Mereka Tak Ingin Terpisah dari Leluhur
Masyarakat terus terdesak. Meraka tak diakui, hutannya tak dianggap, dan selalu menjadi kelompok yang terpinggirkan. Meskipun demikian, mereka masih punya asa untuk mempertahankan ruang hidup dan budayanya.
Penetapan hutan adat menjadi pemenuh dahaga di tengah keringnya keadilan bagi masyarakat adat. Ancaman dan kekerasan dihadapi agar kian dekat dengan leluhur dan kian lekat dengan budaya.
Iber Djamal (77), tokoh Dayak Ngaju dari Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah kini mulai bernapas lega. Apa yang ia perjuangkan sejak 25 tahun lalu mulai terwujud, meski perlahan.
Ia mantir adat di desanya yang memiliki tanggung jawab besar. Gelar dalam perangkat adat Dayak Ngaju itu diembannya selama puluhan tahun.
Baca juga: Mempertaruhkan Keselamatan demi Menyelamatkan Lingkungan
Sejak pembukaan lahan untuk mega proyek pangan tahun 1995 atau dikenal dengan proyek pembukaan lahan gambut (PLG) ia sudah berkali-kali menghadapi bahaya seperti ancaman dan bentuk kekerasan. Ketika itu, tanah miliknya maupun ribuan petani lain diserobot untuk proyek pemerintah orde baru.
“Kami sudah sampaikan, berkali-kali, jangan ambil hutan kami. Ini hutan gambut dan akan berbahaya jika dibuka, tapi tak ada yang dengar,” kata Iber di Pulang Pisau, Minggu (10/1/2021).
Ia bersama ratusan petani di Pulang Pisau berkali-kali melakukan penolakan. Bahkan sampai pergi ke Jakarta untuk menghadiri beragam rapat koordinasi hingga deklarasi masyarakat adat. Namun, hal itu tak memengaruhi keinginan Presiden Soeharto untuk mengonversi hutan menjadi sawah.
“Setelah itu (PLG) yang terjadi hanyalah kebakaran, bencana asap, kami juga yang pertaruhkan nyawa untuk padamkan api gambut yang bisa bertahan berhari-hari bahkan berbulan-bulan,” katanya.
Baca juga: Masyarakat Adat di Kalteng Belum Diakui
Perjuangan Iber dan kawan-kawannya berkembang. Mereka tak lagi menolak proyek lumbung pangan tetapi memperjuangkan pengukuhan komunitas adat beserta hutan adat di desanya. Sejumlah lembaga mendampingi mereka di antaranya dengan memetakan wilayah adatnya.
Bertahun-tahun memperjuangkan ruang hidupnya, perjuangan mereka mulai mendapatkan hasil menggembirakan pada tahun 2019 dengan penerbitan Surat Keputusan Bupati Pulang Pisau terkait pengakuan masyarakat hukum adat (MHA). Selain itu, di tahun yang sama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun mengeluarkan SK Menteri LHK Nomor 5447/MENLHK-PSKL/PKTHA/KUM.1/6/2019 yang menetapkan hutan adat mereka.
Yuliana Nona, pendamping masyarakat yang saat itu masih bergabung di USAID Lestari, mengatakan hutan adat itu bernama Pulau Barasak yang terletak di area berstatus area penggunaan lain (APL).
Status lahan ini membuat SK cepat keluar. Tak seperti area dengan status kawasan hutan yang memerlukan pengakuan peraturan daerah (perda) terlebih dulu seperti yang diwajibkan perundangan.
Supaya mereka mengenal hutan yang kami nikmati dulu namun sekarang malah diganti kebun. (Effendi Buhing)
“Untung cepat disahkan karena kawasan itu (hutan adat) berbatasan dengan perkebunan sawit juga tempat pelepasliaran orangutan,” kata Yuliana.
Hutan Adat Pulau Barasak yang hanya seluas 102 hektar dengan fungsi lindung ini menjadi satu-satunya hutan adat di Kalteng melalui skema perhutanan sosial. Sampai saat ini, dalam skema perhutanan sosial, dari data Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, terdapat 151 izin dengan total luas 205.381,95 hektar. Rinciannya, 28 izin hutan desa (79.531 hektar), 69 izin hutan kemasyarakatan (68.107,99 hektar), 51 izin hutan tanaman rakyat (57.640,96 hektar), dan satu izin hutan adat di Pulang Pisau tadi.
