Dokumen Kesepakatan UEA-Bahrain dan Israel Tak Singgung Solusi Dua Negara
UEA-Bahrain resmi menandatangani hubungan diplomatik dengan Israel. Dua negara itu beralasan, perdamaian dengan Israel dibutuhkan untuk penyelesaian isu Palestina. Tak disinggung solusi dua negara dalam pakta mereka.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
AFP/SAUL LOEB
(Dari kiri ke kanan) Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif al-Zayani, PM Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald Trump, dan Menlu Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed al-Nahyan memperlihatkan dokumen Kesepakatan Ibrahim yang mereka tanda tangani, yang antara lain berisi pengakuan UEA dan Bahrain atas Israel di Gedung Putih, Washington DC, AS, Selasa (15/9/2020).
WASHINGTON, RABU — Uni Emirat Arab dan Bahrain resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Palestina menolak kesepakatan itu dan menyatakan tidak bersedia dijadikan alasan negara lain untuk berhubungan dengan Israel. Apalagi, dokumen perdamaian dua negara Arab dengan Israel itu sama sekali tidak menyinggung soal solusi dua negara, yang selama ini menjadi konsensus dan solusi yang didukung sebagian besar komunitas internasional.
Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed al-Nahyan, Menlu Bahrain Abdullatif bin Rashid al-Zayani, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menandatangani kesepakatan bilateral masing-masing, Selasa (15/9/2020) siang waktu Washington atau Rabu dini hari WIB. Mereka juga menandatangani Kesepakatan Ibrahim (Abraham Accord) bersama Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Abdullah mewakili kedua kakaknya, Khalifah bin Zayed al-Nahyan dan Mohammed bin Zayed al-Nahyan. Secara resmi, Khalifah adalah Presiden UEA dan Emir Abu Dhabi. Sementara Mohammed berstatus putra mahkota Abu Dhabi. Karena kondisi kesehatan Khalifah, secara faktual Mohammed menjadi pemimpin UEA dan Abu Dhabi. Mohammed pula yang aktif mengupayakan perdamaian UEA-Israel. Saat dokumen perdamaian ditandatangani di Gedung Putih, Mohammed tidak hadir.
Dalam dokumen perdamaian yang ditandangani UEA-Israel dan Bahrain-Israel tidak disinggung solusi dua negara. Dokumen-dokumen itu hanya menyebut penyelesaian konflik Palestina-Israel secara adil, menyeluruh, dan abadi.
AFP/SAUL LOEB
PM Israel Benjamin Netanyahu (kiri), Presiden AS Donald Trump, and Menlu Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed al-Nahyan (kanan) tersenyum saat menandatangani Kesepakatan Ibrahim, antara lain, berisi pengakuan UEA dan Bahrain atas Israel di Gedung Putih, Washington DC, AS, Selasa (15/9/2020).
Trump, Abdullah, dan Abdullatif kompak menyatakan bahwa Timur Tengah lelah dengan konflik. ”Terlalu lama Timur Tengah mundur karena konflik dan ketidakpercayaan, menyebabkan kerusakan tidak terperi dan menghambat potensi terbaik generasi kita dan anak muda. Sekarang ada kesempatan mengubah itu,” ujar Abdullatif.
”Penandatanganan kesepakatan damai pekan ini adalah langkah bijak. Ini pengingat bahwa bangsa UEA dan Israel serta semua orang di Timur Tengah lelah dengan konflik. Prioritas sekarang adalah melanjutkan pembaruan masyarakat dan menstabilkan kawasan yang lebih luas,” kata Abdullah.
UEA dan Bahrain menjadi negara Arab ketiga dan keempat yang menormalisasi hubungan dengan Israel setelah Israel menandatangani kesepakatan damai dengan Mesir tahun 1979 dan Jordania tahun 1994. Dalam pertemuan dengan Netanyahu di Kantor Oval, Gedung Putih, beberapa saat sebelum upacara penandatanganan, Trump mengatakan, ”Kita akan saksikan setidaknya lima atau enam negara sedang menyusul tak lama lagi,” untuk menjalin kesepakatan masing-masing dengan Israel.
