Instrumen hukum di Indonesia belum cukup kuat untuk melindungi para pejuang lingkungan yang menyuarakan haknya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum cukup memastikan para pejuang lingkungan terlindungi dari kriminalisasi. Payung hukum tersebut masih memerlukan instrumen pendukung berupa kelengkapan aturan turunan yang bisa semakin menjamin keselamatan pejuang lingkungan, termasuk para perempuan pembela lingkungan.
Peneliti Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Prilia Kartika Apsari, mengatakan, kriminalisasi yang dialami para pejuang lingkungan, termasuk perempuan, sangat kontradiktif dengan amanat di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 telah jelas menyebut, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
”Masyarakat sangat terdampak dari kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Dari sini sudah menunjukkan adanya janji negara yang diabaikan (bahwa) setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Terlebih lagi, ketika masyarakat meminta hak tersebut malah justru dikriminalisasi,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (7/3/2024).
Kriminalisasi para pejuang lingkungan menunjukkan adanya penyempitan ruang demokrasi yang membuat masyarakat merasa tidak aman dalam menyuarakan haknya. Ironisnya, kriminalisasi ini justru sering kali dilanggengkan dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara.
Saat ini, Indonesia memang mempunyai instrumen hukum, yakni Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
Meski demikian, Prilia memandang, instrumen hukum tersebut belum cukup untuk melindungi pejuang lingkungan untuk menyuarakan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karena itu, diperlukan aturan-aturan turuan dari Pasal 66 UUPPLH yang bisa semakin menjamin keselamatan dari para pejuang lingkungan.
Perlunya undang-undang yang bisa memastikan hak-hak masyarakat, termasuk kelompok marjinal dan perempuan bisa dilindungi.
Menurut Prilia, sebenarnya sekarang Indonesia memiliki dua peraturan turunan terkait dengan tindakan pembalasan kepada orang yang memperjuangkan lingkungan (strategic lawsuit against public participation/SLAPP). Dua peraturan tersebut ialah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 dan Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022.
”Adanya aturan turunan ini memang belum cukup, tetapi bisa menjadi peluang bagi kita untuk terus mengawal. Sebab, ada bentuk komitmen yang coba dibuat oleh penegak hukum. Kemudian hal lain yang perlu dikawal adalah perlunya undang-undang yang bisa memastikan hak-hak masyarakat, termasuk kelompok marjinal dan perempuan bisa dilindungi,” ucapnya.
Ia pun kembali menegaskan, negara memiliki kewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi seluruh hak setiap warganya. Di sisi lain, masyarakat sipil perlu terus mengawal seluruh bentuk perkembangan dan kemunduran regulasi di Indonesia.
Aturan tidak operasional
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Nasional Uli Arta Siagian menekankan, negara tidak bisa membantah bahwa mekanisme perlindungan terhadap perempuan pejuang lingkungan dan pembela HAM sampai sekarang tidak operasional di lapangan.
”Serangkaian kebijakan ini tidak cukup kuat untuk memproteksi para pejuang lingkungan dan pembela HAM. Kemudian terdapat hal yang paling mendasar, yaitu tidak ada mekanisme yang disediakan negara untuk menjamin orang yang turut berpartisipasi dalam memilih pembangunan yang sesuai dengan kebutuhannya dapat terlindungi dari setiap ancaman,” katanya.
Uli mendorong agar negara benar-benar bisa menjamin dan memastikan setiap warga negara, khususnya perempuan yang memperjuang lingkungannya, tidak bisa dipidana ataupun dituntut secara perdata. Dalam mekanisme perlindungan juga perlu ada pemulihan hak bagi korban, baik dari aspek nama baik, psikologi, maupin kerugian lainnya.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Belgis Habiba menambahkan, aturan turunan Pasal 66 UUPPLH harus secara tegas mendefinisikan siapa saja yang bisa disebut pejuang lingkungan. Pejuang lingkungan ini tidak hanya orang yang berada di lokasi terdampak, tetapi juga para pengampanye dan pengadvokasi lingkungan lainnya.