Pulang Selamanya Menjaga Kampung Adat
Jauh-jauh menimba ilmu tidak membuat pemuda adat melupakan tanah kelahiran. Ini saatnya balas budi kembali ke kampung.
Asap putih mengepul saat Ambu Viona menyiapkan makan siang dari dalam rumah besar atau Uma Bokulu kampung adat Matolang Watukapepi, di Desa Matawai Pawali, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (11/1/2024). Nasi dan ikan goreng menjadi menu siang itu yang disiapkannya untuk pertemuan tetua adat bersama para pemuda membahas masa depan kampung mereka.
Selesai memasak, ia langsung meninggalkan tungku, mengambil buku dan pensil, lalu bergabung pada pertemuan di teras rumah besar. Dia duduk bersama delapan laki-laki di dalam lingkaran yang setara, semua punya hak untuk bicara.
Ambu Viona sadar, budaya patriarki masih kuat di Sumba, tetapi dengan semakin banyak perempuan yang bersekolah, perlahan mereka akan setara. Perempuan bukan hanya di rumah dan urusan dapur, melainkan juga harus mampu bangkit dan terus mengembangkan potensi diri agar peran pemuda dalam pembangunan di negeri ini semakin besar, dimulai dari kampung sendiri.
Setiap cerita sejarah, pikiran, dan cita-cita dalam pertemuan itu direkam melalui gawainya dan dicatatnya. Dengan bekal Sarjana Ilmu Pemerintahan dari Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali, dia mengumpulkan setiap hasil pertemuan lalu merapikannya untuk menjadi catatan kampung adat.
Setiap jengkal tanah di Sumba Timur ini bukan tanah kosong. Kami tidak malu menjadi orang kampung dan masih akan terus melanjutkannya.
Catatan itu nantinya akan menjadi bekal bagi Kampung Matolang untuk mendapatkan pengakuan dari negara sebagai masyarakat adat yang perlu dilindungi. Perempuan berusia 23 tahun ini khawatir kampung dengan segala macam kekayaan budaya dan tradisinya tidak bisa dirasakan lagi oleh generasi penerus jika tak kunjung diakui.
Kampung Matolang Watukapepi memiliki silang pandangan dengan pemerintah karena sebagian hutan adatnya tiba-tiba dipatok sebagai kawasan hutan lindung Matalawa sejak 1998. Kini, mereka berjuang untuk mengklaim kembali tanah tersebut karena merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses penyerahannya.
Atas kekhawatiran itu, perempuan bernama lengkap Viona Rambu Danga Tunggu Mbili ini memilih kembali ke kampung daripada ”menggadaikan” ijazahnya untuk menjadi pegawai di luar kampung. Baginya, sumber daya yang ada di kampung sudah memberikan banyak dari ia kecil hingga bisa menamatkan pendidikan tinggi. Kini, saat baginya untuk membalas.
”Dari awal, kami keluar kampung menimba ilmu untuk digunakan di kampung kami, bukan pulang lalu menjual tanah kampung kami. Kami diajarkan leluhur untuk tidak menjual tanah kampung karena tanah ini yang menghidupi kami,” kata Ambu Viona.
Hampir sebagian besar pemuda di sini mengenyam pendidikan tinggi lalu menjadi guru, perawat, dan aparatur sipil negara. Namun, mereka tetap menanam jagung dan padi atau menggembala ternak sepulang kerja.
Baca juga: Krisis Iklim Kian Mengancam Masyarakat Adat
Erick Suruk, misalnya, Ketua Kelompok Usaha Pemuda Adat Wairasa, Sumba Tengah, yang pernah belajar ilmu peternakan di Bali. Dia mengumpulkan para pemuda yang memiliki tanah kebun dan sawah dengan lahan terbatas untuk berkelompok. Mereka saling bantu dari proses tanam, perawatan, masa panen, hingga pemasaran.
Di tengah kebun itu, kandang ayam dan babi pun didirikan sebagai bentuk usaha lain. Hasil penjualan ternak dan kebun nanti dibagi secara proporsional sesuai dengan peran masing-masing. Sedikitnya 10 pemuda ikut dalam kelompok ini.
”Kemampuan kami bertani dan beternak, bukan pegawai. Jadi, kami harus terlibat dari hulunya di kampung kami sendiri, bukan hanya mengatur di hilirnya dari kota saja,” kata Erick.
Keterikatan masyarakat adat dan alam di Sumba diperkuat dengan kebudayaan Marapu yang masih melekat walau 75 persen warganya sudah beragama Kristen. Kebudayaan leluhur ini mengikat anak muda yang merantau untuk kembali ke kampung menerapkan ilmunya dan menjaga wilayah adat.
