Rumah Sakit Terkendala Investasi dalam Penerapan Kelas Standar
Kelas rawat inap standar program JKN yang akan diterapkan 30 Juni 2025 masih menghadapi kendala.
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah telah menargetkan implementasi kelas rawat inap standar atau KRIS dalam program Jaminan Kesehatan Nasional bisa terlaksana paling lambat 30 Juni 2025. Diharapkan seluruh rumah sakit sudah bisa memenuhi kriteria kelas standar yang sudah diatur.
Akan tetapi, sejumlah rumah sakit mengaku masih menghadapi kendala dalam memenuhi seluruh kriteria kelas rawat inap standar yang telah ditetapkan. Kendala itu terutama terkait pemenuhan kriteria infrastruktur bangunan dan ruangan. Selain itu, rumah sakit masih menunggu kepastian besaran standar tarif layanan serta standar iuran dari peserta.
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia Ichsan Hanafi, dihubungi di Jakarta, Kamis (28/3/2024). Sejumlah rumah sakit masih belum bisa memenuhi kriteria yang dibutuhkan karena membutuhkan biaya investasi yang besar.
Baca juga: Penerapan Kelas Standar Jangan Tergesa-gesa
”Ada beberapa rumah sakit yang belum mampu memenuhi kriteria, seperti syarat empat kamar tidur untuk kelas standar. Jika harus melakukan renovasi itu biayanya terlalu besar, sementara saat ini regulasi mengenai detail penerapan kelas standar juga belum ada. Jika mau diterapkan pada 30 Juni 2025, harus ada kepastian regulasi dari sekarang,” tuturnya.
Ichsan mengatakan, kepastian regulasi yang diharapkan, antara lain, terkait tarif layanan yang akan dibayarkan ke fasilitas kesehatan. Saat ini, tarif layanan yang dibayarkan ke rumah sakit mengikuti ketentuan tarif INA CBGs yang berlaku sesuai dengan kelas peserta yang dilayani. Tarif INA CBGs (Indonesia Case Based Groups) merupakan tarif yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit dengan sistem paket berdasarkan jenis penyakit.
Selain itu, kepastian regulasi lain yang juga dinanti terkait aturan pada peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan meningkatkan kelas layanan. Hal ini terkait pula dengan implementasi dari sistem COB (coordination of benefit) dalam pembayaran selisih tarif layanan yang bekerja sama dengan asuransi atau perusahaan.
Menurut Ichsan, penerapan kelas rawat inap standar perlu diatur secara konkret. Berbagai dampak perlu diantisipasi dalam penerapan kelas standar tersebut. Salah satunya, dengan berkurangnya kapasitas tempat tidur di rumah sakit. Dalam kriteria yang diatur, setiap ruangan perawatan maksimal hanya berisi empat tempat tidur.
”Kalau tempat tidur kurang, itu artinya rumah sakit tidak bisa menolong pasien. Sedangkan apabila harus menambah tempat tidur dengan menambah ruangan, rumah sakit butuh investasi lagi untuk pengembangannya,” ucapnya.
Tarif layanan yang diklaim perlu sesuai dengan nilai keekonomian dan standar mutu yang diberikan.
Kriteria fasilitas ruang perawatan kelas rawat inap standar telah diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor 1811 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Kesiapan Sarana Prasarana RS dalam penerapan KRIS.
Setidaknya ada 12 kriteria yang diatur, antara lain kepadatan ruang rawat inap maksimal empat tempat tidur dengan jarak tepi tempat tidur minimal 1,5 meter, terdapat kamar mandi dalam ruang rawat inap, dapat mempertahankan suhu ruangan 20-26 derajat celsius, serta kamar mandi yang sesuai dengan standar aksesibilitas.
Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Wibowo menyampaikan, rumah sakit berkomitmen untuk bisa mendukung pelaksanaan program JKN yang berkelanjutan. Akan tetapi, kebijakan yang berlaku pun diharapkan turut mendukung rumah sakit tetap bisa bertumbuh.
”Pada prinsipnya, sekarang ini pasien terbesar di rumah sakit adalah peserta JKN. Jadi, kami harap tarif pelayanan yang dibayarkan itu jangan lebih lebih rendah dari unit cost rumah sakit. Tarif layanan yang diklaim perlu sesuai dengan nilai keekonomian dan standar mutu yang diberikan,” ungkapnya.
