Di tengah arus informasi yang sangat cepat, tetapi belum teruji kebenarannya, media massa diharapkan tetap teguh menjaga keakuratan berita. Nafsu mengejar kecepatan pemberitaan justru berisiko mengorbankan akurasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Telepon seluler yang saat ini tidak hanya sebatas alat komunikasi, tetapi juga sebagai sumber informasi dari berbagai media daring, Kamis (3/9/2020). Sebagian besar media cetak pun saat ini juga mulai berpindah menjadi media daring untuk mengikuti perkembangan zaman.
Beradu kecepatan menyampaikan informasi menjadi panggung kompetisi media massa di era digital saat ini. Namun, sering kali ambisi ini justru menggadaikan akurasi. Keakuratan pemberitaan serta rambu-rambu kode etik semestinya tetap menjadi ”rem” di tengah godaan mengejar kecepatan.
Internet mengakselerasi arus informasi. Segmentasi media massa pun semakin kabur. Banyak media cetak, televisi, dan radio ikut meramaikan ruang digital untuk beradaptasi dalam mendistribusikan berita.
Perkembangan teknologi tersebut mengubah perilaku masyarakat mengakses berita. Media pun berlomba-lomba memproduksi dan mendistribusikan berita secepat mungkin untuk mengejar traffic.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, di era digital, sulit menyegmentasikan antara media cetak, televisi, radio, dan daring. ”Semuanya sudah saling beririsan sehingga hampir tidak bisa disegmentasikan,” ujarnya saat menghadiri Serikat Perusahaan Pers (SPS) Awards 2023 di Jakarta, Senin (20/3/2023) malam.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (3/3/2023).
Di era digital, banyak media lebih mengutamakan kecepatan. Hal ini tidak terlepas dari mekanisme penyebaran berita di platform tersebut yang memungkinkan untuk diperbarui terus-menerus.
Akan tetapi, hal ini bukan alasan untuk mengorbankan akurasi berita. Kode etik jurnalistik dan pedoman pemberitaan lainnya seharusnya tetap dikedepankan agar publik tidak mengonsumsi informasi yang keliru.
”Ini mengharuskan para pimpinan redaksi memperhatikan betul karena di (platform) digital update-nya lebih cepat. Dia harus lebih memastikan, kecepatan pemberitaan diikuti dengan akurasi,” ucapnya.
Akurasi pemberitaan menjadi masalah serius di tengah banjir informasi. Kondisi ini juga tecermin dari pengaduan masyarakat ke Dewan Pers.
Tahun lalu, Dewan Pers menerima 691 pengaduan kasus pers. Sekitar 97 persen pelanggaran merupakan konten media digital atau daring. Bentuk pelanggarannya beragam, mulai dari tidak memverifikasi, terindikasi hoaks atau fitnah, hingga konten yang mengandung provokasi seksual.
Kompas
Sejumlah pemuda membubuhkan tanda tangan pada deklarasi “Bandung Anti Hoaks” yang diadakan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) pada hari bebas kendaraan bermotor di Jalan Ir Djuanda, Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (31/3/2019).
Ketua Umum SPS Januar P Ruswita menuturkan, dengan jurnalisme berkualitas, pers nasional akan tetap mendapat tempat di hati publik. Oleh sebab itu, media dituntut memproduksi konten-konten kreatif dan teruji kebenarannya.
”Publik juga dapat pencerahan dan dicerdaskan dengan membaca dan mengakses informasi yang benar serta bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Sumatera Utara, Februari lalu, Presiden Joko Widodo juga mengingatkan isu utama dunia pers saat ini adalah membuat pemberitaan yang bertanggung jawab. Sebab, masyarakat sedang kebanjiran berita, baik dari media sosial, media daring, maupun platform digital lainnya.
Gagap merespons isu
Kegagapan merespons isu berulang kali terjadi sehingga melahirkan berita yang kurang valid. Pada 2018, misalnya, isu penganiayaan terhadap aktivis Ratna Sarumpaet berembus kencang di media sosial. Foto-foto Ratna dengan wajah lebam pun dengan cepat menyebar.
Perkembangan teknologi tersebut mengubah perilaku masyarakat mengakses berita. Media pun berlomba-lomba memproduksi dan mendistribusikan berita secepat mungkin untuk mengejar traffic.
Media arus utama ramai-ramai menanggapi isu ini serta memberitakannya. Belakangan, Ratna mengaku telah berbohong dan mengarang cerita penganiayaan tersebut. Lebam di wajahnya muncul pascaoperasi plastik.
Menyeruaknya isu itu menjelang Pemilu 2019 sempat memicu kegaduhan di tengah masyarakat. Apalagi, sejumlah politisi dan tokoh publik ikut mengamplifikasi kabar bohong tersebut.
Laporan Situasi Keamanan Jurnalis 2022 oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebutkan, pelanggaran etika juga masif terjadi pada media daring (online). Ini karena faktor kontrol di media daring lebih longgar ketimbang platform media lainnya. Selain itu, faktor judul umpan klik (click bait) menjadi pemicu media daring menabrak etika demi mengejar traffic.
Jurnalis juga perlu belajar dari kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat pada 2022 lalu. ”Pada awal-awal kasus ini terkuak, media massa ramai-ramai mengutip pernyataan pers dari Kepala Biro Penmas Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Ahmad Ramadhan yang menjelaskan bahwa kasus tersebut adalah peristiwa tembak-menembak. Belakangan terkuak, kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat tersebut diduga merupakan kasus pembunuhan,” tulis laporan itu.
Pengacara Novriansyah Yosua Hutabarat Kamaruddin Simanjuntak dan timnya menggelar konferensi pers karena diusir ketika hadir pada rangkaian rekonstruksi pembunuhan Brigadir Novriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Rumah Dinas Polri, Jalan Duren Tiga Utara, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022).
Studi berjudul ”Emerging Journalistic Verification Practices Concerning Social Media” yang diterbitkan jurnal Journalism Practice pada 2017 menyebutkan, konten media sosial sering digunakan sebagai sumber berita utama. Hal ini membuat verifikasi konten semakin penting dilakukan oleh jurnalis dan perusahaan media.
”Jurnalis menggunakan beberapa strategi yang berbeda untuk memverifikasi konten dan sumber media sosial. Wartawan juga harus memiliki berbagai kompetensi dalam memverifikasi konten media sosial,” sebut studi yang disusun Petter Bae Brandtzaeg sebagai penulis utama itu.
Di tengah arus informasi yang sangat cepat, tetapi belum teruji kebenarannya, media massa diharapkan tetap teguh menjaga keakuratan berita. Nafsu mengejar kecepatan pemberitaan justru berisiko mengorbankan akurasi dan menggerus kredibilitas.