Benahi Sistem Pangan Berbasis Kemandirian dan Keberagaman
Pandemi Covid-19 kian menyadarkan akan kerentanan sistem pangan Tanah Air yang masih bergantung pada impor. Perlu dilakukan perbaikan sistem demi tercapai kedaulatan pangan dengan memanfaatkan pangan lokal.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah menyingkap kerentanan sistem pangan Tanah Air yang tergantung pada impor dan sekaligus bisa menjadi momentum untuk membenahinya. Indonesia seharusnya bisa berdaulat jika mengoptimalkan keberagaman sumber pangan, sesuai dengan kondisi lingkungan dan geografis kepulauan.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) telah memperingatkan ancaman kelaparan yang dipicu oleh pandemi Covid-19 ini. ”Kemungkinan, sebanyak 132 juta orang mengalami kelaparan pada 2020 akibat resesi ekonomi yang dipicu pandemi,” sebut FAO dalam menyambut Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober.
Berdasarkan data FAO, sebelum pandemi, lebih dari 2 miliar orang tidak memiliki akses reguler ke makanan yang aman dan bergizi. Hampir 700 juta orang tidur dalam keadaan lapar. Meskipun dunia sekarang menghasilkan lebih dari cukup makanan untuk memberi makan semua orang, sistem pertanian pangan tidak seimbang dan tidak adil.
Kelaparan masih terjadi dan, di sisi lain, obesitas, degradasi lingkungan, kehilangan dan pemborosan makanan, serta kurangnya keamanan bagi pekerja rantai makanan menunjukkan adanya masalah serius dalam permasalahan pangan global. Oleh karena itu, dalam peringatan kali ini, FAO mengangkat tema ”Grow, Nourish, Sustain. Together” atau ”Tumbuhkan, Pelihara, Lestarikan. Bersama”. Tindakan kita adalah masa depan kita, tema itu mengajak semua pihak menata ulang sistem pangan.
Di tingkat nasional, sistem pangan Indonesia saat ini belum menunjukkan perbaikan. ”Kalau melihat parameter global, seperti Indeks Ketahanan Pangan Global dan Indeks Kelaparan Global, posisi Indonesia masih di level menengah ke bawah. Di Asia Tenggara, Indonesia hanya lebih baik dari Flipina, Myanmar, dan Laos. Jauh tertinggal jika dibandingkan Thailand, Vietnam, Malaysia, atau Singapura,” tutur Khudori, peneliti kebijakan pangan dan anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan, di Jakarta, Jumat (16/10/2020).
Melihat tren impor pangan yang cenderung meningkat, menurut Khudori, Indonesia juga belum membaik kalau dilihat dari aspek kedaulatan pangan. ”Padahal, pandemi ini menunjukkan pentingnya kemandirian produksi pangan. Ketergantungan pangan pada impor akan membahayakan jika krisis berkepanjangan,” katanya.
Meski demikian, menurut Khudori, kemandirian pangan ini harus ditopang dengan perbaikan rantai pasok. ”Selama tiga bulan berturut-turut terjadi deflasi, di antaranya disumbang oleh peternakan dan hortikultura yang harganya jatuh. Banyak petani tidak memanen sayuran karena biayanya bisa jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga jual,” kata Khudori.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, pandemi ini telah menunjukkan ketimpangan dalam penyediaan pangan. Ketika rantai pasok terganggu, petani dan masyarakat miskin menjadi korbannya.
”Harga komoditas hortikultura di tingkat petani turun sampai 50 persen sejak Maret lalu. Saat panen raya pada Mei lalu, harga padi juga di bawah HPP (harga pembelian pemerintah). Akan tetapi, belum ada kebijakan yang berpihak kepada petani. Kita tidak akan bisa berdaulat pangan jika mengabaikan produsen pangan,” tutur Said.
Keberagaman pangan
Khudori mengingatkan, kedaulatan pangan di Indonesia hanya akan bisa dicapai dengan kembali kepada keragaman pangan lokal. Sebagai negara tropis kepulauan, yang memiliki keragaman lingkungan dan budaya, Indonesia tidak bisa menyandarkan pada pangan yang seragam.
”Keragaman pangan ini bukan hal baru, tetapi progresnya makin mundur. Ini karena kita tidak punya peta jalan untuk mencapainya, yang harusnya menjadi acuan dari setiap kementerian dan lembaga. Yang terjadi saat ini, programnya bisa saling kontradiktif,” tuturnya.
Pengembangan beragam pangan berbasis petani lokal ini seharusnya yang menjadi pilihan kebijakan, dibandingkan dengan pengembangan food estate berskala besar dengan tanaman seragam. ”Kita punya banyak sumber pangan berlimpah, salah satunya sagu, kenapa tidak dioptimalkan? Kenapa harus ada food estate di lahan dan budaya masyarakat pemakan sagu, seperti di Merauke dan sekarang di Kalimantan. Ini seperti mengabaikan ragam pangan yang ada,” katanya menjelaskan.
Menurut Khudori, ragam pangan lokal ini hanya bisa berkembang optimal jika ada kebijakan yang mendukung. Misalnya, pemerintah seharusnya bisa mengurangi ketergantungan pada impor gandum dengan mewajibkan bauran dengan bahan lokal, misalnya dengan tepung mocaf dari fermentasi singkong dan pati sagu yang ketersediaannya berlimpah.
”Saat ini, sistemnya belum adil. Tepung mocaf kena PPN 10-11 persen, sementara gandum bebas bea impor. Bahkan, saat harga gandum global tinggi pada 2007-2008, pemerintah memberi subsidi agar harganya turun,” ujarnya.
Data BPS, impor jagung tahun 2017 sekitar 520.000 ton dan impor gandum mencapai 11,43 juta ton. Tahun 2018, impor jagung 740.000 ton dan gandum sebesar 10,10 juta ton. Kemudian, pada 2019, impor gandum 10,69 juta ton dan impor jagung melonjak menjadi 1,58 juta ton. Indonesia saat ini merupakan salah satu negara pengimpor gandum terbesar di dunia.
Perlu pengolahan
Meski berlimpah, menurut Project Manager Peduli Pangan Dede Rina, kekayaan potensi pangan lokal Indonesia belum diolah optimal. Dalam pandangan gerakan sukarelawan Peduli Pangan yang membantu masyarakat mendapat pasokan makanan, pengolahan pangan bisa optimal jika publik juga bisa mengkreasikan satu bahan pangan menjadi beragam produk.
”Pangan kita masih diolah sebagaimana adanya, misalnya umbi-umbian direbus saja,” kata Dede Rina.
Menurut National Director of International Association of Students in Agricultural and Related Science (IAAS) Indonesia Brigita Sidharta, Hari Pangan Sedunia menjadi momentum untuk mengeksplorasi bahan pangan. Itu bisa memberi kesempatan kepada petani untuk melakukan polikultur atau pertanaman campuran. Sistem itu menjamin ketersediaan beragam pangan secara berkelanjutan. (SKA)