Negara-negara Arab lain yang diyakini semakin dekat untuk mengakui Israel antara lain Oman, Sudan, dan Maroko. Belakangan, Trump juga mengatakan kepada wartawan bahwa negara Arab Teluk ketiga, yakni Arab Saudi, akan menjalin kesepakatan dengan Israel ”pada saat yang tepat”. Melalui pernyataan yang dirilis kantor kabinet Arab Saudi, Riyadh menegaskan bahwa mereka tetap mendukung rakyat Palestina dan menyokong semua upaya guna mencapai solusi yang adil dan komprehensif dalam isu Palestina.
AFP/SAUL LOEB
PM Israel Benjamin Netanyahu memegang dokumen Kesepakatan Ibrahim yang dia tanda tangani dengan Bahrain di Gedung Putih, Washington DC, AS, Selasa (15/9/2020).
”Kabinet mencatat bahwa Kerajaan terus mendukung rakyat Palestina dan menyokong semua upaya guna mencapai solusi yang adil dan komprehensif dalam isu Palestina yang membuat rakyat Palestina mampu mendirikan negara Palestina merdeka dengan perbatasan wilayah tahun 1967, dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota, sesuai keputusan-keputusan internasional yang sah dan Inisiatif Damai Arab,” demikian pernyataan kabinet Arab Saudi.
Solusi dua negara dalam konflik Palestina-Israel merupakan konsensus sebagian besar komunitas internasional guna menyelesaikan isu tersebut. Dengan solusi itu, diharapkan negara Palestina dan Israel dapat hidup berdampingan secara damai.
Penolakan Palestina
Palestina marah dengan penandatangan dokumen-dokumen itu. Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh mengatakan bahwa Palestina tidak mau dijadikan alasan negara lain untuk menjalin hubungan dengan Israel. Sementara Kantor Presiden Palestina menegaskan, perdamaian hanya ada apabila terwujud Palestina merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya dan area sebelum perang 1967 sebagai wilayahnya. Perdamaian juga terwujud apabila pengungsi selepas perang 1948 boleh kembali.
”Masalahnya bukan pada negara-negara yang menandatangani kesepakatan itu, melainkan orang Palestina yang menderita di bawah pendudukan,” demikian pernyataan Kantor Kepresidenan Palestina, sebagaimana dikutip WAFA.
AFP/JAAFAR ASHTIYEH
Warga Palestina berunjuk rasa di Ramallah, Tepi Barat, yang diduduki, Selasa (15/9/2020), menolak kesepakatan normalisasi hubungan Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan Israel.
Warga Palestina berunjuk rasa hingga Rabu dini hari WIB di Ramallah, Nablus, Jenin, Tulkarm, dan Hebron untuk memprotes penandatanganan kesepakatan itu. Hebron diyakini menjadi lokasi kuburan Nabi Ibrahim, yang namanya dipakai dalam perjanjian perdamaian UEA-Bahrain dengan Israel.
”Ini bukan perdamaian, ini bentuk penyerahan diri atas terus berlanjutnya agresi,” cuit akun Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Dalam jajak pendapat oleh Palestinian Center for Policy and Survey Research, sebanyak 86 persen orang Palestina yakin bahwa perdamaian UEA-Bahrain-Israel bukan untuk kepentingan Palestina. Hingga 53 persen responden menyebut kesepakatan itu sebagai pengkhianatan terhadap Palestina.
Bahrain dan UEA terus menyangkal hal itu. ”Perkembangan tentang (pembentukan) negara Palestina juga penting. Kesepakatan UEA-Israel menghentikan pencaplokan. Kepemimpinan Palestina seharusnya memanfaatkan momen ini untuk menata ulang langkahnya dan bersiap untuk terlibat lagi dari diskusi yang produktif. Mereka (Palestina) akan selalu mendapat dukungan penuh UEA,” kata Abdullah selepas penandatanganan dokumen itu, sebagaimana dikutip kantor berita UEA, WAM.
