Tak Ada (Lagi) Istilah ”Orang Miskin Dilarang Sakit”
Program JKN memudahkan akses kesehatan yang lebih baik dan luas bagi masyarakat, terutama masyarakat tidak mampu.
Oleh
DEONISIA ARLINTA, COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·5 menit baca
Awalnya Adi Susanto (53) tidak mau ke rumah sakit. Ia lebih memilih terus beristirahat di rumah daripada memeriksakan diri ke rumah sakit. Padahal, sakit perut hebat serta mual dan muntah terus ia rasakan. Kalau ke rumah sakit, ia takut biaya perawatannya mahal.
Sebagai pengemudi ojek daring, penghasilan Adi terbilang pas-pasan, Rp 100.000-Rp 150.000 per hari. Tabungan yang juga sekadarnya membuat ia semakin berpikir panjang untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Ia takut kalau harus menjual aset ataupun barang-barang miliknya untuk biaya rumah sakit.
Namun, setelah sembilan hari kondisinya semakin memburuk, Adi pun akhirnya ke rumah sakit. Mami (50), istrinya, sebenarnya sudah kesal dengan sikap suaminya yang sulit diajak ke rumah sakit.
”Padahal, sudah saya bilang kalau periksa ke rumah sakit tidak perlu takut biaya. Uang juga bisa dicari. Apalagi, dia (suaminya) juga punya BPJS (jaminan kesehatan nasional) dari pemerintah. Ternyata benar, seribu pun tidak dipungut biaya,” kata Mami yang ditemui di ruang tunggu Rumah Sakit Cinta Kasih, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (8/2/2024).
Pengalaman Mami sebelumnya sebenarnya membuat ia tidak ragu untuk membawa suaminya ke rumah sakit. Sekitar tiga bulan lalu, ia harus menjalani pemeriksaan batu empedu. Selain itu, ia juga sempat mengalami penyumbatan pada pembuluh darah di otaknya.
Dengan modal kartu BPJS Kesehatan yang dimilikinya, ia bisa mendapatkan seluruh perawatan dan pengobatan dengan mudah. ”Meski waktu dulu saya dirawat masih harus mengeluarkan sekitar Rp 200.000 untuk obat, namun pemeriksaan termasuk lancar. Karena pemeriksaannya banyak, saya sempat diminta beberapa kali pindah rumah sakit karena alatnya tidak ada di rumah sakit tempat saya dirawat,” katanya.
Baik Adi maupun Mami sudah terdaftar sebagai peserta program Jaminan Kesehatan Nasional. Mereka terdaftar sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang setiap bulan iurannya ditanggung oleh pemerintah. ”Asal ada kartu BPJS dan KTP, kalau memang sudah sakit pasti diterima di rumah sakit,” ucap Mami.
Pengalaman yang sama disampaikan oleh Yudi (36), warga Jember, Jawa Timur, yang saat ini bekerja sebagai pegawai swasta di Kota Denpasar, Bali. Yudi menuturkan, kemudahan mengakses pelayanan kesehatan paling dirasakan ketika ia memeriksakan anaknya, Aldi (11), ke puskesmas. Mulai dari pemeriksaan di puskesmas hingga ke rumah sakit rujukan di RSUD Wangaya, Denpasar, proses yang dilewati terbilang mudah dan cepat.
Ternyata benar, seribu pun tidak dipungut biaya.
”Prosesnya cepat dan tidak membayar apa-apa lagi,” ucapnya. Yudi merupakan peserta mandiri. Ia membayar iuran untuk program JKN sekitar Rp 60.000 per bulan untuk seluruh anggota keluarganya.
Kisah lain yang juga serupa dialami oleh Muyasaroh (59). Sebelumnya, warga Semarang tersebut tidak menyangka bahwa sebagian besar pengobatan kanker payudara yang dideritanya bisa dijamin dalam program JKN. Sebagai pegawai swasta dengan penghasilan di bawah UMR yang berkisar Rp 1,7 juta per bulan, ia tidak tahu apakah sanggup membiayai seluruh pengobatan untuk sakit kankernya.
Namun, setelah satu tahun ia menjalani terapi, sebagian besar biaya perawatan ternyata dapat ditanggung dalam program JKN. Muyasaroh terdaftar sebagai peserta penerima upah yang biaya iurannya ditanggung oleh perusahaan tempat ia bekerja.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, dampak dari adanya program JKN yang paling nyata adalah semakin jarang masyarakat miskin yang tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan. Masyarakat yang tidak mampu pun tidak lagi takut datang ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya untuk berobat asalkan ia menjadi peserta JKN.
”Kalau dulu itu sampai ada istilah, orang miskin dilarang sakit. Kenapa? Itu karena kalau sakit ya tidak ada yang dijual. Dulu, tidak jarang orang sampai harus menjual tanah atau sapi atau apa pun untuk biaya pengobatan. Namun, sekarang, itu sudah sangat jarang terdengar,” katanya.
Program JKN dijalankan dengan prinsip asuransi sosial yang pembiayaannya berbasis gotong royong. Bagi masyarakat yang tidak mampu, biaya iurannya akan ditanggung oleh pemerintah. Setidaknya tercatat ada 96,8 juta penduduk miskin yang terdaftar sebagai peserta penerima bantuan iuran dalam program JKN.
Ghufron mengatakan, memang masih ditemukan peserta JKN yang harus mengeluarkan biaya pelayanan kesehatan (out of pocket) secara pribadi. Akan tetapi, besaran dari biaya tersebut lebih rendah dari awal program JKN diluncurkan. ”Dulu pada 2014, out of pocket itu masih sampai 50 persen. Namun, sekarang, biaya itu sudah berkurang menjadi sekitar 25 persen,” ujarnya.
Tidak dimungkiri, pelaksanaan program JKN telah membuka akses kesehatan yang lebih luas dan lebih baik bagi masyarakat di Indonesia. Kejadian pasien yang ditolak di rumah sakit karena tidak ada biaya kesehatan pun semakin jarang terdengar. Justru, kini istilah yang mengemuka adalah sakit sedikit langsung minta diperiksa. Hal itu pula yang menyebabkan adanya penumpukan di fasilitas kesehatan.
Meski begitu, sekalipun cakupan layanan kesehatan semakin baik, peningkatan layanan masih perlu dilakukan. Permasalahan dalam pelaksanaan JKN masih ditemui, mulai dari pasien yang tidak mendapatkan kamar perawatan, pasien yang harus menunggu di selasar rumah sakit, hingga antrean yang lama untuk mendapatkan tindakan operasi. Belum lagi, ketidakpatuhan fasilitas pelayanan kesehatan yang menyebabkan fraud serta ketidakpatuhan peserta dalam membayar iuran.
Program JKN memiliki tujuan yang amat baik, terutama untuk melindungi masyarakat dari beban ganda dan kesulitan pembiayaan ketika sakit. Karena itu, semua pihak perlu bekerja sama untuk memastikan keberlanjutan program tersebut.