Mereka percaya roh nenek moyang sebagai pengantar atau jembatan penghubung antara mereka dengan Tuhan (Ma Bakulu Wo mata dangu Ma Ballaru Kacillu) yang dipercaya berada di surga (Uma Manda Mabbu Kahali Namma Nda Mbatta), tetap ada di antara mereka.
Ini dibuktikan dengan masih terjaganya dua rumah adat yang didirikan khusus untuk upacara adat atau hamayang (sembahyang). Ritual-ritual kepercayaan Marapu pun masih dilakukan, seperti pul mat (Li Meti) atau upacara adat kedukaan dari hari pertama meninggal sampai penguburan, dan upacara adat pul lorru (Li Luri) untuk perkawinan.
”Kami tetap mengikuti ritual atau hamayang dengan doa sesuai kepercayaan masing-masing karena ritual itu budaya kami. Dan kami percaya siapa yang mengkhianati alam akan dapat pelajaran,” ucap Ambu Viona.
Baca juga: Mendorong Perwakilan Masyarakat Adat ke Senayan
Menjaga kebudayaan tidak sama dengan menolak kemajuan, para pemuda adat ini tetap melek dan bisa memanfaatkan teknologi yang berguna untuk kampung. Misalnya, Kristine Hara Tola yang bisa menjual kain tenun Sumba dari Kampung Patanning, Desa Rindi, Sumba Timur, hingga ke Amerika Serikat dengan memanfaatkan media sosial.
Dengan menjual langsung ke pembeli, Kristine bisa mendapatkan untung lebih besar karena tidak harus melalui pengepul. Keuntungan ini membuat para perempuan setara dengan penghasilan laki-laki yang mendapatkan uang dari beternak kuda, sapi, kerbau, dan kambing.
Lulusan sarjana Sastra Inggris dari Universitas Kristen Cipta Wacana, Malang, ini pulang ke kampung sekitar lima tahun lalu karena ancaman ekspansi perkebunan tebu di Kampung Pattaning semakin meresahkan. Kain tenun Sumba Timur pun ikut terancam.
Sebab, jika kebun tebu semakin meluas, tumbuhan yang digunakan untuk bahan baku pewarna kain tenun akan musnah. Warna kuning didapatkan dari kayu kuning, warna merah dari akar pohon mengkudu, warna coklat dari pohon mahoni, warna biru dari tumbuhan nila, dan tinta cumi-cumi untuk warna abu-abu, serta lumpur untuk warna hitam. Baru-baru ini, dia bereksperimen dan menemukan warna merah muda dari kutu lak.
Kayu kuning dan pohon mahoni didapat dari dalam hutan di tengah sabana dan tinta cumi-cumi diambil dari tangkapan warga yang melaut. Keduanya biasanya dicari oleh laki-laki. Sementara warga perempuan mengumpulkan bahan warna lainnya dari tumbuhan di sekitar pekarangan rumah.
Maka dari itu, dia mengumpulkan semua penenun di Desa Rindi, yang kini berjumlah sebanyak 32 perempuan, 7 di antaranya masih berusia belia yang diharapkan menjadi generasi penerus tenun Sumba. Mereka saling menguatkan demi membuktikan bahwa perempuan juga bisa terlibat menjaga kampung adat.
”Setiap jengkal tanah di Sumba Timur ini bukan tanah kosong. Kami tidak malu menjadi orang kampung dan masih akan terus melanjutkannya,” kata Kristine.
Baca juga: Sekolah Adat Mencegah Kepunahan Tradisi
Semangat para pemuda untuk menjaga kampung adatnya menjadi contoh bahwa pembangunan negara bisa dimulai dari memberdayakan kampung, bukan mengeksploitasinya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menetapkan tema ”Pemuda Adat sebagai Agen Perubahan bagi Masyarakat Adat untuk Menentukan Nasib Sendiri” saat perayaan Hari Masyarakat Adat Sedunia, 9 Agustus 2023 lalu.
Pemuda adat wajib memainkan peran penting yang menentukan nasib dan masa depan masyarakat adat. Hubungan antargenerasi sangat penting dijaga agar transfer pengetahuan dan ikatan yang kuat antargenerasi tidak terputus. Mereka yang merantau harus kembali lagi ke kampung adatnya lalu menerapkan ilmunya untuk mempromosikan, melindungi, serta meningkatkan kapasitas masyarakat adat.
”Penting bagi generasi muda masyarakat adat, baik perempuan maupun laki-laki, untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Pilihan yang diambil hari ini akan menentukan dunia di masa depan,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Hari Masyarakat Adat Sedunia 2023.