Konsumsi Tinggi Lemak Ganggu Sistem Kekebalan Tubuh serta Fungsi Otak
Pola makan tinggi lemak bisa memengaruhi gen terkait risiko kanker usus besar, sistem kekebalan tubuh, serta fungsi otak.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi makanan tinggi lemak tidak hanya memicu obesitas, tetapi juga bisa memicu berbagai masalah kesehatan lain. Riset terbaru menunjukkan, pola makan tinggi lemak dapat memengaruhi gen yang terkait dengan risiko kanker usus besar, iritasi usus besar, sistem kekebalan tubuh, serta fungsi otak.
Studi oleh para peneliti dari University of California (UCR) ini dipublikasikan di Scientific Reports pada 27 Desember 2023. Para peneliti bereksperimen dengan memberikan tiga jenis makanan berbeda kepada tikus selama 24 minggu, dengan setidaknya 40 persen kalorinya berasal dari lemak. Kemudian, mereka tidak hanya melihat mikrobiomanya, tetapi juga perubahan genetik pada keempat bagian usus.
Satu kelompok tikus mengonsumsi makanan berdasarkan lemak jenuh dari minyak kelapa, kelompok tikus lainnya mendapat minyak kedelai tak jenuh tunggal yang dimodifikasi, dan kelompok ketiga mendapat minyak kedelai tidak dimodifikasi yang tinggi lemak tak jenuh ganda.
Dibandingkan dengan diet kontrol rendah lemak, ketiga kelompok mengalami perubahan ekspresi gen, yaitu proses yang mengubah informasi genetik menjadi produk fungsional, seperti protein.
”Kabar yang beredar mengatakan bahwa pola makan nabati lebih baik bagi Anda dan dalam banyak kasus hal tersebut benar. Namun, pola makan tinggi lemak, bahkan yang berasal dari tumbuhan, adalah salah satu kasus yang tidak benar,” kata Frances Sladek, profesor biologi sel di UCR yang menjadi penulis senior studi ini.
Para peneliti menemukan perubahan besar pada gen yang berkaitan dengan metabolisme lemak dan komposisi bakteri usus. Misalnya, mereka mengamati peningkatan patogen Escherichia coli dan berkurangnya bakteri jenis bacteroides yang membantu melindungi tubuh dari patogen.
Temuan lain adalah terjadinya perubahan gen yang mengatur kerentanan terhadap penyakit menular. ”Kami melihat pola pada pengenalan gen, gen yang mengenali bakteri menular, terkena dampaknya. Kami melihat gen pemberi sinyal sitokin terkena dampaknya, yang membantu tubuh mengendalikan peradangan,” kata Sladek.
Dari temuan ini, menurut Sladek, konsumsi tinggi lemak memberi pukulan ganda pada tubuh. ”Pola makan ini merusak gen sistem kekebalan tubuh inangnya dan menciptakan lingkungan di mana bakteri usus yang berbahaya dapat berkembang biak,” tuturnya.
Risiko penyakit
Penelitian tim sebelumnya mengenai minyak kedelai mendokumentasikan kaitannya dengan obesitas dan diabetes, yang keduanya merupakan faktor risiko utama Covid-19. Makalah terbaru kali ini menunjukkan bahwa ketiga pola makan tinggi lemak meningkatkan ekspresi ACE2 dan protein inang lainnya yang digunakan oleh protein paku (spike protein) Covid-19 untuk masuk ke dalam tubuh.
Selain itu, tim mengamati bahwa makanan tinggi lemak meningkatkan tanda-tanda sel induk di usus besar. ”Anda mungkin berpikir itu adalah hal yang baik, tetapi sebenarnya hal tersebut bisa menjadi pemicu kanker,” kata Sladek.
Tim peneliti yang sama sebelumnya mendokumentasikan dampak negatif lainnya terhadap kesehatan dari konsumsi minyak kedelai yang tinggi.
