Jaminan Kesehatan Nasional: Proteksi untuk Siapa?
Dua pertiga dari total 61 rumah sakit level tinggi (dulu Kelas A) berada di Pulau Jawa dan 16 di antaranya berada di Jakarta. Ini akar masalah mengapa akses dan pemanfaatan DJSK didominasi kelompok ekonomi makmur.
Term ”BPJS Orang Kaya” yang semula dicetuskan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menimbulkan diskursus mengenai pengelolaan dana jaminan sosial kesehatan atau DJSK. Kita membutuhkan formulasi baru pengelolaan DJSK dan BPJS Kesehatan.
Joko Mulyanto dalam artikelnya (Kompas, 10/12/2022) ingin mendudukkan kembali konsep asuransi sosial pada khitahnya. Sementara itu, Laksono Trisnantoro (Kompas, 13/12/2022) mencoba menarik konsep asuransi sosial tersebut ke realitasnya.
Realitas yang dimaksud adalah pemanfaatan akses kesehatan oleh peserta BPJS Kesehatan ”kelompok mandiri”— term yang sering dipakai untuk menggantikan ”pekerja bukan penerima upah (PBPU)” dan ”bukan pekerja (BP)”— yang melebihi jumlah kontribusi iuran yang mereka berikan. Ini mengakibatkan subsidi silang dari kelompok mampu kepada kelompok tak mampu tak berjalan sesuai konsep, bahkan berkebalikan.
Baca juga : Menangani Masyarakat Mampu di JKN
Baca juga : Jaminan Kesehatan bagi Orang Kaya
Mampu dan kaya
Pertama-tama, kita perlu memetakan terminologi secara tepat. Dengan skema kepesertaan JKN saat ini, kita hanya dapat menganalisis berdasarkan kelompok kepesertaan, yaitu penerima bantuan iuran (PBI), pekerja penerima upah (PPU), PBPU, dan BP. Kita tak bisa secara detail menggolongkan peserta JKN berdasarkan kelas kuintil ekonomi.
Mereka yang menjadi peserta JKN kelompok PBPU atau BP belum tentu dari golongan kaya jika yang dimaksud adalah masyarakat di kuintil ekonomi IV-V. Dengan begitu, terminologi ’kaya’ tidak tepat dipakai dan dipercaya, baik oleh publik maupun oleh pemilik otoritas sekelas menteri.
Secara teknis, penggolongan ’kaya’, bahkan ’mampu’ sekalipun, rumit untuk dirumuskan. Ide liar untuk melihat tagihan listrik bukan hal praktis dalam tataran teknis keseharian. Pendekatan ini lebih mirip ancaman dibandingkan solusi jangka panjang. Kita membutuhkan definisi yang secara teknis jelas dan mampu laksana.
ilustrasi
Beberapa studi ilmiah sebenarnya sudah mampu menyimpulkan adanya ketidakmerataan akses dan pemanfaatan layanan kesehatan. Sambodo (2021), misalnya, menunjukkan bahwa pengeluaran kesehatan Indonesia masih didominasi oleh golongan ekonomi yang lebih makmur dan dipengaruhi oleh distribusi fasilitas kesehatan yang tidak merata.
Dua pertiga dari total 61 rumah sakit level tinggi (dulu disebut Kelas A) berada di Pulau Jawa dan 16 di antaranya berada di Jakarta. Studi ENHANCE (2022) juga menunjukkan bahwa masyarakat golongan ekonomi lemah tidak memiliki banyak pilihan akses, kecuali fasilitas kesehatan dengan kualitas yang lebih rendah dan terbatas.
Ini akar masalah mengapa akses dan pemanfaatan DJSK didominasi oleh golongan ekonomi yang lebih makmur. Meskipun layanan kesehatan tersedia gratis, peserta JKN tetap harus mengeluarkan biaya nonkesehatan, seperti transportasi, akomodasi, bahkan potensi kehilangan pendapatan hariannya.
Meskipun layanan kesehatan tersedia gratis, peserta JKN tetap harus mengeluarkan biaya nonkesehatan, seperti transportasi, akomodasi, bahkan potensi kehilangan pendapatan hariannya.