Direktur Perencanaan Kebijakan Kemenlu UEA Jamal al-Musharakh mengatakan, UEA tidak mengabaikan Palestina. Kesepakatan itu adalah perubahan penting dan menawarkan harapan serta optimisme. Kesepakatan itu akan membawa perdamaian, termasuk bagi Palestina. ”Walakin, Palestina sendiri harus terlibat dalam proses perdamaian itu,” ujarnya.
AFP/MENAHEM KAHANA
Sorot lampu bercorak bendera Amerika Serikat, Israel, Uni Emirat Arab, dan Bahrain dipantulkan ke tembok kota tua Jerusalem, Selasa (15/9/2020), sebagai dukungan terhadap kesepakatan normalisasi hubungan UEA dan Bahrain dengan Israel.
Sementara Netanyahu dan Trump menyampaikan hal berbeda soal pencaplokan itu. ”Kami tidak mau membahas itu sekarang,” kata Trump kala ditanya soal pencaplokan Israel terhadap wilayah Palestina.
Netanyahu pun bolak-balik menyatakan, pencaplokan Palestina tidak termasuk dalam pembahasan selama perundingan perdamaian Israel dengan Bahrain ataupun UEA. Dalam rencana perdamaian Israel-Palestina versi Trump, lebih dari separuh Tepi Barat dan sebagian Lembah Jordan akan diserahkan kepada Israel. Padahal, kini Israel telah membangun banyak permukiman ilegal di kedua wilayah itu.
Kepentingan
Tudingan Palestina bahwa perdamaian itu hanya untuk kepentingan tiga negara penanda tangan dokumen dikuatkan oleh isi dokumen dan pernyataan para pejabat UEA. Wakil Menlu UEA Anwar Gargash menyebut, negaranya perlu memperbarui persenjataan. Sebelum perdamaian dengan Israel, UEA telah mengajukan pembelian pesawat F-35. Kini, hanya Israel yang mengoperasikan pesawat itu di Timur Tengah. Netanyahu dan para pejabat Israel menolak jet tempur generasi kelima itu dijual ke negara lain di Timur Tengah.
Sementara Trump menyatakan tidak keberatan jika harus menjual F-35 ke UEA dan negara Arab lain. Ia juga tidak masalah jika AS menjual aneka senjata canggih ke negara-negara Arab. Selama ini, Israel mendapat perlakuan istimewa dari AS karena senjata yang dijual ke Israel lebih canggih dibandingkan senjata yang dijual ke negara-negara Arab. ”Saya pribadi tidak ada masalah dengan itu. Beberapa orang keberatan. Mereka bilang, mungkin mereka (Arab) akan berperang,” ujar Trump.
Foto tanggal 5 Agustus 2019 yang dirilis Angkatan Udara AS ini memperlihatkan seorang pilot pesawat tempur F-35 dan kru mempersiapkan sebuah misi di Pangkalan Udara Al-Dhafra, Uni Emirat Arab.
Pakta kesepakatan UEA dan Israel bertajuk ”Kesepakatan Perdamaian, Hubungan Diplomatik, dan Normalisasi Penuh” lebih detail dan lebih maju dibandingkan dokumen kesepakatan Bahrain dan Israel. Kesepakatan Bahrain dan Israel menyebut ”hubungan diplomatik penuh”, tetapi menghindari istilah normalisasi.
Menteri Ekonomi UEA Abdullah bin Touq al-Marri mengatakan, kesepakatan itu akan memberi jalan peluang usaha dan investasi. ”Menghasilkan pendapatan dan memacu kegiatan usaha yang akan menguntungkan Israel dan UEA. Sektor swasta kedua negara, juga kawasan, akan sangat diuntungkan,” ujarnya.
Bank Israel, Leumi dan Hapoalim, dilaporkan telah mulai berunding dengan dua bank UEA, yakni NBD dan First Abu Dhabi Bank. Sementara Dubai Multi-Commodities Centre (DMMC), pusat perdagangan berlian dan emas UEA, telah menjajaki kerja sama dengan pengusaha Israel dan jaringan pengusaha Yahudi. (AP/REUTERS/SAM)