Menagih Janji Presiden Jokowi kepada Masyarakat Adat Sebelum Lengser
Enam warga masyarakat adat bersaksi di hadapan hakim bahwa Presiden dan DPR tidak pernah berniat menepati janjinya.
Masih teringat jelas di benak masyarakat adat janji kampanye Presiden Joko Widodo dalam program Nawacita tahun 2014. Ketika itu Jokowi menyatakan bahwa pemerintah akan melindungi dan memajukan masyarakat adat.
Janji yang membuat masyarakat adat berada di barisan pendukung Jokowi bersama calon wakilnya, Jusuf Kalla, itu kini tinggallah janji. Sepuluh tahun hampir berlalu, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat tidak kunjung disahkan.
Walau Presiden tak kunjung memenuhi janji, perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan hukum dari negara tidak berhenti. Mereka yang kini keluar dari barisan pendukung Jokowi terus melakukan upaya advokasi dengan jalur hukum menggugat Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera menepati janji sebelum masa jabatannya habis, delapan bulan lagi.
Adalah enam individu yang berangkat ke Jakarta pada Kamis (14/3/2024), lalu bersaksi di hadapan majelis hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara tentang kehidupan mereka yang semakin terancam karena tidak adanya kepastian hukum. Ini mungkin menjadi jalur hukum yang kesekian kalinya yang coba ditempuh untuk memohon pelindungan dari negara.
Saya berharap kepada yang mulia (hakim), saya tidak tahu ke mana lagi harus berharap.
Mereka adalah Abdon Nababan, Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN); Effendi Buhing, Ketua Adat Laman Kinipan, Kalimantan Tengah; Faris Babero, anggota adat O’Hoberera Manyawa (suku Tobelo di luar hutan) di Maluku Utara; Ferdinandes Danse, masyarakat adat Golo Munde, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur; Momonus, masyarakat adat Dayak Iban Semunying Jaya, Kalimantan Barat; dan Hermina Mawa, perempuan petenun dan ketua kelompok tani di Komunitas Adat Rendu, NTT.
Abdon ingat betul percakapan dengan Presiden Jokowi, yang didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, saat menjamu AMAN di Istana Merdeka, Jakarta, 25 Juni 2015. Kala itu Jokowi yang belum genap setahun menjabat kepala negara dengan tegas menyatakan akan berpihak merampungkan RUU Masyarakat Adat.
Komitmen ini diambil Jokowi berdasarkan perintah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Wilayah Adat sebagai Hak Konstitusional Masyarakat Adat. Presiden lalu menerbitkan instruksi presiden, membentuk Satgas Masyarakat Adat di bawah Kementerian LHK, dan berkoordinasi dengan Polri untuk melindungi masyarakat adat.
Namun, 10 tahun berlalu, janji itu tak kunjung menjadi kenyataan. Perampasan tanah di wilayah adat atas nama pembangunan terus terjadi. Sedikitnya telah terjadi 301 kasus perampasan tanah di wilayah adat dalam kurun 2017-2022. Perampasan terhadap wilayah seluas 8,5 juta hektar itu umumnya meliputi sektor perkebunan, pertambangan, dan kawasan hutan negara.
”Jadi, saya tidak tahu juga apa yang mereka (presiden dan anggota DPR) pikirkan, tiba-tiba berubah seperti sekarang, karena saat bertemu, hampir semua menyatakan mendukung dan juga mengatakan melihat seperti apa yang saya lihat. Dari substansinya, RUU itu sudah beres, tinggal diketok saja,” kata Abdon.
Baca juga: Pengakuan Masyarakat Adat oleh Pemerintah Daerah Rendah
Sementara itu, UU Cipta Kerja, Revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara, hingga Revisi UU KPK yang tidak ada dalam Nawacita periode pertama Presiden Jokowi bisa disahkan dalam waktu singkat. Menurut Abdon, walau RUU Masyarakat Adat sudah disahkan, tetap akan ada tumpang tindih dengan sederet undang-undang kontroversial tersebut. Namun, setidak-tidaknya dengan adanya UU, mereka bisa beradu argumentasi hukum jika memiliki dasar hukum yang kuat.
