Pertumbuhan Media Belum Dibarengi Peningkatan Kualitas Berita
Pertumbuhan media merupakan bagian dari kebebasan berekspresi sehingga perlu didukung. Namun, hal ini harus dibarengi dengan tanggung jawab memproduksi berita berkualitas yang mengedukasi publik.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
MAGRIB.ID
Media daring dengan konten sastra yang dibuat oleh penyair Makassar, Muhary Wahyu Nurba. Media ini menjadi panggung bagi karya para pegiat sastra.
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan media massa di Indonesia meningkat pesat pascareformasi 1998. Namun, hal ini belum diikuti dengan peningkatan kualitas berita. Masih banyak media yang terlalu dominan memuat berita rilis, hanya menyalin atau copy paste dari portal lain, dan minim konfirmasi.
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, pertumbuhan media merupakan bagian dari kebebasan berekspresi sehingga perlu didukung. Namun, hal ini harus dibarengi dengan tanggung jawab memproduksi berita yang mengedukasi publik.
”Harus diikuti dengan kualitas. Kita tidak ingin ada ribuan perusahaan media digital, tetapi tidak punya kapabilitas dan kapasitas pada wartawannya. Bentuk beritanya copy paste, rilis, dan tanpa konfirmasi,” ujarnya di Jakarta, Kamis (12/1/2023).
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ninik Rahayu (tengah) menanggapi laporan tahunan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers pada 2022 bertajuk "Jurnalisme dalam Kepungan Represi", di Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Ninik mengatakan, masih ditemukan sejumlah media daring di daerah yang 80 persen beritanya bersumber dari rilis pemerintah daerah. Ada juga yang mencampuradukkan advertorial dengan berita.
”Tidak mungkin sebuah media hanya memberitakan apa yang dilakukan pemda tanpa mencari informasi, fakta, untuk diberikan ke publik,” ucapnya.
Ninik mengingatkan pentingnya pemenuhan kesejahteraan jurnalis. Hal ini tidak hanya menyangkut gaji minimal sesuai upah minimum regional (UMR), tetapi juga asuransi kesehatan, keselamatan kerja, dan fasilitas pendukung lainnya.
Jaminan ini dibutuhkan agar jurnalis bisa fokus menjalankan tugasnya dalam membuat berita. Dengan demikian, wartawan dapat menjaga independensinya dalam memenuhi hak publik untuk mengakses informasi yang sebenarnya.
Masih ditemukan sejumlah media daring di daerah yang 80 persen beritanya bersumber dari rilis pemerintah daerah. Ada juga yang mencampuradukkan advertorial dengan berita.
Menurut Ninik, perusahaan media pun tidak diperbolehkan mengintervensi independensi jurnalis. ”Bayangkan kalau untuk kesejahteraan mereka (jurnalis) disuruh cari sendiri. Bagaimana bisa kritis kalau tidak ada jarak dengan pemberi (sumber) berita,” katanya.
Untuk memastikan kesejahteraan itu, verifikasi yang dilakukan Dewan Pers meminta bukti transfer gaji dari perusahaan pers ke jurnalis. Pihaknya juga meminta bukti keikutsertaan wartawan dalam asuransi kesehatan dan keselamatan kerja.
”Ada juga yang berbohong. Jadi, wartawan diminta menandatangani seakan-akan perusahaan sudah membayar sesuai UMR dan diikutkan asuransi. Namun, setelah diaudit, ternyata tidak begitu,” ujarnya.
Ninik mengatakan, dalam perusahaan media, sumber daya manusia untuk bidang bisnis dan editorial mesti dipisah. Namun, masih ditemukan wartawan yang juga ditugaskan mencari iklan sehingga rentan mengintervensi independensinya dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik.
”Menyelesaikan persoalan ini perlu kerja sama. Tidak bisa hanya Dewan Pers. Ada sekitar 3.000 (media daring) yang antre (di pendataan),” katanya.
KOMPAS/SAMUEL OKTORA
Sejumlah wartawan dari beragai media massa yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Bandung turut memperingati Hari Buruh Sedunia atau May Day di halaman depan gerbang Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (1/5).
Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Adi Prasetya mengatakan, dari sekitar 47.000 media daring di Tanah Air, hanya sekitar 3.000 yang terdata di Dewan Pers. Artinya, jumlah kurang dari 10 persen.
”Selain itu, ada kemunduran kualitas para jurnalis kita. Banyak sekali teman-teman (wartawan) mendirikan media dengan tujuan utama untuk kerja sama dengan pemda,” katanya.
Menurut Adi, hal itu tidak sesuai dengan esensi membangun media. Kondisi tersebut patut dijadikan refleksi serta evaluasi terhadap pers dan jurnalis.
”AMSI ingin membangun dua hal. Pertama, meningkatkan kualitas jurnalis di Indonesia, tentunya untuk media siber. Kedua, membangun ekosistem bisnis yang sehat untuk media berkelanjutan,” ujarnya.