Kemampuan Berjalan Kaki Dapat Memprediksi Risiko Patah Tulang
Kemampuan berjalan kaki dapat membantu memprediksi risiko patah tulang. Hal ini berdasarkan riset terbaru di Australia.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aktivitas fisik sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan tulang. Berdasarkan penelitian terbaru, kemampuan berjalan kaki juga dapat membantu memprediksi risiko patah tulang.
Laporan penelitian tersebut telah diterbitkan di jurnal JAMA Network Open, Selasa (23/1/2024). Menurut peneliti di Garvan Institute of Medical Research, Australia, dengan menanyakan pasien tentang kemampuan berjalan kaki, dokter bisa mengidentifikasi kebutuhan pemeriksaan kesehatan tulang lebih lanjut untuk mencegah terjadinya patah tulang.
”Kami menemukan kesulitan berjalan, bahkan untuk jarak pendek, tampaknya terkait erat dengan risiko patah tulang yang lebih tinggi selama lima tahun berikutnya,” ujar penulis utama studi itu yang juga Kepala Laboratorium Studi Klinis dan Epidemiologi Garvan, Prof Jacqueline Center.
Para peneliti memeriksa data 267.000 orang berusia 45 tahun ke atas dari Sax Institute’s 45 and Up Study, sebuah inisiatif penelitian yang melacak kesehatan pada orang dewasa di New South Wales, Australia, selama lebih dari 15 tahun. Para peserta mendapatkan pertanyaan apakah masalah kesehatan membatasi kemampuan mereka untuk berjalan kaki dalam berbagai jarak.
Pilihan jawaban yang tersedia adalah tidak sama sekali, sedikit, atau banyak. Ketiga kelompok ini kemudian dipantau selama lima tahun untuk melacak risiko patah tulang yang dialami.
Para peneliti menemukan satu dari lima peserta mengalami keterbatasan berjalan kaki pada awal penelitian. Mereka lebih berisiko mengalami patah tulang pada masa pemantauan.
Dengan menanyakan pasien tentang kemampuan berjalan kaki, dokter bisa mengidentifikasi kebutuhan pemeriksaan kesehatan tulang lebih lanjut untuk mencegah terjadinya patah tulang.
Peserta perempuan yang melaporkan banyak mengalami keterbatasan saat berjalan kaki sejauh satu kilometer memiliki risiko patah tulang 60 persen lebih tinggi dibandingkan yang tidak memiliki keterbatasan. Sementara bagi peserta laki-laki, peningkatan risikonya lebih dari 100 persen.
”Kami pikir penilaian sederhana ini dapat membantu mengidentifikasi lebih banyak individu berisiko yang mungkin mendapatkan manfaat dari pemeriksaan kepadatan tulang atau pengobatan pencegahan,” ujarnya.
Obat osteoporosis, perubahan gaya hidup, dan intervensi lainnya sangat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan tulang dan menghindari patah tulang. Namun, tingkat skrining saat ini masih rendah.
Jacqueline menuturkan, penilaian risiko patah tulang pada umumnya bergantung pada tes kepadatan tulang. Sayangnya, hal ini belum dilakukan kebanyakan orang saat bertemu dokter.
”Menanyakan tentang kemampuan berjalan hanya membutuhkan beberapa detik dan bisa menjadi cara yang gratis untuk mengetahui apakah seseorang perlu memeriksakan tulangnya,” ucapnya.
Penulis lainnya dalam studi itu, Dana Bliuc, menyebutkan, sekitar 60 persen dari kasus patah tulang pada penelitian tersebut disebabkan keterbatasan berjalan pada tingkat tertentu. Keterkaitannya tetap kuat, bahkan setelah memperhitungkan faktor-faktor lain, seperti usia, jatuh, dan berat badan.
”Kami melihat pola yang jelas, yakni keterbatasan berjalan yang lebih besar berarti mempunyai risiko patah tulang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya hubungan langsung antara kemampuan berjalan yang rendah dan tulang yang lebih lemah,” ujarnya.