlu UEA Jamal al-Musharakh mengatakan, UEA tidak mengabaikan Palestina. Kesepakatan itu adalah perubahan penting dan menawarkan harapan serta optimisme. Kesepakatan itu akan membawa perdamaian, termasuk bagi Palestina. ”Walakin, Palestina sendiri harus terlibat dalam proses perdamaian itu,” ujarnya.
Problematik
Penggunaan kata ”normalisasi” sangat jamak dalam pandangan Israel dan AS. Normalisasi, dalam pandangan Israel dan AS serta negara-negara Barat lain, menandakan cairnya hubungan kedua pihak di kawasan Timur Tengah. Normalisasi juga diartikan bahwa Israel, yang telah lama terisolasi, bahkan dipertanyakan keberadaannya dan hak hidupnya, muncul kembali dan diakui hak hidupnya di antara negara-negara Arab di kawasan Timur Tengah.
”Normalisasi adalah tentang memberi setiap orang kesempatan, saling menghormati keyakinan satu sama lain, dan memiliki wilayah yang lebih stabil,” kata Jared Kushner, menantu Presiden AS Donald Trump yang juga merupakan penasihat Gedung Putih, kepada kantor berita UEA, WAM, Agustus lalu.
Pernyataan tiga pihak, yaitu AS, UEA, dan Israel, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan normalisasi adalah normalisasi hubungan (diplomatik) penuh antara UEA dan Israel. Sementara Bahrain memersepsikan normalisasi sebagai pendirian atau pembentukan hubungan (diplomatik) penuh dengan Israel.
Baca juga : 15 September, Hari Gelap bagi Dunia Arab
Namun, bagi rakyat Palestina dan Arab, kata tersebut memiliki asosiasi yang sangat negatif. Menurut Khalil Shahin, analis politik Palestina, normalisasi adalah kata yang memiliki dampak buruk bagi rakyat Palestina karena hal itu berarti kekuatan bagi Israel.
”Dalam berbagai bidang, rakyat Palestina sudah lama mengalami penderitaan, ketidakseimbangan. Normalisasi artinya memperdalam penderitaan dan ketidakseimbangan itu,” kata Shahin.
Hal lain yang juga sangat krusial adalah adanya perbedaan pemahaman soal kebijakan pencaplokan wilayah Tepi Barat Palestina oleh Israel pascanormalisasi hubungan. Dalam pandangan UEA, perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel membuat Netanyahu menghentikan rencana pencaplokan atau aneksasi wilayah Tepi Barat yang semula menurut rencana dilaksanakan awal Juli 2020. Hal ini berdasarkan isi komunike bersama tiga pihak, AS-Israel-UEA, versi bahasa Arab yang berbunyi: perjanjian telah menyebabkan rencana Israel untuk mencaplok tanah Palestina dihentikan.
Namun, dalam komunike versi bahasa Inggris, normalisasi hanya membuat Pemerintah Israel menangguhkan rencana pencaplokan wilayah Tepi Barat Palestina dan bukan menghentikan sama sekali. Seorang pejabat UEA menyatakan, perbedaan tersebut hanyalah masalah terjemahan.
Namun, dalam pandangan Palestina, terjemahan itu mengandung implikasi politik yang berbeda dan menipu. ”Terjemahan dalam bahasa Arab adalah cara menyesatkan opini publik Arab dengan mengatakan mereka telah berhasil menghentikan aneksasi, padahal sebenarnya mereka menangguhkannya,” kata Hanan Ashrawi, pejabat senior PLO.
Sekretaris Jenderal PLO Saeb Erekat menilai, perjanjian normalisasi antara UEA dan Israel bukan merupakan perdamaian untuk perdamaian seperti yang dibesar-besarkan oleh Netanyahu, Partai Likud, dan Pemerintah AS. Erekat menilai, perjanjian itu hanyalah perjanjian untuk memperoleh perlindungan (oleh Pemerintah AS). Ia mengutip pernyataan Kushner dengan sedikit penekanan ”pilihan Anda menormalisasi hubungan dengan Israel atau kehilangan perlindungan dari AS”. (AP/AFP/REUTERS/SAM)