Akses Legal Pengelolaan Hutan bagi Masyarakat Sekitar Hutan Dikuatkan
Pemerintah mengklaim RUU Cipta Kerja memberikan keberpihakan bagi perhutanan sosial karena disebutkan langsung dalam perundangan itu. Namun, tanpa hal itu, perhutanan sosial sudah berjalan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di balik banyaknya kritik terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, peraturan ini dianggap dapat memberikan keadilan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Melalui peraturan ini, masyarakat akan mendapatkan akses legal pengelolaan hutan yang sama dengan korporasi sehingga dapat menjamin kepastian hukum.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono menyampaikan, RUU Cipta Kerja merupakan wujud nyata dalam menciptakan lapangan pekerjaan, khususnya bagi masyarakat di dalam kawasan hutan dan sekitarnya. Sebab, dalam RUU Cipta Kerja memuat aturan tentang perhutanan sosial yang belum pernah tertuang dalam undang-undang manapun.
”Untuk pertama kalinya dalam sejarah, RUU Cipta Kerja meletakkan pasal yang menyebutkan kegiatan perhutanan sosial. Inilah yang akan menjadi kepastian hukum, kepastian kawasan, dan kepastian usaha bagi masyarakat di dalam ataupun di sekitar kawasan hutan,” ujarnya dalam diskusi daring, Senin (12/10/2020).
Berdasarkan dokumen RUU Cipta Kerja yang akan dibawa ke Presiden untuk ditandatangani, aturan tentang kegiatan perhutanan sosial tertuang dalam Pasal 29a dan 29b.
Pasal 29a menyatakan bahwa kegiatan perhutanan sosial merupakan bagian dari pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi. Perhutanan sosial dapat diberikan kepada perseorangan, kelompok tani hutan, dan koperasi. Sementara Pasal 29b menyebutkan ketentuan lebih lanjut tentang perhutanan sosial diatur dalam peraturan pemerintah.
”Dengan adanya akses legal ini tidak akan bisa lagi masyarakat dikenai pidana. Kalaupun ada kesalahan, maksimal itu hanya akan dikenai sanksi administrasi. Demikian juga kalau belum ada izin yang diberikan, dalam pasal-pasal yang mengatur tentang norma sanksi, kami sudah mendorong agar hanya diberikan sanksi administrasi saja kepada masyarakat,” tuturnya.
Skema perhutanan sosial ini sebelumnya hanya tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016. Aturan tersebut menyatakan bahwa perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatan kesejahteraan dalam bentuk hutan desa, hutan rakyat, ataupun hutan adat.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK, terdapat 25.863 desa di dalam atau sekitar kawasan hutan. Namun, masih terdapat ketidakadilan pemanfaatan hutan, khususnya bagi masyarakat di desa-desa tersebut.
Tercatat dari total 42 juta hektar pemanfaatan hutan yang ada di Indonesia, masyarakat lokal hanya memanfaatkan sekitar 1,75 juta hektar atau 4 persen. Sementara seluas 40,46 juta hektar atau 96 persen lainnya dimanfaatkan oleh sektor swasta.
Direktur Jenderal PSKL KLHK Bambang Supriyanto menyatakan, berkaca dari kondisi tersebut, pemerintah terus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui skema perhutanan sosial. Melalui skema tersebut, masyarakat ditargetkan dapat memanfaatkan hutan hingga seluas 12,7 juta hektar atau 30 persen dari total pemanfaatan yang ada.
Dirjen PSKL juga mencatat, realisasi perhutanan sosial hingga 30 September 2020 mencapai 4,2 juta hektar yang dikelola sekitar 860.000 keluarga. Adapun kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) yang telah terbentuk hingga Juni 2020 sebanyak 7.311 kelompok. Sementara surat keputusan izin atau hak yang telah dikeluarkan mencapai 6.673 perizinan.
Merampas wilayah
Sebelumnya, RUU Cipta Kerja juga mendapat kritik dan penolakan dari sejumlah pihak, salah satunya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi melalui siaran persnya menyampaikan, RUU Cipta Kerja memastikan investor untuk lebih leluasa masuk dan merampas wilayah di tengah ketidakpastian pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat.
AMAN menilai UU Cipta Kerja berbahaya bagi masyarakat adat yang menjalankan pekerjaan tradisionalnya. Hal ini terjadi karena UU Cipta Kerja secara umum mengatur kemudahan berinvestasi melalui penyederhanaan perizinan. Di sisi lain, proses pengakuan terhadap masyarakat adat masih diserahkan kepada kebijakan sektoral yang berbelit-belit dan saling mengeliminasi.
Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM San Afri Awang menuturkan, substansi dalam peraturan pemerintah (PP) tentang perhutanan sosial harus mengatur dan menyederhanakan persoalan hutan adat. Aturan tersebut juga tidak perlu menunggu perubahan Undang-Undang 41 Tahun 1999 yang dalam Pasal 67 mengatur tentang hutan adat.
”Menurut saya, di PP perhutanan sosial masalah hutan adat bisa diterobos. Sebab, hukum terakhir itulah yang dirujuk. Kalau Pasal 29a dan 29b (RUU Cipta Kerja) mencakup hutan adat, maka sebetulnya Pasal 67 di Undang-Undang 41 itu bisa dilemahkan dengan pasal terbaru di RUU Cipta Kerja. Jadi, tergantung keberanian saat sinkronisasi produk hukum nanti,” ungkapnya.