Penandatanganan hubungan diplomatik UEA dan Bahrain dengan Israel menjadi pukulan bagi Palestina. Palestina perlu mencari strategi baru guna mewujudkan cita-cita negara merdeka.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JERUSALEM, RABU — Para pemimpin Palestina perlu mengubah strategi mereka untuk terus memperjuangkan kemerdekaannya menyusul normalisasi hubungan Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan Israel yang ditandatangani di Washington DC, Amerika Serikat, Rabu (16/9/2020).
Selama ini, perjuangan Palestina untuk membebaskan diri dari pendudukan Israel telah bergantung pada negara-negara Arab. Selama ini pula, negara- negara Arab itu—setidaknya secara resmi—terus menyeru agar Israel menarik diri dari wilayah yang diduduki pada perang 1967, termasuk Tepi Barat dan Gaza, serta menerima Palestina sebagai negara dengan imbalan hubungan normal bersama negara-negara Arab.
Namun, Liga Arab yang biasanya satu suara soal perjuangan Palestina kini tidak bisa lagi diharapkan. Dalam pertemuan, Rabu pekan lalu, Palestina gagal mengajak negara-negara Liga Arab mengecam normalisasi UEA-Israel.
Palestina pun semakin ditinggalkan di kawasan. Berkat citra dan upaya yang ditanamkan Israel dan AS, negara Arab Sunni dan Israel kini memiliki musuh bersama, yaitu Iran dan proksinya. Presiden AS Donald Trump mengatakan, setelah UEA dan Bahrain, ada setidaknya lima atau enam negara yang menyusul menjalin kesepakatan dengan Israel. Negara tersebut diyakini, antara lain, Oman, Sudan, dan Maroko.
Belakangan, Trump juga mengatakan kepada wartawan, negara Arab Teluk ketiga, yakni Arab Saudi, akan menjalin kesepakatan dengan Israel ”pada saat yang tepat”. Melalui pernyataan yang dirilis kantor kabinet Arab Saudi, Riyadh menegaskan, mereka tetap mendukung rakyat Palestina dan menyokong semua upaya guna mencapai solusi yang adil dan komprehensif dalam isu Palestina.
Beberapa pilihan
Setelah menyebut hari penandatanganan normalisasi hubungan UEA-Bahrain dengan Israel sebagai ”hari berkabung dalam sejarah negara-negara Arab”, Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengatakan, Palestina sekarang membahas apakah perlu ”menyesuaikan hubungannya dengan Liga Arab”.
Namun, langkah itu dinilai para pengamat agak terlambat. Kritik terhadap Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang membuat Palestina terisolasi makin meningkat. ”Sangat sedikit indikasi bahwa kepemimpinan (Palestina) memikirkan ulang pendekatannya,” ujar Tareq Baconi, analis dari International Crisis Group.
Strategi Palestina berpusat pada upaya meminta pertanggungjawaban Israel di pengadilan internasional dan mencoba mematahkan dominasi AS dalam proses perdamaian Israel-Palestina. ”Dukungan Arab dan Eropa dalam strategi itu krusial, tetapi patut dipertanyakan apakah Palestina akan mampu mengamankan salah satu atau keduanya pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan perdamaian yang berkeadilan,” ujar Baconi.
Meski mengakui kesulitan yang dihadapi kepemimpinan Palestina di bawah pendudukan Israel, analis juga berpendapat, Abbas memiliki pilihan. Pemilu yang tertunda lama akan menyegarkan kembali mandat presiden dan parlemen Palestina serta meningkatkan pengaruh mereka di luar negeri dengan meningkatkan legitimasi di dalam negeri.
”Kami perlu membangun kembali institusi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari bawah dan memperkuat hubungan antarwarga Palestina di sini dan kepada diaspora,” kata analis Gaza, Talal Okal.
Menurut Talal, lebih dari 6 juta diaspora Palestina ”dapat memengaruhi komunitas tempat mereka tinggal sehingga perjuangan Palestina memiliki tempat dalam agenda pemerintah di mana mereka tinggal”.
Terkait hal itu, walau dukungan Arab berubah, Sekretaris Jenderal PLO Saeb Erekat mengatakan, strategi yang mendasari Palestina untuk mencapai negara-negara di Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Gaza tak akan berubah. ”Tetap berpegang pada dasar hukum internasional, legalitas internasional, mencapai perdamaian berdasarkan penghentian pendudukan Israel dan solusi dua negara. Kami tidak bisa berpaling dari semua itu,” kata Erekat.
Namun, seorang diplomat Barat yang tidak mau disebut namanya mengatakan, Palestina kini tak mempunyai banyak pilihan dan mengalami kebuntuan. Hal ini tak lepas dari pihak-pihak yang mendukung mereka, Turki dan Iran. ”Tidak bijak bagi Palestina terperangkap ketegangan kawasan dan persaingan antarkekuatan di kawasan,” ujar Ghassan Khatib, analis dari Palestina.
”Jika memihak Iran, Anda kehilangan dukungan Arab Saudi. Jika memihak Turki, Anda kehilangan dukungan yang lain. Lebih baik Palestina menjaga jarak yang aman dengan kekuatan-kekuatan di kawasan itu,” tuturnya. (REUTERS/AFP)