Jaminan Kesehatan Nasional dan Akses Perempuan Miskin untuk Persalinan Aman
Peningkatan layanan perlindungan sosial ternyata tidak serta-merta mendorong keluarga miskin, terutama perempuan miskin, untuk mengakses layanan Jaminan Kesehatan Nasional.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·6 menit baca
KOMPAS/ADI SUCIPTO K
Pasien sedang menjalani cuci darah di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soegiri, Lamongan, Jawa Timur, Jumat (6/4/2018). Warga Lamongan telah memanfaatkan Jaminan Kesehatan Nasional baik ikut serta kepesertaan secara mandiri maupun melalui skema penerima bantuan iuran (PBI). Akhir 2018 ditargetkan semua warga Lamongan terjangkau JKN. Kepesertaan dalam JKN akan membantu masyarakat mendapatkan layanan kesehatan karena ditanggung JKN.
Peningkatan ketersediaan layanan perlindungan sosial yang diselenggarakan pemerintah selama ini ternyata tidak serta-merta mendorong keluarga miskin, terutama perempuan miskin, untuk mengakses layanan Jaminan Kesehatan Nasional. Semenjak 2017 hingga 2019, pemanfaatan program Jaminan Kesehatan Nasional tidak berubah signifikan.
Bahkan, pemanfaatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh kepala keluarga yang dikepalai oleh perempuan (KKP) lebih rendah dibandingkan dengan keluarga yang dikepalai oleh laki-laki (KKL). Layanan JKN untuk KKP pun lebih sedikit daripada KKL, terutama dalam mengakses JKN untuk kehamilan dan persalinan.
Ketersediaan JKN juga tidak serta-merta meningkatkan akses perempuan miskin terhadap layanan persalinan aman. Pada layanan pemeriksaan deteksi dini kanker, meski ada penambahan perempuan miskin yang pernah melakukan pemeriksaan ini, hingga kini cakupannya masih sangat kecil.
Hasil studi longitudinal periode 2014-2019 yang dilakukan The SMERU Research Institute (SMERU) terkait akses dan penghidupan perempuan miskin terhadap layanan publik di sejumlah wilayah di Indonesia menemukan peningkatan kepesertaan JKN dan ketersediaan layanan tidak serta-merta meningkatkan akses perempuan miskin terhadap layanan kesehatan. Ini harus disertai oleh upaya meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan dukungan perubahan perilaku.
Situasi akses perempuan miskin terhadap layanan kesehatan terungkap dalam Diseminasi dan Dialog bertajuk ”Mendorong Akses Layanan Perempuan Miskin yang Lebih Baik” yang digelar daring oleh Program MAMPU dan SMERU, Senin (28/9/2020).
Diseminasi dan dialog dihadiri Subandi Sardjoko (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas), Aedan Whyatt (Counsellor for Poverty and Social Development, Australian Department of Foreign Affairs and Trade), dan Stewart Norup (Senior Monitoring, Evaluation and Research Spesialist, Program MAMPU).
KOMPAS
Ilustrasi. Pengunjung memadati Pameran dan Bazar Kesehatan Wanita (Women Health Expo and Bazaar) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Sabtu (3/8/2019). Pameran diisi pemeriksaan kesehatan dan konsultasi terkait kesehatan wanita, reproduksi, kehamilan, tumbuh kembang anak, dan kecantikan.
Pada acara tersebut, Sri Murniati, peneliti SMERU, memaparkan, meskipun dari sisi jumlah kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI) meningkat dalam tiga tahun terakhir (2017-2019), pemanfaatannya tidak mengalami perubahan.
”Uji proporsi menunjukkan bahwa perubahan pemanfaatan JKN tidak signifikan. Artinya, pemanfaatan JKN dari tahun 2017 hingga 2019 tidak berubah,” ujar Murniati yang menyampaikan hasil studi dengan tema ”Perlindungan Sosial Kesehatan bagi Keluarga Perempuan Miskin”.
Dialog yang dipandu Luviana Ariyanti itu juga mendengarkan paparan dari tiga peneliti SMERU lain tentang hasil studi dengan tema berbeda, yakni Veto Tyas Indrio (Perlindungan Ketenagakerjaan bagi Perempuan Miskin Pekerja Rumahan dan Perempuan Pekerja Migran Indonesia), Ana Rodidha Tamyis (Perlindungan bagi Perempuan Korban dari KDRT), dan Hafidz Arfyanto (Dinamika Perlindungan Perempuan Miskin: Pembelajaran dan Langkah ke Depan).
Hasil studi dari setiap topik tersebut direspons oleh sejumlah penanggap baik dari kementerian/lembaga maupun dari pemerintah daerah serta organisasi masyarakat sipil.
Sementara studi longitudinal yang didukung oleh Program MAMPU (Kemitraan Pemerintah Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan) dilakukan di 15 desa di wilayah kerja Program MAMPU dan non-Program MAMPU di lima kabupaten di Indonesia. Kelima daerah tersebut adalah Deli Serdang (Sumatera Utara), Cilacap (Jawa Tengah), Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur), Kubu Raya (Kalimantan Barat), serta Pangkajene dan Kepulauan (Sulawesi Selatan).
Studi tentang Perlindungan Sosial Kesehatan bagi Keluarga Perempuan Miskin bertujuan melihat perubahan kepesertaan dan pemanfaatan perempuan miskin dalam JKN selama 2017-2019. Ini dilakukan dengan menganalisis setiap aktor dan faktor pendorong serta penghambat kepesertaan dan pemanfaatan JKN sejak 2017.
