Sebanyak 20 perempuan Gayo di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, Provinsi Aceh, melakukan konsolidasi untuk menjaga dan mengelola hutan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
REDELONG, KOMPAS — Sebanyak 20 perempuan Gayo di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, Provinsi Aceh, melakukan konsolidasi untuk menjaga dan mengelola hutan. Selama ini, kerusakan hutan telah berdampak besar pada perempuan, seperti hilangnya sumber air, pangan, obat-obatan, sumber ekonomi, dan ilmu pengetahuan.
Pertemuan para perempuan peduli lingkungan hidup itu berlangsung di Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah, Minggu-Selasa (15-17/11/2020). Kegiatan ini digelar oleh Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh serta Forum Perempuan Penjaga Sumber Daya Alam.
Dalam pertemuan itu mereka dikuatkan pemahaman terhadap manfaat hutan untuk kehidupan, mencegah kerusakan hutan, dan cara mengelola hutan agar memberi dampak ekonomi.
Tokoh perempuan Gayo, Samsidar, salah seorang narasumber, menuturkan perempuan sangat berkepentingan terhadap hutan. Ketika hutan rusak, perempuan adalah kelompok paling besar yang merasakan dampaknya, seperti kehilangan sumber daya air, bencana alam, kehilangan sumber pangan, dan kehilangan harta warisan leluhur.
Oleh sebab itu, Samsidar mengapresiasi 20 perempuan Gayo yang mau terlibat menjaga dan mengelola hutan. ”Semoga semakin banyak kelompok perempuan menjaga hutan sehingga ada yang bisa kita wariskan untuk anak cucu, jangan kita habiskan semua,” kata Samsidar.
Samsidar menuturkan, dalam kebudayaan Gayo, perempuan memiliki keterikatan kuat dengan alam. Perempuan adalah peramu hasil hutan seperti obat-obatan, penyediaan pangan, kerajinan tangan, dan kebutuhan ritual adat.
Pembukaan hutan untuk kepentingan industri dan perambahan ilegal membuat perempuan tersisih dari penguasaan sumber daya alam.
Namun, pada era modern, pembukaan hutan untuk kepentingan industri dan perambahan ilegal membuat perempuan tersisih dari penguasaan sumber daya alam. Semua kebutuhan hidup diproduksi oleh pabrik, padahal kebutuhan manusia jauh lebih dulu disediakan oleh alam.
Bulan Rizki, anggota Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Desa Damaran Baru, mengatakan, hutan lindung di kawasan desa rusak karena perambahan. Dampaknya, pada 2015 banjir bandang melanda desanya, puluhan rumah dan belasan hektar lahan kopi rusak. Peristiwa itu membangkitkan kesadaran warga untuk menjaga hutan.
Pada akhir November 2019, Desa Damaran Baru memperoleh izin mengelola hutan desa seluas 251 hektar. Para perempuan di desa itu kini rutin melakukan patroli mencegah perambahan, menanam pohon buah, dan mengelola hutan sebagai obyek wisata. Anggota kelompok melakukan pembibitan, menanam di bantaran sungai, dan melakukan budidaya madu.
Bulan menambahkan, menjaga hutan juga untuk memastikan air bersih selalu tersedia dan hasil perkebunan maksimal. ”Kalau air berkurang, perempuan paling menderita. Kami perlu air untuk masak, cuci pakaian, mandi, dan merawat anak-anak,” ujar Bulan. Bulan meyakini apa yang mereka lakukan akan berdampak baik bagi kehidupan sekarang dan bagi generasi mendatang.
Sekretaris Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh Badrul mengatakan, pihaknya mendampingi kelompok perempuan penjaga hutan di Damaran Baru. HAKA melatih anggota kelompok cara mengelola hutan, melakukan patroli hutan, mengelola ekowisata, dan melakukan kampanye perlindungan hutan.
Badrul menginginkan Desa Damaran Baru menjadi contoh pelibatan perempuan dalam menjaga sumber daya alam. ”Semoga desa-desa lain di Aceh melakukan hal yang sama. Yang terpenting, para perempuan menyadari bahwa mereka punya hak mengelola dan menikmati sumber daya alam,” kata Badrul.