Maknai Ulang Perlindungan Hukum bagi Pembela Lingkungan
Implementasi perlindungan hukum bagi pembela lingkungan masih belum optimal meski ketentuannya telah tertuang dalam sejumlah regulasi. Oleh karena itu, perlindungan hukum ini perlu dimaknai dan didefinisikan ulang.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Perlindungan hukum bagi pembela lingkungan hidup menjadi perbincangan di tengah banyaknya regulasi yang justru mengancam aktivitas dan eksistensi mereka. Perlindungan hukum ini penting diberikan mengingat setiap pembela lingkungan berjuang untuk kesejahteraan sekaligus memastikan lingkungan hidup tetap lestari.
Selama ini, perlindungan hukum bagi pembela lingkungan sebenarnya telah tertuang dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Pasal tersebut menyatakan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Meski demikian, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang P Wiratraman memandang bahwa ketentuan tersebut masih memiliki kelemahan dan sejumlah catatan lainnya. Salah satu kelemahan tersebut ialah upaya untuk melindungi korban hanya fokus pada cara hukum sehingga mencegah terjadinya pemidanaan atau gugatan perdata.
”Ketentuan ini tidak menjadi subyek hukum perlindungan pembela lingkungan. Oleh karena itu, perlu pemaknaan atau pendefinisian ulang perlindungan ini dengan standar hukum yang lebih protektif,” ujarnya dalam diskusi tentang kepastian terhadap perlindungan hukum pembela lingkungan hidup, Rabu (10/5/2023).
Herlambang menjelaskan, hukum tak sama dengan peradilan. Dalam hal ini, hukum mencakup segala mekanisme yang disediakan oleh negara melalui institusi dengan wewenang hukum dan standar maupun mekanisme khusus yang disediakan.
Pemaknaan ulang perlindungan bagi pembela lingkungan ini disebut Herlambang sama sekali tidak menyalahi hukum. Sebab, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28F dan 28H sebenarnya memiliki ketentuan yang tegas untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan warga negara, termasuk mendapat lingkungan hidup yang baik.
Kedua pasal tersebut relevan dalam konteks pembela lingkungan karena sering kali masyarakat tidak pernah dilibatkan saat pembuatan kebijakan atau pemberian perizinan yang berdampak terhadap lingkungan mereka. Di sisi lain, masyarakat juga sulit berpartisipasi karena tidak mendapatkan hak untuk memperoleh informasi.
”Dua pasal ini saja sebenarnya menjelaskan adanya basis konstitualisme yang bisa digunakan untuk membentengi hak-hak para pembela lingkungan,” ungkapnya.
Herlambang menyatakan bahwa negara seharusnya menegaskan basis konstitusionalisme perlindungan hak dasar warga negara atas lingkungan, tak terkecuali hak atas partisipasi politik kewarganegaraan. Setiap warga negara juga perlu dilindungi ketika tengah mengupayakan perlindungan hukum termasuk memperjuangkan hak-haknya.
Selain itu, setiap tindakan negara harus bisa dipertanggungjawabkan bukan sebatas aturan. Sebab, pada realitasnya aturan juga kerap melahirkan ketidakadilan. Pertanggungjawaban atas tujuan hukum tersebut juga harus mampu menciptakan keadilan sosial dan lingkungan.
”Perlu dicermati juga terkait karakter politik hukum kita yang melekat dalam sistem kekuasaan seperti contoh kasus proyek strategis nasional. Sistem ini setiap saat bisa digunakan untuk eksploitasi tanpa batas, merusak lingkungan, dan melemahkan posisi warga negara yang mempertahankan hak-hak lingkungannya,” ucapnya.
Kasus SLAPP
Auriga Nusantara mencatat, sejak tahun 2014 sampai sekarang terdapat 107 kasustindakan pembalasan kepada orang yang memperjuangkan lingkungan hidup(Strategic Lawsuit Against Public Participation/SLAPP) di Indonesia. Tindakan yang dilakukan, di antaranya, gugatan hukum, penahanan, pembakaran, perusakan, hingga penangkapan.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Raynaldo Sembiring menyatakan, SLAPP sering terjadi karena aktivis dan masyarakat sangat percaya perlunya partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan di sektor lingkungan. Hal ini dipandang menjadi sebuah gangguan bagi pihak yang tidak ingin publik turut berpartisipasi.
Para ahli mencatat, perkara SLAPP yang terjadi dapat diidentifikasi melalui sejumlah kriteria. Salah satunya, gugatan yang dilayangkan kepada pembela lingkungan atau masyarakat dilakukan tanpa dasar yang kuat dan mengandung motif politik atau ekonomi tersembunyi.
Cara kita memperlakukan aktivis menjadi cerminan apakah aspek lingkungan hidup menjadi prioritas atau tidak.
”Jadi, adanya aturan Anti-SLAPP adalah sebuah perlindungan untuk hak berpartisipasi. Anti-SLAPP memang mengambil referensi dari negara lain, tetapi pada dasarnya konstitusi kita juga mengatur perlunya perlindungan bagi masyarakat dalam berpartisipasi untuk bisa mendapat kualitas lingkungan yang baik dan sehat,” katanya.
Kepala Unit III Subdit 5 Direktorat Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Ajun Komisaris Besar Eko Susanda mengakui bahwa data menunjukkan terjadi kenaikan yang signifikan terkait SLAPP tahun 2020-2022. Padahal, pada periode tersebut di banyak daerah sedang ada pembatasan aktivitas karena pandemi.
”Para aktivis lingkungan harus dilindungi karena mereka memiliki peran krusial untuk menjaga lingkungan hidup. Hal yang perlu dijaga bukan hanya aktivisnya, melainkan juga hasil kerjanya. Cara kita memperlakukan aktivis menjadi cerminan apakah aspek lingkungan hidup menjadi prioritas atau tidak,” tuturnya.
Guna meningkatkan perlindungan hukum bagi pembela lingkungan, Eko menilai perlu dirancang aturan hukum perlindungan di tingkat pemerintahan seperti peraturan pemerintah atau menteri. Kemudian aparat penegak hukum juga perlu mendapat pelatihan, yakni pengembangan keterampilan dalam melindungi aktivis lingkungan.