Perempuan Hadir Menjadi Pelopor dan Pejuang Lingkungan
Kehadiran perempuan dalam merawat dan menjaga lingkungan dan alam sangat penting. Sejumlah perempuan bahkan menjadi pelopor dan pejuang lingkungan hidup di tengah dampak krisis iklim yang dirasakan masyarakat saat ini.
Perempuan berperan penting menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup menyusul krisis iklim yang berdampak luas bagi kehidupan manusia dan alam. Ketika kerusakan alam semakin berat, perempuanlah yang banyak merasakan dampaknya.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) bahwa kaum perempuan menjadi pihak yang paling terbebani dengan dampak krisis iklim, terutama di negara miskin dan negara berkembang.
Kendati menjadi kelompok paling rentan terdampak krisis iklim, sejumlah perempuan yang tinggal di sejumlah daerah di Indonesia hadir menjadi pelopor dan berjuang merawat serta menyelamatkan lingkungan dari kerusakan lebih parah, salah satunya yakni masalah sampah. Sejumlah perempuan hadir menggerakkan masyarakat untuk peduli dengan sampah, menyelamatkan lingkungan hidup, sekaligus mengolah sampah menjadi barang bernilai.
Beberapa perempuan bahkan memulai inisiatifnya sendirian, di lingkungan tempat tinggalnya dengan mengumpulkan sampah, memilah, kemudian mendaur ulang menjadi barang berguna dalam bentuk kerajinan dan sebagainya. Hasilnya bisa menambah pendapatan keluarga.
Baca juga: Aturan untuk Melindungi Pejuang Lingkungan Mendesak Diterbitkan
Yeni Mulyani (52), misalnya. Warga Tangerang Selatan, Banten, yang sebelumnya tinggal di wilayah Setiabudi, Jakarta Selatan, itu sejak 20 tahun lalu memulai gerakannya mengumpulkan sampah, memilah, lalu mendaur ulang mengubah sampah plastik, kardus, kertas, dan sebagainya menjadi kerajinan tangan dan aksesori.
Awalnya, ibu rumah tangga ini hanya memilah kemudian menjualnya pada pengumpul barang bekas. Namun, sejak tahun 2012, dia merintis Bank Sampah My Darling di Jakarta. Ia mengajak masyarakat, terutama ibu-ibu dan anak-anak, untuk menabung sampah, yang dikumpulkan dan dipilah.
Sampah yang telah dipilah sebagian dijual ke pengumpul barang bekas dan sebagian lagi didaur ulang menjadi barang yang digunakan, seperti keranjang, tas, topi, rompi, karpet, tempat buah, tempat tisu, serta hiasan dinding. Yeni juga mengolah sampah-sampah menjadi aksesori yang menarik, seperti anting, kalung, dan gelang.
”Saya gemas sekali, prihatin, dan sedih melihat sampah-sampah dibuang sembarangan dan berantakan di jalanan,” ungkap Yeni saat ditemui, Jumat (2/6/2023).
Gerakan mengumpulkan sampah-sampah terutama plastik pun bergulir. Di Jakarta, selain menggerakkan perempuan dan anak-anak, Yeni masuk di sejumlah sekolah mengajak anak-anak untuk peduli dengan lingkungan, tidak membuang sampah sembarang, dan memilahnya ketika akan membuang di tempat sampah.
Belakangan Yeni pernah diajak badan usaha milik negara dan perusahaan swasta untuk mengedukasi masyarakat dalam mengelola sampah. Hingga beberapa tahun lalu, dia rajin berkeliling daerah mengajarkan masyarakat tentang pengolahan sampah, termasuk mendorong perempuan-perempuan di daerah mendirikan bank sampah.
Gerakan mengolah sampah tak berhenti. Kendati sempat sakit, Yeni bertekad untuk meneruskan pengolahan sampah. Sejak tahun lalu, saat dia pindah di Tangerang Selatan, dia pun membuka Bank Sampah My Darling. Didukung pemerintah kota setempat, ia kembali mengajak warga agar mengolah sampah dan mendaur ulang.
Yeni hanyalah salah satu contoh perempuan di wilayah perkotaan seperti Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi) yang memilih jalan mengolah sampah. Aksi nyata tersebut ditempuh di tengah persoalan sampah yang jumlahnya terus meningkat dan menjadi ancaman kehidupan masyarakat saat ini.
Sampah laut
Di Sulawesi Utara, gerakan mengatasi sampah dan mengolah menjadi barang bernilai juga dilakukan Amelia Tungka (40). Sejak tahun 2018, ia merintis gerakan mengumpulkan sampah dan mendaur ulang sampah-sampah di Kota Manado, terutama di kawasan wisata laut di Sulut.
Berawal dari keprihatinannya bersama komunitas penyelam, Amelia bergerak mengumpulkan sampah yang mencemari sungai dan laut, serta mencegah sampah-sampah masuk ke laut. Amelia pun mengajak sejumlah komunitas dan organisasi yang mengelola kawasan wisata untuk bekerja sama mengatasi dan mengurasi sampah-sampah plastik yang masuk ke laut.
”Sampah di laut membuat kami miris. Jadi saat itu terpikir bagaimana mengelola sampah yang baik dan benar, terutama yang di kawasan laut. Kebanyakan kami bertemu perempuan yang peduli lingkungan,” kata Amelia.
Berangkat dari keprihatinan akan derasnya sampah yang masuk ke laut, Amelia pun merintis model pengumpulan dan daur ulang sampah, melalui Yayasan No-Trash Triangle (Segitiga Non Sampah).
Sampah di laut membuat kami miris. Jadi saat itu terpikir bagaimana mengelola sampah yang baik dan benar, terutama yang di kawasan laut. Kebanyakan kami bertemu perempuan yang peduli lingkungan.