Penumpukan pasien
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, persoalan utama yang harus diantisipasi dari penerapan kelas rawat inap standar ialah adanya penumpukan pasien. Pada Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan, disebutkan bahwa rumah sakit pemerintah dalam implementasi KRIS perlu menyediakan kuota 60 persen untuk peserta JKN dan rumah sakit swasta sebesar 40 persen dari seluruh tempat tidur yang dimiliki.
Sementara saat ini, aturan mengenai kuota tersebut belum berlaku karena KRIS belum diterapkan. Selama KRIS belum diterapkan, semua tempat tidur yang dimiliki rumah sakit bisa digunakan untuk peserta JKN dengan pembagian kelas, baik kelas 1, kelas 2, maupun kelas 3.
Baca juga: Implementasi Kelas Rawat Inap Standar Masih Tunggu Revisi Aturan
”Aturan itu secara nyata melegitimasi dan melegalkan adanya diskriminasi. Dengan kondisi sekarang ini saja masih banyak terjadi penumpukan pasien JKN di rumah sakit. Jika diterapkan KRIS dengan batasan kuota, akan membuat semakin banyak pasien yang ditolak. Belum lagi dengan ketersediaan tempat tidur yang juga berkurang,” tutur Timboel.
Itu sebabnya, rencana penerapan KRIS harus disiapkan secara matang. Selain kesiapan rumah sakit, penerapan ini juga harus mempertimbangkan akses layanan pada peserta. Besaran iuran yang ditetapkan juga jangan sampai memberatkan sebagian masyarakat.
Apabila penerapan kelas standar disertai dengan perubahan besaran iuran yang juga disamakan, sejumlah penolakan bisa saja terjadi. Penolakan besaran iuran terutama akan muncul dari kelompok masyarakat menengah ke bawah yang sebelumnya masuk dalam peserta mandiri kelas 3.
Baca juga: Penerapan Kelas Standar Dilakukan Bertahap
”Jika iuran disamakan, misalnya sesuai dengan biaya iuran kelas 2 saat ini, tentu semakin meningkatkan risiko ketidakmampuan membayar dari peserta kelas 3. Dampaknya, tunggakan akan semakin besar. Di sisi lain, pemasukan iuran pun akan menurun karena besaran iuran untuk kelas 1 juga menurun. Ini bisa berdampak pada dana jaminan sosial,” papar Timboel.
Tindak lanjut
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Azhar Jaya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Rabu (27/3/2024), menyebutkan, pemerintah akan mendorong agar setiap rumah sakit bisa segera memenuhi kriteria KRIS agar kelas standar tersebut bisa dilaksanakan sesuai target sebelum 30 Juni 2025. Target tersebut sebenarnya sudah diundur. Sebelumnya, penerapan KRIS direncanakan mulai terimplementasi pada 1 Januari 2023.
Kementerian Kesehatan pun telah menyusun tindak lanjut bagi rumah sakit yang belum memenuhi 12 kriteria KRIS. Bagi rumah sakit pemerintah kelas C dan D dengan pendapatan terbatas akan ditindaklanjuti dengan dukungan pembiayaan dari Dana Alokasi Khusus 2024 serta Dana Alokasi Khusus 2025. Sementara rumah sakit swasta dengan pendapatan terbatas akan didorong melalui advokasi pada pemilik rumah sakit serta kebijakan relaksasi pada rumah sakit dengan ketersediaan tempat tidur yang terbatas.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan Kementerian Kesehatan, sebanyak 2.433 rumah sakit atau 79,05 persen dari rumah sakit yang terdaftar mengaku sudah memenuhi semua kriteria KRIS. Pendataan itu didapatkan dari pengisian survei self assessment dari rumah sakit. Sementara jika merujuk pada validasi dinas kesehatan, rumah sakit yang memenuhi kriteria KRIS per 22 Maret 2024 sebanyak 1.053 rumah sakit.
”Kami paham rumah sakit perlu diberikan waktu sehingga kami merancang utk relaksasi daripada aturan implementasi KRIS. Kalau diurut-urut, sebenarnya aturan mengenai KRIS sudah ada lebih dari lima tahun. Jadi, kami harap, dengan relaksasi ini tahun 2025 pada bulan Juni semua rumah sakit sudah bisa melaksanakan KRIS,” tutur Azhar.