Dalam hal pengaruh terhadap ekspresi gen, minyak kelapa menunjukkan jumlah perubahan terbesar, diikuti oleh minyak kedelai yang tidak dimodifikasi. Perbedaan antara kedua minyak kedelai tersebut menunjukkan bahwa asam lemak tak jenuh ganda dalam minyak kedelai yang tidak dimodifikasi, terutama asam linoleat, berperan dalam mengubah ekspresi gen.
Perubahan negatif pada mikrobioma dalam penelitian ini lebih terlihat pada tikus yang diberi diet minyak kedelai. Hal ini tidak mengherankan karena tim peneliti yang sama sebelumnya mendokumentasikan dampak negatif lainnya terhadap kesehatan dari konsumsi minyak kedelai yang tinggi.
Pengaruh ke otak
Pada 2015, tim menemukan bahwa minyak kedelai menyebabkan obesitas, diabetes, resistensi insulin, dan perlemakan hati pada tikus. Pada 2020, tim peneliti menunjukkan bahwa minyak juga dapat memengaruhi gen di otak yang terkait dengan kondisi seperti autisme, penyakit alzheimer, kecemasan, dan depresi.
Menariknya, dalam penelitian terbaru ini, mereka juga menemukan ekspresi beberapa gen neurotransmitter diubah oleh pola makan tinggi lemak. Hal ini memperkuat gagasan tentang poros otak-usus yang dapat dipengaruhi oleh pola makan.
Para peneliti telah mencatat bahwa temuan ini hanya berlaku untuk minyak kedelai dan tidak berlaku untuk produk kedelai lainnya, tahu, atau kedelai itu sendiri. ”Ada beberapa hal baik mengenai kedelai. Namun, terlalu banyak minyak tidak baik bagi Anda,” kata ahli mikrobiologi UCR, Poonamjot Deol, yang merupakan salah satu penulis studi ini bersama dengan peneliti pascadoktoral UCR, Jose Martinez-Lomeli.
Keterbatasan penelitian
Penelitian ini memberi banyak informasi baru, tetapi para peneliti mengingatkan bahwa kajian ini memiliki keterbatasan. Di antaranya, penelitian dilakukan dengan menggunakan tikus sehingga tidak selalu memberikan hasil yang sama pada manusia.
Sekalipun demikian, manusia dan tikus memiliki 97,5 persen kemiripan kerja DNA. Oleh karena itu, temuan ini tetap perlu menjadi perhatian karena tren pola konsumsi masyarakat saat ini yang cenderung tinggi lemak.
Berdasarkan beberapa perkiraan, orang Amerika cenderung mendapatkan hampir 40 persen kalorinya dari lemak, hal ini mencerminkan apa yang diberikan pada tikus dalam penelitian ini. ”Sejumlah lemak diperlukan dalam makanan, mungkin 10-15 persen. Namun, kebanyakan orang, setidaknya di negara ini (AS), mendapatkan setidaknya tiga kali lipat dari jumlah yang mereka butuhkan,” kata Deol.
Para peneliti juga menambahkan, kebiasaan diet tinggi lemak dalam jangka panjang menyebabkan perubahan yang signifikan pada sistem tubuh. Dalam kajian ini, tikus diberi makanan ini selama 24 minggu. Jika dibandingkan dalam rentang umur manusia, itu berarti konsumsi tinggi lemak itu seperti dimulai dari masa kanak-kanak dan berlanjut hingga usia paruh baya.
Meski begitu, para peneliti berharap penelitian ini akan menyebabkan orang-orang lebih cermat memperhatikan kebiasaan makan mereka. ”Beberapa orang berpikir, Oh, saya akan berolahraga lebih banyak dan baik-baik saja. Namun, makan secara teratur dengan cara ini bisa berdampak pada sistem kekebalan tubuh dan fungsi otak Anda,” ujar Deol. ”Anda mungkin tidak bisa menghilangkan efek ini begitu saja.”