Sejumlah media daring di Indonesia masih memuat konten yang kurang diverifikasi, terindikasi hoaks atau fitnah, mengandung provokasi seksual. Kualitas konten pemberitaan mendesak untuk dibenahi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Aksi wartawan dalam peringatan Hari Kebebasan Pers.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pers menerima 691 pengaduan kasus pers sepanjang 2022. Sekitar 97 persen pelanggaran merupakan konten media digital atau daring. Bentuk pelanggarannya beragam, mulai dari tidak memverifikasi, terindikasi hoaks atau fitnah, hingga konten yang mengandung provokasi seksual. Kualitas konten pemberitaan mendesak untuk dibenahi.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana mengatakan, kasus pengaduan tahun ini meningkat dibandingkan 2021 dengan 621 kasus. Pihaknya telah menyelesaikan sekitar 630 pengaduan. Sejumlah media diminta mencabut atau men-takedown konten yang diadukan.
”Kami menekankan pers di seluruh Indonesia agar membenahi konten sesuai kode etik jurnalistik, disepadankan dengan Undang-Undang Pers (Nomor 40 Tahun 1999),” ujarnya dalam jumpa pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (17/1/2023).
Yadi menuturkan, konten yang mengandung hoaks tidak termasuk karya jurnalistik. Konten tersebut justru sangat berpotensi merusak kualitas pers di Tanah Air.
Puluhan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan) berunjuk rasa di Jalan Siliwangi, depan Gedung DPRD Kota Cirebon, Jawa Barat, Kamis (26/9/2019).
”UU Pers hanya untuk pers profesional, bukan pihak yang menumpang pada kemerdekaan pers,” katanya.
Menurut Yadi, masih banyak media yang memuat konten berbau provokasi seksual. Konten tersebut akan berdampak buruk bagi masyarakat sehingga media diharapkan menjaga kualitas konten pemberitaannya.
Dalam banyak kasus, konten seperti itu dibuat dengan umpan klik atau click bait menggunakan judul sensasional. Alhasil, kode etik jurnalistik (KEJ) yang menjadi pedoman dan rambu kerja-kerja jurnalis rentan dilanggar.
”Kami tidak menunggu aduan untuk menghadapi konten dengan model seperti ini. Langsung dipanggil (pihak media) dan minta untuk di-takedown,” katanya.
Yadi mengingatkan, selain diminta mencabut konten, media juga dapat dikenai sanksi lebih berat jika berulang kali melakukan pelanggaran serupa. Bahkan, penyelesaiannya tidak akan menggunakan UU Pers karena konten tersebut tidak dikategorikan produk jurnalistik.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Telepon seluler yang saat ini tidak hanya sebatas alat komunikasi, tetapi juga sebagai sumber informasi dari berbagai media daring, Kamis (3/9/2020). Sebagian besar media cetak pun saat ini juga mulai berpindah menjadi media daring untuk mengikuti perkembangan zaman.
”Jika terus diulangi, akan dikeluarkan dari verifikasi Dewan Pers. Kami pernah mengirim surat kepada media tertentu bahwa tidak akan memproses verifikasi faktual media yang selalu mengamplifikasi konten-konten porno,” katanya.
Yadi menambahkan, menjelang Pemilu 2024, pers dituntut membuat konten yang berdampak baik dan mengedukasi publik. Jadi, konten pemberitaan harus bisa dipertanggungjawabkan agar tidak memicu kegaduhan.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menekankan pentingnya media membuat konten sesuai KEJ. Dengan demikan, jika terjadi protes terhadap pemberitaan, dapat diselesaikan dengan UU Pers.
”Kalau ada berita tidak berperspektif pada kode etik, ada pihak yang dirugikan dan kemudian melapor, kami tak bisa menolong,” ucapnya.
Laporan Situasi Keamanan Jurnalis 2022 oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebutkan, pelanggaran etika masif terjadi pada media daring. Hal ini dikarenakan faktor kontrol di media tersebut lebih longgar ketimbang platform media lainnya.
Masih banyak media yang memuat konten berbau provokasi seksual. Konten tersebut akan berdampak buruk bagi masyarakat sehingga media diharapkan menjaga kualitas konten pemberitaannya
Faktor judul umpan klik juga memicu media daring menabrak etika demi mengejar trafik. Terdapat pula pelanggaran etika oleh media daring dengan konten yang mengeksploitasi aktivitas sosial.
Secara terpisah, Ketua Bidang Pendidikan, Etik, dan Profesi AJI Edy Can menyebutkan pentingnya peningkatan verifikasi oleh jurnalis dalam membuat berita. Salah satu contoh lemahnya verifikasi tersebut terjadi pada pemberitaan bekas Kepala Divisi Profesi dan Keamanan Polri Ferdy Sambo yang saat ini menjadi terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Pada awal kasus ini terkuak, media massa ramai-ramai mengutip pernyataan Humas Polri yang menjelaskan kasus tersebut merupakan peristiwa tembak-menembak. Namun, hal itu ternyata skenario yang dibuat oleh Ferdy Sambo.
Menurut Edy, jurnalis harus tetap skeptis pada pernyataan resmi dari sebuah institusi. ”Jurnalis masih perlu bekerja keras untuk melakukan verifikasi sesuai faktanya,” ucapnya.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Terdakwa kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Ferdy Sambo berjalan menuju tim kuasa hukumnya seusai pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (17/1/2023). Pada sidang hari ini, terdakwa Ferdy Sambo dituntut pidana penjara seumur hidup oleh jaksa penuntut umum.
Pihaknya merekomendasikan perusahaan media dan jurnalis disiplin memverifikasi setiap informasi dan tidak mengandalkan sumber berita hanya dari institusi tertentu. Selain itu, perusahaan media juga tidak menyandarkan bisnis dengan mengabaikan etik serta memberikan pelatihan etik secara reguler kepada jurnalisnya.
Ancaman kebebasan pers
Sejumlah regulasi yang disahkan pada 2022, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), juga menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers. Sebelum disahkan menjadi undang-undang, Dewan Pers telah menyarankan reformulasi 11 kluster dan 17 pasal bermasalah dalam RKUHP. Namun, hal ini tidak mendapatkan umpan balik berarti dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Terdapat tenggat tiga tahun sebelum KUHP baru itu diberlakukan. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, pihaknya akan memanfaatkan jeda waktu tersebut untuk kembali berdialog dengan pemerintah.
”Mumpung belum diberlakukan. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal itu dimungkinkan. Namanya, perubahan atas,” jelasnya.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menjawab pertanyaan wartawan di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (17/1/2023).
Adapun beberapa pasal dalam KUHP yang dipersoalkan antara lain Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme serta Pasal 218, 219, dan 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil Presiden.
Selain itu, juga Pasal 240 dan 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah. Ada juga Pasal 264 tentang tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
”Disahkannya KUHP baru ancaman serius bagi kebebasan pers,” ujar Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers Arif Zulkifli.
Arif menambahkan, pihaknya mempunyai nota kesepahaman (MOU) dan perjanjian kerja sama dengan Polri mengenai koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers. Hal ini dilakukan untuk mencegah kriminalisasi terhadap jurnalis terkait pemberitaan.