Kesuksesan media berita ”The New York Times” ataupun media lokal menumbuhkan harapan keberhasilan model berlangganan.
Oleh
REBIYYAH SALASAH, PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Puncak perayaan Hari Pers Nasional, Selasa (20/2/2024), di Jakarta, ditandai dengan pengumuman Presiden Joko Widodo yang telah menandatangani Peraturan Presiden tentang Publisher Rights, regulasi yang mengatur kerja sama penerbit media dengan platform digital. Publisher rights dianggap ikut membantu kesinambungan ekosistem media di tengah disrupsi teknologi digital. Di luar itu, model bisnis media berlangganan menjadi cerita sukses tersendiri.
Model bisnis berlangganan atau berbayar menjadi pilihan bagi media massa seiring disrupsi digital dan pandemi Covid-19. Kisah sukses puluhan media yang menerapkan model bisnis ini dapat menjadi inspirasi sekaligus harapan menjaga keberlanjutan media.
The New York Times, The Athletic, dan The Guardian adalah kisah korporasi besar yang sukses dengan bisnis media berita berbayar. Strategi paywallThe New York Times, yang pertama kali diterapkan pada 2011, terus meraih kesuksesan besar dengan penambahan 210.000 pelanggan digital baru pada kuartal III tahun 2023.
Data kesuksesan The New York Times itu diambil dari laporan jaringan media global FIPP pada 2023. Dalam laporan tersebut, total basis pelanggan The New York Times yang hanya digital menjadi 9,41 juta dan keseluruhan langganannya menjadi 10 juta.
Menurut laporan yang sama, The New York Times berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuannya menjangkau 15 juta pelanggan pada akhir 2027. Kini, 40 persen pelanggan digital berlangganan setidaknya dua produk perusahaan dan pendapatan bulanan per pelanggan digital naik 4,6 persen secara tahunan (year-on-year).
Berita adalah obyek budaya yang canggih dan ada berita tertulis yang lebih baik, berita yang dilaporkan lebih baik, dan berita yang lebih buruk. Semakin baik, pengguna yang cerdas akan membayar.
Saat mantan CEO Mark Thompson tiba di The New York Times pada 2012, organisasi berita tersebut mempunyai empat sumber pendapatan utama: langganan cetak, iklan cetak, iklan digital, dan langganan digital. Thompson memutuskan langganan digital sebagai sumber pendapatan yang ditargetkan untuk perubahan haluan.
”Berita adalah obyek budaya yang canggih dan ada berita tertulis yang lebih baik, berita yang dilaporkan lebih baik, dan berita yang lebih buruk. Semakin baik, pengguna yang cerdas akan membayar,” kata Thompson, dikutip dari Forbes.
Perubahan paradigma ini membuat The New York Times meningkatkan pendapatan langganannya. Mengingat pendapatan iklan bisa naik turun, pendekatan Times membuat mereka bersandar pada aliran pendapatan yang cenderung lebih stabil dan dapat diprediksi.
Pergeseran ini telah menjaga stabilitas keuangan mereka dan juga memberdayakan mereka untuk berinvestasi kembali dalam jurnalisme yang inovatif.
Adapun The Guardian mencatatkan pertumbuhan 118 persen pada kuartal III-2019 dibandingkan kuartal IV-2017. Selain peningkatan yang signifikan, portal berita ini menggunakan model bisnis kontribusi dari para pembaca loyal.
Kisah sukses ini tidak hanya dialami korporasi besar. Ada pula media-media papan menengah dari segi oplah yang juga berhasil sukses menggaet pelanggan digital.
Laporan FIPP pada 2023 menunjukkan, di Norwegia, kinerja surat kabar lokal kecil mengungguli surat kabar nasional dalam menarik pelanggan digital baru. Langganan digital surat kabar dengan sirkulasi kurang dari 4.000 meningkat sebesar 17,8 persen, sedangkan surat kabar nasional hanya meningkat 2,8 persen pada periode yang sama.
