Momentum Memperbaiki UU Cipta Kerja Sektor Agraria dan Kehutanan
UU Cipta Kerja yang dinyatakan catat formil menjadi momentum untuk memperbaiki sejumlah substansi dalam UU Cipta Kerja, khususnya di sektor agraria, kehutanan, dan lingkungan. Namun, perbaikan harus terbuka bagi publik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil sehingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Putusan ini menjadi momentum untuk memperbaiki sejumlah substansi dalam UU Cipta Kerja, khususnya di sektor agraria, kehutanan, dan lingkungan yang masih jauh dari aspirasi publik.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Maria SW Sumardjono mengemukakan, adanya putusan MK tersebut membuat pemerintah wajib merevisi UU Cipta Kerja selama dua tahun. Sebab, UU tersebut dapat dinyatakan inkonstitusional permanen apabila sejumlah substansi tidak segera diperbaiki dalam jangka waktu yang telah ditetapkan MK tersebut.
”Revisi UU tersebut sekaligus mencakup aturan turunannya mulai dari peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan aturan lainnya. Proses revisi wajib dilakukan secara transparan dan partisipatif. Jadi, ini pekerjaan rumah besar yang harus dikawal publik dan tidak bisa hanya asal mengubah,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (26/11/2021).
Maria menyoroti aturan UU Cipta Kerja di sektor agraria atau pertanahan yang masih perlu perbaikan dan disusun kembali. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus mengoreksi substansi bidang pertanahan yang melanggar konsepsi dan asas-asas UU No 5/1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) yang masih berlaku sepenuhnya.
Proses revisi wajib dilakukan secara transparan dan partisipatif. Jadi, ini pekerjaan rumah besar yang harus dikawal publik dan tidak bisa hanya asal mengubah.
Konsepsi dan asas-asas dalam UUPA yang masih berlaku tersebut di antaranya pemberian hak guna usaha (HGU) di atas hak pengelolaan lahan (HPL) dan pemilikan satuan rumah susun bagi orang asing yang tanah bersamanya berstatus hak guna bangunan (HGB). Adapun asas lainnya terkait penetapan HPL untuk masyarakat adat.
Menurut Maria, Kementerian ATR/BPN juga perlu menyempurnakan substansi yang selaras dengan UUPA, tetapi belum sempat diatur dalam UU Cipta Kerja, misalnya HPL dan hak atas tanah di ruang bawah air. Terpenting, UU Cipta Kerja harus menegaskan hal-hal yang semestinya diatur karena beraspek hak asasi manusia (HAM).
Beberapa contoh penegasan yang beraspek HAM adalah pengakuan terhadap masyarakat hukum adat melalui surat keputusan kepala daerah. Rincian jenis ganti kerugian atas hak ulayat untuk kepentingan umum dan besaran serta bentuk ganti kerugiannya juga perlu dituangkan dalam UU Cipta Kerja.
Selain itu, substansi lainnya yang perlu dirombak total dalam UU Cipta Kerja adalah tentang badan bank tanah. Maria memandang bahwa bentuk lembaga bank tanah bukan sebagai badan layanan umum seperti gagasan awal. Oleh karena itu, perombakan aturan perlu dilakukan untuk mencegah operasionalisasi bank tanah yang tidak tepat sasaran.
Maria kembali menekankan bahwa semua proses penyusunan perbaikan substansi UU Cipta Kerja, khususnya di sektor agraria, tidak bisa lagi dilakukan secara diam-diam. ”Wajib hukumnya memberikan hak kepada publik untuk ikut serta mengawal penyusunan ulang peraturan pertanahan tersebut. Jadi, tidak sekadar sebagai formalitas, tetapi harus menjunjung partisipasi publik yang genuine (murni),” katanya.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo juga menyampaikan hal senada. Secara teknis keputusan MK dinilai menjadi momentum untuk merevisi sejumlah substansi UU Cipta Kerja di sektor kehutanan yang masih jauh dari aspirasi publik.
”Proses perbaikan isi UU Cipta Kerja ini harus dengan syarat terbuka bagi publik. Sebab, yang dipersoalkan dalam putusan MK ini mengenai prosesnya atau aspek formil. Secara otomatis, aturan turunan UU Cipta Kerja juga pasti akan mengikuti perbaikan,” ucapnya.
Dampak UU Cipta Kerja
Sebelumnya dalam aksi satu tahun disahkannya UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas menyatakan, beberapa konflik lahan yang melibatkan masyarakat melawan perusahaan muncul ke permukaan. UU Cipta Kerja juga dinilai turut berperan meningkatkan kerusakan lingkungan dan merenggut demokrasi serta hak masyarakat adat maupun kelompok rentan.
”Konflik-konflik ini memicu kemarahan publik karena alih-alih mendatangkan investasi yang menguntungkan masyarakat setempat, justru penghidupan masyarakat dan kelestarian lingkungan yang menjadi taruhannya,” katanya.
Salah satu ancaman utama bagi lingkungan hidup dalam UU Cipta Kerja terletak pada perubahan proses perizinan untuk investasi berbasis lahan. Hal ini juga terkait bisnis ekstraktif di sektor sumber daya alam dan menjadi keistimewaan untuk proyek strategis nasional.
Di sisi lain, persyaratan untuk analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) telah dilemahkan, terutama dengan menghilangkan hak eksplisit pemangku kepentingan untuk mengajukan keberatan.