Aktivitas itu dimulai di Pulau Bangka, Sulawesi Utara, yang merupakan pusat segitiga terumbu karang, lingkungan laut dengan keanekaragaman hayati yang paling beragam, yang menjadi salah satu tempat tujuan menyelam dansnorkelingterbaik.
Saat ini Amelia menjadi Direktur CV Daur Sinar Gemilang yang menggerakkan tenaga kerja mengolah sampah di Sulut dengan mengajak sejumlah perempuan. Hasil pengumpulan sampah dikirim ke perusahaan yang memproduksi dakron, geotekstil, dan benang. Agar pengolahan sampahnya berkelanjutan, Amelia merekrut pekerja dengan upah minimum provinsi.
Belakangan, pada tahun 2022 Amelia pun digandeng Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Manado untuk mendaur ulang sampah-sampah yang dikumpulkan setiap hari di pembatas sungai di kota itu.
Yeni dan Amelia merupakan contoh perempuan yang terjun dalam menjaga lingkungan hidup melalui pengolahan sampah. Hingga kini ada banyak perempuan yang terlibat langsung dalam upaya menjaga kelestarian dan mencegah kerusakan alam di sejumlah daerah, serta menjaga ketahanan pangan dan sumber-sumber penghidupan masyarakat.
Di Nusa Tenggara Timur, Adelfina Pinga (Vina), perempuan dari pesisir Pulau Kera, bersama dengan Kelompok Menjaga Alam, rutin membersihkan sampah di pinggir pantai, melarang masyarakat buang sampah, melarang angkat kerikil pasir, dan menanam pohon waru.
Selama bertahun-tahun, sejumlah tokoh perempuan juga menjadi pejuang lingkungan dan menghadapi krisis perubahan. Mereka tak pernah lelah berjuang untuk menjaga kelestarian alam di daerahnya.
Di wilayah Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, para perempuan tidak berhenti berjuang dan bersuara menuntut pemerintah agar tidak mudah memberikan izin kepada kegiatan penambangan untuk pabrik semen di wilayahnya yang akan mengganggu sumber-sumber kehidupan masyarakat di daerahnya.
Baca juga: Perempuan dalam Pusaran Krisis Air
Begitu juga di NTT, Aleta Baun (Mama Aleta) berjuang menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman tambang di Gunung Mutis, Mollo, yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan sumber pasokan air bersih bagi masyarakat setempat.
Katalisator
Peran perempuan dalam menjaga lingkungan hidup dinilai amat krusial. Anggota Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Dewi Kanti, menilai, perempuan berfungsi sebagai katalisator, pemberi stimulasi kesadaran komunal dalam mendorong perubahan sosial menjadi lebih baik dan berkelanjutan.
”Hal yang mendasari aktivisme perempuan dalam menjaga keberlangsungan ruang hidupnya adalah pengalamannya sebagai perempuan dengan alam yang membentuk diri dan lingkungannya menjadi bagian tidak terpisah dan saling terkait,” kata Dewi.
Ketika lingkungan rusak, keberlangsungan kehidupan pun menjadi tidak seimbang dan perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak. Perampasan tanah dan perusakan lingkungan memberi dampak buruk dan berantai pada perempuan, yakni hilangnya sumber ekonomi, pangan, dan air bersih. Kondisi itu membuat perempuan dan anak-anak rentan terhadap kekerasan berbasis jender, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan bentuk kekerasan lainnya.
Sebagai penggerak perubahan di bidang lingkungan hidup, perempuan berhadapan dengan sejumlah tantangan. Hasil pemantauan Komnas Perempuan mencatat, pengaduan perempuan terkait kasus konflik sumber daya alam dan tata ruang meningkat dalam dua dasawarsa terakhir. Selama tahun 2022 terdata 11 kasus konflik SDA yang melibatkan perempuan.
Ibu bumi
Ketua Pusat Penelitian dan Studi Gender, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Arianti Ina R Hunga menegaskan, berbagai kajian menunjukkan peran perempuan sentral dalam mengelola alam. Dalam konstruksi jender, perempuan sangat identik dengan alam, ibu bumi. Karena punya rahim, diilustrasikan seperti bumi.
Maka dari itu, perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman berbeda terkait dengan alam. Demikian juga dampak perubahan iklim memiliki implikasi berbeda bagi lelaki dan perempuan. ”Banyak cerita di beberapa wilayah di Indonesia, perempuan menjadi garda depan dalam upaya pelestarian lingkungan hidup, mulai dari tingkatan keluarga, hingga mengambil peran penting dalam mengelola aset alam,” ujarnya.
Di beberapa wilayah perdesaan yang masyarakatnya mengandalkan hidupnya dari alam, fenomena kelangkaan air mengakibatkan perempuan semakin sulit untuk bisa mengakses air bersih dan menjaga ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Baca juga: Perempuan Gayo Bersatu Jaga Hutan
Sementara di perkotaan, perempuan menjadi sasaran budaya konsumtif melalui industrialisasi pusat perbelanjaan, yang berkontribusi pada timbunan sampah yang berkomponen polusi (plastik, styrofoam, dan lain-lain) dan pencemaran lingkungan, yang ujungnya berdampak buruk bagi kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi perempuan dan anak.
Karena itu, tidak ada alasan untuk tidak melibatkan perempuan dalam setiap pengambilan keputusan dan program pelestarian lingkungan serta upaya mengatasi dampak krisis iklim. Praktik-praktik baik yang ditunjukkan sejumlah perempuan pelopor dan pejuang lingkungan membuktikan partisipasi perempuan dalam merawat lingkungan hidup amat bermakna.