Norwegia merupakan negara yang memimpin dalam daftar kesediaan pengguna untuk membayar berita. Menurut Reuters Digital News Report, 39 persen masyarakat Norwegia membayar untuk berita daring pada tahun lalu, hampir dua kali lipat rata-rata global sebesar 17 persen.
Adapun menurut riset lembaga Press Gazette, hingga September 2022, setidaknya ada 29 penerbit berita yang memiliki lebih dari 100.000 pelanggan digital. Penerbit media yang menjadi obyek riset ini adalah pemberitaan yang menggunakan bahasa Inggris di seluruh dunia.
Total pelanggan digital yang dikumpulkan media-media tersebut mencapai 30.168.294 pelanggan. Sebagian besar di antaranya merupakan perusahaan pers yang berasal dari AS, Inggris, Kanada, dan Australia.
Kehadiran bisnis media berita berbayar tidak terlepas dari pendapatan bisnis dari pelanggan selepas masa kejayaan iklan di media cetak. Di sisi lain, pendapatan digital menggantikan iklan media cetak belum optimal.
Di Indonesia, harian Kompas juga menerbitkan edisi digital dengan model berbayar melalui Kompas.id sejak Februari 2017. Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra mengatakan, bisnis model digital subscription memungkinkan media tidak bergantung pada platform digital.
Ini mematahkan kekhawatiran bahwa masyarakat Indonesia tidak memungkinkan untuk berlangganan. Sebetulnya banyak yang ingin mengakses informasi dan mau berlangganan.
Media memiliki ekosistem untuk menjaga audiensnya sendiri. Ekosistem ini dapat menunjang jurnalistik yang lebih baik. Sebab, konten yang dihadirkan tidak ingin konten yang hanya sekadar clickbait, tetapi juga lebih variatif. Ada liputan-liputan investigasi, jurnalisme data, opini, riset, tutur visual, hingga reportase langsung.
”Kami senang karena pertumbuhan Kompas pun bagus. Jika lihat secara tahunan, pertumbuhan audiense hampir 100 persen dengan mencapai lebih dari 7 juta. Ini mematahkan kekhawatiran bahwa masyarakat Indonesia tidak memungkinkan untuk berlangganan. Sebetulnya banyak yang ingin mengakses informasi dan mau berlangganan,” ujar Sutta.
Sutta menambahkan, kesuksesan The New York Times jelas menginspirasi Kompas. Namun, tak hanya media yang sudah mengglobal seperti The New York Times yang memunculkan harapan Kompas.
Media-media lokal di Eropa dan Asia yang mengembangkan model berbayar dan juga meraih kesuksesan serupa turut menjadi inspirasi.
Salah satu media Asia yang juga sukses dengan model bisnis tersebut adalah Grup Nikkei dari Jepang. Grup Nikkei mengumumkan bahwa mereka kini telah mencapai 3,26 juta pelanggan di seluruh mereknya. Mereka mengklaim jumlah itu membuat Grup Nikkei menjadi pengelola media terbesar ketiga berdasarkan pelanggan digital secara global.
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Ambang Priyonggo, mengatakan, media juga perlu mengembangkan jurnalisme-jurnalisme inovatif secara berkesinambungan agar bisa bertahan dari disrupsi digital.
Langkah ini, menurut Ambang, berarti media tidak terpaku hanya soal bagaimana mengemas produk jurnalismenya saja, tetapi juga menyadari perlunya melakukan pengembangan inovasi bisnis model yang tepat.
”Inovasi ini perlu berangkat dari sebuah nilai bahwa peran jurnalistik itu masih sangat penting untuk menjadi suluh di tengah masifnya arus informasi, terutama dengan kemunculan fenomena media sosial dan homeless media,” tutur Ambang.
Tak hanya itu, lanjut Ambang, jurnalis perlu juga meningkatkan kapasitas keahlian dalam konteks perkembangan jurnalisme digital. Keahlian soal jurnalisme data dan penggunaan kecerdasan buatan sebagai alat bantu, misalnya, keahlian ini dapat digunakan untuk menghasilkan jurnalisme yang komprehensif dan interpretatif, bukan jurnalisme yang sekadar melaporkan peristiwa.