Pemerintah dan DPR Digugat karena Tak Tepati Janji Masyarakat Adat
Tahun 2014 Presiden Jokowi dan DPR pernah berjanji mengesahkan RUU Masyarakat Adat, tapi sampai saat ini tidak terwujud.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat adat menggugat Presiden dan DPR ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta karena dianggap telah mengabaikan amanat konstitusi dan janji membentuk Undang-Undang Masyarakat Adat sejak 20 tahun lalu. Sejumlah saksi mengungkapkan penderitaan mereka yang digempur kepentingan kapitalis karena tidak memiliki pengakuan hukum.
Gugatan nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT ini diajukan oleh sembilan penggugat antara lain, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan tujuh penggugat lainnya adalah individu masyarakat adat yang saat ini mendekam di dalam penjara karena dikriminalisasi saat membela wilayah adatnya. Sejak tahun 2003 advokasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat terus mereka lakukan, terbaru pada 2023 mereka bersurat ke Presiden dan DPR pun tak kunjung mendapatkan respons positif.
AMAN mencatat selama 2017-2022, terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat. Selain itu, pada Januari-September 2023 terjadi 12 kasus kriminalisasi masyarakat adat. Konflik yang terjadi di wilayah adat seluas 8,5 juta hektar itu umumnya menyangkut sektor perkebunan, pertambangan, dan kawasan hutan negara.
Masih ada waktunya masih panjang, tujuh bulan lebih. Jadi ya kalau serius, semestinya bisa disahkan.
Dalam sidang ini, Ketua Dewan AMAN Abdon Nababan bersaksi telah mengawal pengesahan RUU Masyarakat adat sejak Kongres Masyarakat Adat Nasional (KMAN) tahun 1999 yang mendesak pemerintah menerbitkan instrumen hukum bagi masyarakat adat. Berbagai tokoh politik sejak saat itu menjanjikan keberpihakannya kepada agenda AMAN, tetapi janji itu tidak pernah terwujud sampai saat ini.
”Terakhir kami berjumpa dengan Presiden Joko Widodo pada 2014 dan membuat semacam kontrak politik yang termasuk dalam 7 poin nawacita atau komitmen capres dan cawapresnya (Jusuf Kalla), untuk RUU Masyarakat Adat. Sayangnya, janji ini tidak dikawal. Perampasan tanah semakin banyak. Menurut saya, ini sudah darurat,” kata Abdon di PTUN Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Saksi fakta, Effendi Buhing, seorang Ketua Adat Laman Kinipan dari Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, mengungkapkan rentetan konflik yang mereka alami dengan perusahaan sawit yang menyerobot lahan adat. Peristiwa ini terjadi pada 22 Juni 2020.
Saat itu, Effendi dan empat anggota komunitas ditangkap, ditetapkan sebagai tersangka, dan ditahan di Polda Kalimantan Tengah. Mereka dituduh merampas mesin pemotong dan pengancaman ke petugas PT Sawit Mandiri Lestari (SML) di Kabupaten Lamandau.
Padahal, mereka sudah mengusulkan pengakuan hutan adat ke pemerintah daerah sejak 2018. Persiapan yang mereka lakukan sudah mengikuti aturan dan kebijakan pemerintah sejak 2012 atau 11 tahun lalu, mulai dari membentuk komunitas adat hingga identifikasi wilayah. Namun, hal itu tak kunjung ditindaklanjuti.
”Sampai saat ini, saya tidak tahu masih tersangka atau tidak. Saya menginap satu malam di polda saat itu. Sekarang saya berharap kepada yang mulia (hakim), kami sangat membutuhkan undang-undang yang melindungi kami, tidak tahu ke mana lagi saya harus berharap,” kata Effendy.
Saksi fakta lainnya juga mengungkapkan hal serupa, mulai dari aktivis Faris Babero, anggota adat O’Hoberera Manyawa (suku Tobelo di luar hutan) di Maluku Utara yang berkali-kali diintimidasi saat melakukan advokasi pada masyarakat adat Tobelo. Kemudian, Ferdinandes Danse dari masyarakat adat Golo Munde, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, yang mengadvokasi penerbitan peraturan daerah untuk pengakuan masyarakat adat.
Lalu, ada juga Momonus dari masyarakat adat Dayak Iban Semunying Jaya di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yang pernah menjabat kepala desa di sana tetapi tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari perusahaan sawit yang beroperasi di desa mereka. Terakhir, Hermina Mawa, seorang perempuan penenun dan ketua kelompok tani di Komunitas Adat Rendu, Kabupaten Nagekeo, NTT, yang merugi secara ekonomi dan tempat ritualnya tergusur demi pembangunan proyek Waduk Lambo oleh pemerintah di wilayah adat mereka.
Secara terpisah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Usep Setiawan, mengungkapkan, pemerintahan Presiden Jokowi berkomitmen menuntaskan RUU Masyarakat Adat ini sebelum Oktober 2024. Namun, pemerintah masih menunggu persetujuan seluruh anggota Dewan dalam Sidang Paripurna DPR.
KSP, kata Usep, sudah memfasilitasi proses-proses diskusi lintas kementerian dan lembaga yang melibatkan akademisi dan sejumlah organisasi sipil terkait agar RUU Masyarakat Adat yang akan disahkan menjadi kesepakatan bersama.
”Pemerintah sendiri siap melakukan pembahasan materi substansi yang ada dalam RUU. Agar pembahasan bersama bisa dilakukan, DPR diharapkan untuk secara resmi mengirimkan surat dan draf naskah RUU ini kepada presiden,” kata Usep.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menilai, masih ada waktu sekitar delapan bulan bagi pemerintahan Presiden Jokowi dan sejumlah anggota DPR untuk menepati janjinya kepada masyarakat adat sebelum berganti rezim. Kalau tidak sempat, pemerintah selanjutnya juga masih berkewajiban memberikan pengakuan hukum bagi masyarakat adat.
”Masih ada waktunya, masih panjang, tujuh bulan lebih. Jadi ya kalau serius, semestinya bisa disahkan. Kemarin (cawapres) Gibran juga berjanji hal yang sama, dia juga perwakilan Jokowi kan,” kata Rukka.
Rukka menegaskan, pembentukan UU Masyarakat Hukum Adat sudah diamanatkan Pasal 18B Ayat (2) UUD Tahun 1945, UU No 41/1999 Pasal 67, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2021, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021. Semua ini merupakan kewajiban konstitusional DPR dan Presiden sebagai penyelenggara negara.