Jika tidak, konflik agraria di wilayah adat seperti belakangan ini terjadi pada masyarakat adat Pamaluan, Kalimantan Timur, yang tergusur proyek Ibu Kota Nusantara, akan semakin menjamur. AMAN mencatat, selama Januari hingga September 2023 saja sudah terjadi 12 kasus kriminalisasi masyarakat adat.
Konflik semacam ini pernah dialami Effendi Buhing, Ketua Adat Laman Kinipan dari Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, pada 2020. Dia bersama empat anggota komunitas adat ditangkap, ditetapkan sebagai tersangka, dan ditahan oleh polisi Kalteng. Mereka dituduh merampas mesin pemotong pohon dan mengancam karyawan PT Sawit Mandiri Lestari (SML) yang menyerobot wilayah hutan adat.
Padahal, mereka melakukan hal itu setelah serangkaian jalur hukum formal, seperti permohonan pengakuan hutan adat kepada pemerintah daerah sejak 2018, tidak digubris. Bahkan, saat bersaksi di hadapan Majelis Hakim PTUN, status Effendi belum dipulihkan alias masih tersangka.
”Saya datang jauh-jauh ke sini untuk menyampaikan dengan fakta-fakta ini bahwa kami sangat membutuhkan undang-undang itu. Mereka terus melemahkan kami dengan berbagai macam aturan. Saya berharap kepada yang mulia (hakim), saya tidak tahu ke mana lagi harus berharap,” kata Effendi.
Baca juga: Pulang Selamanya Menjaga Kampung Adat
Begitu pula dengan Faris Babero yang bersaksi bahwa wilayah adat Tobelo di Halmahera Utara, Maluku Utara, semakin terimpit oleh Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan izin pertambangan nikel yang diberikan pemerintah kepada PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), PT Weda Bay Nickel, dan subkontraktor lainnya. Padahal, jauh sebelum Indonesia merdeka, suku Tobelo sudah tinggal di sana dan punya pengetahuan mengelola wilayah hidup mereka.
Setelah gempuran investor, masyarakat adat Tobelo kesulitan berburu di hutan. Kalaupun boleh, hewan buruan sudah mati karena habitatnya rusak. Program pemberdayaan sosial Komunitas Adat Terpencil (KAT), yang membuatkan bangunan rumah bagi masyarakat adat Tobelo, pun gagal. Sebab, mereka terbiasa tinggal di dalam hutan, bukan di bangunan rumah.
”Wilayah ini nyaris hilang dengan adanya usaha pertambangan nikel besar-besaran di hutan Halmahera,” ujar Faris.
Saksi lain adalah Momonus, yang pernah menjabat kepala desa di sana, tetapi tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari perusahaan sawit yang beroperasi di desa mereka. Terakhir, Hermina Mawa, seorang perempuan petenun dan ketua kelompok tani di Komunitas Adat Rendu, Kabupaten Nagekeo, NTT, yang merugi secara ekonomi dan tempat ritualnya tergusur demi pembangunan proyek Waduk Lambo oleh pemerintah di wilayah adat mereka.
”Saya pernah ditahan 9 malam 10 hari dan satu bulan menjadi tahanan kota karena konflik dengan perusahaan, padahal saya mempertahankan tanah adat saya sendiri,” kata Momonus.
Melalui kesaksian-kesaksian dalam sidang gugatan nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT ini, masyarakat adat mendesak Presiden Jokowi dan wakil rakyat untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebelum berganti rezim. Kalaupun tidak sempat, pemerintah selanjutnya juga masih berkewajiban memberikan pengakuan hukum bagi masyarakat adat.
”Kemarin (cawapres) Gibran juga berjanji hal yang sama. Dia juga perwakilan Jokowi, kan,” kata Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi.
Baca juga: Pemerintah dan DPR Digugat karena Tak Tepati Janji Masyarakat Adat
Produk hukum untuk mengakui masyarakat adat sebenarnya sudah banyak. Beberapa di antaranya Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B Ayat (2), UU Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 67, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021. Semua ini merupakan kewajiban konstitusional DPR dan Presiden sebagai penyelenggara negara.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Usep Setiawan, mengklaim pemerintah tetap berkomitmen menuntaskan RUU Masyarakat Adat sebelum berganti presiden. Diskusi lintas kementerian dan lembaga yang melibatkan akademisi dan sejumlah organisasi sipil terkait juga dilakukan agar RUU Masyarakat Adat yang akan disahkan menjadi kesepakatan bersama.