Dengan keterbatasan fasilitas, jarak yang jauh, dan biaya nonmedis yang tinggi, kelompok ini tidak sanggup atau harus berpikir berulang kali sebelum memutuskan mengakses fasilitas kesehatan. Sementara kelompok yang lebih makmur diuntungkan oleh akses yang lebih leluasa dan biaya nonmedis yang masih bisa mereka tanggung.
Di sisi lain, dari sekitar 30 juta peserta kelompok PBPU pada 2021, hanya 48 persen yang membayar iuran JKN secara aktif. Ini menyebabkan rendahnya kontribusi kelompok ini ke DJSK yang hanya 8 persen—dibandingkan kontribusi kelompok PBI yang 34 persen.
Kelas menengah
Namun, apakah melepas kelompok ’mampu’ ini dari kepesertaan JKN ke asuransi swasta merupakan hal yang tepat dan bijak? Rendahnya kolektabilitas iuran JKN pada kelompok PBPU bukan tanpa alasan. Meski dipaksakan lewat bundling iuran per kartu keluarga atau denda, literasi mengenai pentingnya asuransi kesehatan masih rendah.
Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Berbagai negara juga mengalami betapa sulit menjangkau kelompok yang sering disebut sebagai ’the missing middle’ ini. Ketika kelompok miskin ditanggung oleh negara dan kelompok ekstrem kaya mampu mendanai pengobatannya sendiri, kelompok menengah sering kali menempatkan asuransi kesehatan sebagai prioritas rendah dan menyebabkan mereka tidak terproteksi.
Ilustrasi
Kelas menengah inilah yang akan mendominasi kontur populasi Indonesia dalam 10-20 tahun ke depan. Mauro Guillen dalam bukunya, 2030, juga memprediksi hal yang sama terjadi di hampir seluruh belahan dunia.
Masyarakat di kelas ini mampu untuk membiayai sendiri ongkos pengobatan akut—sekali dua kali pergi ke dokter spesialis atau rumah sakit mahal. Mencari fasilitas terbaik dengan antrean paling panjang dan rekomendasi paling tinggi untuk diagnosis, terapi akut, atau persalinan. Namun, ketika harus menghadapi penyakit kronik dan mahal, mereka terpaksa bertumpu pada bantuan asuransi semisal BPJS Kesehatan.
Kelompok inilah, dengan privilese akses di area urban, yang secara dominan menyerap DJSK. BPJS Kesehatan harus diakui sebagai penyelamat mereka. Bagaimana tidak? Skema JKN merupakan salah satu asuransi dengan kontribusi iuran terendah di dunia. Pesertanya dapat mengakses layanan nyaris tanpa batas hanya dengan maksimum Rp 150.000 atau sekitar 10 dollar AS. Kita tidak menemukan skema asuransi seroyal ini di tempat lain.
Namun, meminta mereka keluar dari kepesertaan BPJS dan menjadi peserta asuransi swasta bukan hal tepat. Secara sosiologis, konsekuensinya berat. Mereka justru memilih JKN karena iuran yang rendah. Jika beralih ke asuransi swasta dengan kondisi penyerta yang berat, seperti gagal ginjal dan riwayat serangan jantung atau stroke, mereka harus membayar 8-10 kali lipatnya.
Jika beralih ke asuransi swasta dengan kondisi penyerta yang berat, seperti gagal ginjal dan riwayat serangan jantung atau stroke, mereka harus membayar 8-10 kali lipatnya.
Jika dipaksakan, masyarakat kelas menengah inilah yang menjadi korbannya. Pengeluarannya untuk premi asuransi swasta akan membengkak.
Jika mereka memilih keluar atau menghentikan akses layanan kesehatan, dana jaminan sosial barangkali tidak lagi defisit. Namun, modal manusia (human capital) kita akan defisit dengan banyaknya orang yang sakit dan tak lagi mampu mengakses layanan kesehatan terbaik yang dapat mereka jangkau. Kita bergerak mundur.
Ide melepaskan kelompok menengah ini ke asuransi swasta juga hanya akan menjadi tepukan angin. Dugaan saya, setengah hingga dua pertiga dari jumlah mereka akan memilih tetap di skema JKN dengan segala konsekuensinya.