Kompas
Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)Infografik
Program JKN dipilih sebagai fokus studi karena pemerintah telah berkomitmen untuk mencapai target jaminan kesehatan semesta (universal health coverage) pada akhir 2019. Adapun kepesertaan JKN dalam studi ini dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu JKN-PBI dan JKN Non-PBI.
”Pemanfaatan JKN yang dianalisis dalam studi ini mencakup layanan berobat jalan, rawat inap, imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pemasangan kontrasepsi, persalinan, dan pemeriksaan kesehatan reproduksi,” ujar Murniati.
Studi tersebut menemukan, kepesertaan JKN di seluruh wilayah studi meningkat karena penambahan kuota peserta JKN-PBI dan aksi kolektif untuk mengaksesnya. Bahkan, pada 2019, peserta JKN-PBI meningkat sekitar 8 persen dibandingkan dengan 2017. Meski demikian, jika dipilah antara kepala keluarga yang dikepalai perempuan dan laki-laki tidak ditemukan perbedaan yang signifikan. Ini terjadi karena pendataan kepesertaan tidak membedakan status kepala keluarga.
KOMPAS/SONYA HELLE SINOMBOR
Empat ibu rumah tangga, mewakili Tim Pemantau Jaminan Kesehatan Nasional untuk Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI) di Kelurahan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur, menyampaikan kesan dan pesan sebagai pemantau pada Konsultasi Publik Hasil Pemantauan JKN-PBI yang digelar di Kantor Kelurahan Jatinegara Kaum, Selasa (20/3).
Sejumlah hambatan
Mengapa pemanfaatan dari Program JKN tidak berubah? Hal itu karena sejumlah faktor. Pertama, adanya program pelayanan gratis yang tidak mensyaratkan kepesertaan JKN, misalnya layanan imunisasi dan pemeriksaan kesehatan reproduksi (tes IVA).
Kedua, hambatan mengakses fasilitas kesehatan untuk sebagian layanan JKN. Contohnya, akses terhadap layanan kontrasepsi jarak yang harus ditempuh cukup jauh dan keterbatasan jam operasional.
Ketiga, kartu JKN yang dimiliki masih bermasalah, di antaranya data yang tidak sesuai antara kartu JKN dan KTP/KK. Keempat, keluarga miskin lebih memilih layanan kesehatan non-JKN walau berbayar karena alasan tertentu, seperti dekat dengan rumah, tidak perlu antre, dan waktu pemeriksaan lebih longgar, seperti bisa diakses pada malam hari.
Studi juga menemukan pemanfaatan JKN oleh keluarga yang dikepalai oleh perempuan lebih rendah sekitar 7 persen ketimbang keluarga yang dikepalai oleh laki-laki.
Menanggapi hasil studi tersebut, Direktur Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan, Erna Mulati mengapresiasi studi itu meski baru tahu ada studi tersebut. ”Kalau dilibatkan dari awal bisa berdiskusi,” ujarnya.
Dia menilai perlu mendalami lebih jauh apa kendala dari perempuan keluarga miskin untuk berkunjung ke layanan kesehatan. Dia menduga hal itu karena pengaruh sejumlah faktor. Namun, menurut Erna, dalam penelitian tersebut tidak terlihat peran suami terhadap keinginan perempuan berkunjung ke fasilitas kesehatan. ”Kita tahu betul, pendekatan berbeda orang miskin di perkotaan dan perdesaan,” katanya.
Pemerintah, lanjut Erna, tentu berperan dalam mendorong masyarakat mengakses layanan kesehatan. Beberapa yang dilakukan yaitu meningkatkan literasi dari perempuan terkait kesehatan ibu dan anak serta keluarga melalui tenaga kesehatan dan sarana di tingkat masyarakat di kelas ibu serta anak balita dan posyandu.
Dari studi tentang layanan kesehatan, menurut Hafidz, menunjukkan fakta bahwa peningkatan ketersediaan layanan belum tentu mendorong perempuan untuk mengakses layanan. Meskipun peningkatan kepesertaan JKN diikuti oleh peningkatan akses mereka terhadap layanan persalinan, persalinan tidak aman di beberapa wilayah studi justru meningkat. Dengan demikian, ada sedikit penurunan tingkat persalinan aman daripada 2017.
Kolaborasi
Lalu, bagaimana agar akses perempuan miskin dapat meningkat? Peran pemangku kepentingan menjadi kunci. Kolaborasi antarpemangku kepentingan dibutuhkan agar akses mereka dapat meningkat. Meskipun masih menghadapi beberapa kendala, bentuk-bentuk kolaborasi ini sudah ada di seluruh wilayah studi pada beberapa tema penghidupan.
Contohnya, pemerintah desa dan kader mitra MAMPU di daerah, seperti Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), sudah bekerja sama untuk meningkatkan kepesertaan JKN-Kartu Indonesia Sehat. ”Akan tetapi, faktor seperti kondisi infrastruktur desa masih menghambat perempuan miskin dalam mengakses layanan kesehatan menggunakan JKN-KIS,” kata Hafizd.
Apabila faktor-faktor penghambat ini tidak dihilangkan, upaya peningkatan akses yang selama ini gencar dilakukan akan menjadi sia-sia. Akibatnya, perempuan miskin menjadi semakin sulit untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kolaborasi semua pihak juga diakui Subandi menjadi sangat penting dalam melanjutkan dan memperluas praktik baik yang dihasilkan dari program MAMPU. Dia berharap, meski program MAMPU akan berakhir tahun ini, tidak berarti kegiatan yang sudah dikerjakan juga berakhir.
Praktik-praktik baik yang dikerjakan selama ini diharapkan dapat dilanjutkan, diinternalisasi, dan diperluas pelaksanaanya di banyak daerah sesuai dengan konteks masing-masing.