Baca juga: Satu Lagi Hutan Adat di Kalteng Diusulkan
Secara nasional, menurut data KLHK, hutan adat yang telah ditetapkan 75 SK bagi 75 MHA dengan 39.371 keluarga pada areal 56.903 ha di 15 provinsi. Selain itu, 1,1 juta ha area di 19 provinsi telah dideliniasi menjadi hutan adat. Artinya, area tersebut sudah tidak boleh lagi dialokasikan bagi peruntukan lain dan memerlukan dukungan gubernur untuk penyelesaian perda masyarakat adat.
Berbeda nasib
Namun tak semua masyarakat adat di Kalteng bernasib "seberuntung" Ibner. Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan di Lamandau, Effendi Buhing sempat ditangkap lantaran memperjuangkan hutan adat.
Ia dituduh sebagai otak pencurian alat berat dan pengancaman karyawan perusahaan perkebunan sawit. Saat ini statusnya pun masih tersangka di Polda Kalteng.
“Tujuannya kami itu untuk masa depan, untuk anak-cucu. Supaya mereka mengenal hutan yang kami nikmati dulu namun sekarang malah diganti kebun,” kata dia.
Effendi sejak tahun 2016 bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) memetakan wilayah hutan adatnya yang telah dijaga turun-temurun. Dari 16.000 hektar yang terpetakan, kini hampir 3.000 hektar lenyap diganti perkebunan kelapa sawit. Itu pun masih disanggah oleh pemerintah setempat bahwa tak ada hutan adat di Lamandau.
Padahal, Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalteng melalui BRWA selama bertahun-tahun sudah memetakan setidaknya 12 peta partisipatif di Kalteng, termasuk di Lamandau, seluas 119.777,76 hektar.
Apa yang ditakutkan Effendi dan masyarakat yang menolak pembukaan hutan terjadi. Banjir pun datang. Mereka yang lahir dan besar di desa itu menjawab seragam, tak pernah ada banjir sebelum hutan dibuka.
Baca juga: Dedi Mulyadi, Hutan Adat Rumit, Konsesi Mudah
Penjabat Ketua Badan Pelaksana Harian Wilayah AMAN Kalteng Ferdi Kurnianto bercerita tentang bagaimana sulitnya lembaga mereka membantu masyarakat mendapat pengakuan dari pemerintah. Bahkan, untuk melakukan pemetaan wilayah saja mereka harus urunan dengan warga.
“Ada yang mengumpulkan uang secara sukarela, bahkan beras, garam, lauk-pauk, dan macam-macam. Ini bentuk dari perjuangan mereka ingin diakui,” kata Ferdi.
Ia bercerita bagaiman mereka memetakan 8.800 hektar lahan adat di Tumbang Bahanei, Kabupaten Gunung Mas. Sebelum mereka diminta tolong, AMAN Kalteng memastikan bahwa keputusan pemetaan dan pembentukan masyarakat adat itu merupakan inisiatif seluruh warga desa bukan sebagian.
“Akhirnya mereka membuat musyawarah dan semuanya sepakat. Baru kami jalan membantu mereka,” katanya.
Komitmen rendah
Menurut Fredi, pemerintah daerah memiliki komitmen yang rendah dalam mengakui dan menetapkan hutan adat. Banyak hal yang memengaruhinya, salah satunya kepentingan kelompok tertentu.
“Belum lagi ada proses politik, misalnya dibutuhkan perda, yang harus dilalui dan birokrasi rumit. Padahal, yang dilakukan ini merupakan tanggung jawab mereka,” ungkap Ferdi.
Kepala Bidang Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, Ihtisan, menyampaikan, selama ini piihaknya berupaya untuk mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk lebih bekerja keras dan serius dalam perhutanan sosial, termasuk hutan adat. Namun, banyak dari mereka belum memahami aturan dan regulasi terkait itu.
“Kami sudah ada upaya, sampai mengeluarkan surat gubernur, isinya kami menghimbau para bupati untuk membuat perda pengakuan masyarakat hukum adat, baru obyeknya (hutan adat) bisa kami kasih,” ungkap Ihtisan.
Di Kalteng ini, kita melihat, meski Iber Djamal berasal dari Dayak Ngaju dan Effendi Buhing dari Dayak Tomun yang memiliki perbedaan tradisi dan bahasa, pemahaman mereka sama soal hutan adat. Hutan merupakan warisan leluhur yang menjadi sumber identitas dan kehidupannya.
Hutan adat membuat mereka dan generasi penerus kian dekat dengan leluhur dan tak melupakan budaya.
Baca juga: Nestapa Upaya Menjaga Lingkungan