Pejuang Lingkungan Masih Rentan Mengalami Kekerasan
Tingkat kerentanan pejuang lingkungan terhadap ancaman dan kekerasan masih tinggi. Laporan Elsam mencatat, sepanjang Mei-Agustus 2021 terdapat enam kasus kekerasan dan ancaman terhadap pembela lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat menunjukkan penurunan jumlah kasus kekerasan dan ancaman terhadap pembela hak asasi manusia lingkungan sepanjang Mei-Agustus 2021. Namun, secara umum, tingkat kerentanan para pejuang lingkungan tersebut tak banyak mengalami perubahan.
Dalam laporan terbaru yang dirilis Jumat (12/11/2021), di Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mencatat, sepanjang Mei-Agustus 2021 ada enam kasus kekerasan dan ancaman terhadap pembela hak asasi manusia (HAM) atas lingkungan. Angka ini turun dari periode sebelumnya dengan jumlah 10 kasus kekerasan terjadi pada Januari-April 2021. Sementara kasus kekerasan pada Mei-Agustus 2020 tercatat lebih tinggi, mencapai 28 kasus.
Kasus tersebut terjadi di lima provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah. Tindakan kekerasan dan ancaman yang diterima pembela lingkungan ini meliputi serangan fisik, penangkapan, penahanan, pemerkaraan hukum, dan perampasan tanah. Seluruh tindakan mengorbankan 21 individu yang mayoritas merupakan masyarakat adat.
Laporan ini disusun melalui metode kuantitatif dengan menggunakan data berupa artikel, berita, dan penanganan kasus Elsam. Seluruh data yang diperoleh kemudian dikolaborasi dan diverifikasi melalui proses wawancara hingga disusun ke dalam laporan.
Peneliti Elsam, Villarian Burhan, mengemukakan, masalah klasik agraria jadi prakondisi utama semua kasus. Empat dari enam kasus yang muncul dalam periode ini berpangkal dari sengketa lahan antara warga dan perusahaan. Sementara dua kasus lainnya terkait pemberian izin pertambangan yang dinilai sepihak tanpa melibatkan warga dan kasus pencemaran lingkungan.
”Memang terdapat penurunan kasus, tetapi secara umum risiko dan bentuk ancaman ataupun serangan yang diterima pembela HAM tidak berubah. Tingkat kerentanan dalam kerja advokasi selama empat bulan terakhir juga cenderung masih mengerikan,” ujarnya dalam diskusi dan peluncuran laporan tersebut secara daring, Jumat.
Memang terdapat penurunan kasus, tetapi secara umum risiko dan bentuk ancaman ataupun serangan yang diterima pembela HAM tidak berubah.
Menurut Villarian, tingginya jumlah kasus yang dilatarbelakangi konflik lahan menunjukkan gambaran kegagalan program reforma agraria dari pemerintah. Alih-alih menata ruang dan sumber agraria untuk kepentingan rakyat, program tersebut justru masih dibayangi sederet kasus perampasan lahan yang tidak jarang mengorbankan masyarakat adat.
Selain itu, implementasi program reforma agraria dipandang sebatas pembagian sertifikasi lahan atau jaminan atas lahan. Sebaliknya, program reforma agraria belum menyentuh akar persoalan, yakni ketimpangan akses lahan dan persoalan keadilan ekonomi lainnya.
Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Eti Oktaviani, memaparkan, LBH Semarang mencatat peristiwa pembela HAM di semua sektor, termasuk lingkungan. Dalam tiga tahun terakhir ada 21 kasus kekerasan dan ancaman terhadap pembela HAM yang dilakukan pihak perusahaan dan aparat penegak hukum.
”Ancaman paling sering muncul ialah kriminalisasi, tindak kekerasan, pemutusan hubungan kerja, doxing, dan penangkapan sewenang-wenang. Kekerasan tak hanya menyasar masyarakat secara umum, bahkan advokat LBH Semarang saat sedang melakukan bantuan hukum juga mengalami tindakan ini,” ucapnya.
Potensi ke depan
Eti memandang, ke depan potensi ancaman terhadap pembela HAM di wilayah Jawa Tengah akan terus terjadi. Sebab, selain ada regulasi yang memudahkan kerusakan lingkungan, saat ini di Jawa Tengah terdapat ekspansi industri secara besar-besaran hingga proyek infrastruktur dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional HAM Amiruddin menilai, permasalahan HAM akan selalu terjadi karena manusia berada pada hubungan kekuasaan satu sama lain. Pihak yang lemah dan tidak berkuasa dianggap akan selalu menjadi korban.
Terkait permasalahan sengketa lahan yang jadi salah satu perkara yang kerap memicu pelanggaran HAM, lanjut Amiruddin, hal ini selalu melibatkan perusahaan besar. Meski belum sepenuhnya terselesaikan, permasalahan sengketa lahan ini diakui Amiruddin terus mendapat perhatian dan menjadi salah satu fokus Komnas HAM serta pemerintah.
”Komnas HAM bukan bertugas mengeksekusi, tetapi memberi pandangan dan rekomendasi. Seluruh rekomendasi (terhadap pejuang lingkungan) sudah dituangkan. Langkah ke depan inilah masih bergantung pada kendali pemerintah pusat ataupun daerah,” katanya.