Jika hanya PBI yang diberikan akses penuh terhadap layanan kesehatan, akan terjadi fraud administrasi yang pernah kita alami pada skema Jamkesmas, Askeskin, dan surat keterangan tidak mampu (SKTM) di masa lalu. Akan ada gelombang pendaftaran sebagai kelompok tidak mampu yang tidak terverifikasi secara tepat, apalagi dengan sistem pendataan kependudukan yang masih karut-marut.
Dana jaminan sosial kesehatan akan tetap defisit. Kita hanya mengulang loop melalui jalur mekanisme yang berbeda.
Penyesuaian risiko
Pendekatan yang belum dilakukan dalam skema JKN adalah penyesuaian risiko (risk adjustment). Kita mendasarkan iuran berdasarkan kelas 1, 2, dan 3 yang jelas salah kaprah. Meskipun asuransi kesehatan sosial murni tidak lazim menggunakan penyesuaian risiko, pendekatan ini dapat menjadi solusi paling masuk akal di tengah situasi yang ada.
Mereka yang baru mendaftar dan mengakses layanan kesehatan secara wajar tanpa risiko kesehatan cukup membayar iuran dasar, misalnya Rp 150.000. Namun, angka iuran ini dapat berubah sesuai pemanfaatan layanan yang dikaji secara otomatis, periodik, dan dengan ambang batas (threshold) yang ditetapkan. Misalnya, seseorang didiagnosis gagal ginjal pada tahun kedua kepesertaannya dan harus mengakses layanan cuci darah dua pekan sekali, iurannya akan disesuaikan, misalnya menjadi Rp 400.000.
Pendekatan ini memberikan keuntungan ganda. Pertama, meski iurannya meningkat, imbasnya tidak seberat jika ia dipaksa keluar skema dan beralih ke asuransi swasta. Kedua, peningkatan iuran itu berkontribusi terhadap DJSK. Ketiga, ekuitas dan keadilan dipastikan—yang mengakses lebih banyak, berkontribusi lebih besar.
Kementerian Kesehatan harus mampu menjadi regulator dalam penetapan paket manfaat standar, batas atas premi, dan kompatibilitasnya dengan JKN.
Asuransi swasta, yang dikhawatirkan oleh Menteri Kesehatan telah gulung tikar selepas JKN, juga dapat tetap diberi ruang. Kementerian Kesehatan harus mampu menjadi regulator dalam penetapan paket manfaat standar, batas atas premi, dan kompatibilitasnya dengan JKN. Ini akan memberikan pilihan bagi masyarakat kelas menengah yang akan memicu kompetisi dan peningkatan kualitas layanan asuransi.
BPJS Kesehatan juga harus diberi lawan yang sepadan agar kualitasnya terus meningkat; dan tugas Kementerian Kesehatan untuk menciptakan lingkungan kompetitif tersebut.
Ide ini tentu masih harus diuji. Kita membutuhkan ruang kebebasan berpikir dan kelapangan waktu untuk tidak terburu-buru menentukan sesuatu.
Meski undang-undang menetapkan mekanisme pooling tunggal lewat BPJS Kesehatan, sudah saatnya untuk berpikir ulang, mengevaluasi, dan merekonstruksi arsitektur jaminan kesehatan kita. Pendekatan mana yang paling efektif dan efisien untuk menyeimbangkan kebutuhan proteksi kesehatan masyarakat dan keterbatasan dana yang ada.
Kita harus menyepakati bahwa tujuan dari asuransi kesehatan adalah memproteksi masyarakat.
Penggunaan istilah ”penyakit berbiaya katastrofik” yang selama ini digunakan salah kaprah, tidak sesuai dengan filosofi proteksi sosial, dan memberi arah kebijakan yang menyimpang dengan hanya fokus pada mengatasi defisit DJSK. Kita harus menyepakati bahwa tujuan dari asuransi kesehatan adalah memproteksi masyarakat.
Merekalah yang pertama-tama harus dilindungi dari biaya katastrofik yang tidak diinginkan. Jika bergantung penuh pada negara akan merusak sustainabilitas, sedangkan menyerahkan penuh kepada pasar akan mematikan keadilan sosial. Kita harus mencari jalan terbaik untuk berdiri di tengah dan menyeimbangkan kedua sisinya.
Ahmad FuadyPengajar dan Peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia