Hari Ini Kita Cerita tentang 2023 (3)
Ini adalah kisah Indri dan Isnaini yang melewati 2023 dengan begitu banyak ujian hidup. Berat, tetapi pertolongan dan peneguhan selalu datang tepat waktu. Mereka berbagi cerita agar 2024 bisa dihadapi lebih kuat.
Cerita Indri
Penulis Dewi Lestari pernah menganalogikan upaya membahagiakan anak seperti petunjuk emergensi di pesawat. Orangtua diminta memakai masker oksigen lebih dahulu sebelum anaknya.
Kata Dewi Lestari, petunjuk itu membuatnya mengerti, kita tidak bisa membahagiakan orang lain sebelum kita sendiri bahagia.
Indri Ambarsari (28) tidak mengenal Dewi Lestari atau mengetahui analogi sang penulis. Namun, Indri memegang prinsip yang sama.
Dengan tegas, Indri berulang kali bilang, seorang ibu harus lebih dulu bahagia jika ingin membahagiakan anaknya. Ya, seperti memakai masker oksigen saat keadaan darurat di pesawat.
Indri membagikan kisahnya dalam program interaktif Kompas yang bertajuk ”Hari Ini Kita Cerita tentang 2023”. Setidaknya 780 orang telah berbagi cerita tentang perjuangan mereka melalui tahun 2023 dan harapannya di tahun selanjutnya.
Baca juga: Sambut Tahun Baru, Lewati Kekalutan
Pada sore di pengujung tahun 2023, Sabtu (30/12/2023), senyum merekah di wajah Indri saat keluar dari sebuah restoran di Bintaro, Jakarta Selatan.
Di tangannya masih ada berkas-berkas berisi ijazah dan paklaring (surat pernah bekerja). Ia baru saja merampungkan wawancara untuk menjadi pramusaji.
Diterima atau tidak, kata Indri, itu bisa menjadi penutup tahun yang baik sekaligus bekal berharga menatap tahun 2024.
Nyaris sepanjang tahun 2023, Indri merasa babak belur. Keputusan untuk berpisah dengan suami pada awal tahun bukan perkara mudah.
Lebih sulit karena warga Tangerang Selatan, Banten, itu harus berjuang menjadi seorang ibu tunggal untuk anaknya yang sudah masuk usia sekolah.
”Menyekolahkan anak ternyata berat banget, biayanya nggak murah. Butuh minimal Rp 2,5 juta. Apalagi, pekerjaan aku nggak tetap. Tapi, kita, kan, ingin selalu memberikan yang terbaik untuk anak, jadi terus aku usahakan,” kata Indri.
Kalau sudah main tangan sekali-dua kali, pasti ada ketiga kali dan seterusnya. Ucap Indri sambil menengadah, menahan air matanya agar tidak tumpah.
Beban itu terasa berat karena Indri harus menanggungnya sendirian. Mantan suaminya tidak mau ikut urunan, bahkan cenderung lepas tangan soal kebutuhan anak.
Tidak ada pilihan lain bagi Indri selain berusaha sendiri, memulai mencari pekerjaan tambahan hingga mencari pinjaman ke teman.
Baca juga: Jungkir Balik Ibu Tunggal
Indri mafhum, begitulah kehidupan akan berjalan ketika memutuskan berpisah dengan suami dan menjadi ibu tunggal. Tidak mudah, karenanya ia harus menjadi sosok yang lebih kuat demi sang anak. Tetapi, ketidakmudahan itu lebih berharga ketimbang bertahan dalam situasi yang justru akan menggerogotinya perlahan: kekerasan dalam rumah tangga.
Tujuh tahun pernikahan Indri diwarnai dengan sikap suami yang ringan tangan. Tabiat itu muncul pada tahun kedua, ketika Indri sedang hamil tua. Saat pacaran selama kurang lebih dua tahun, kata Indri, tidak ada tanda-tanda tabiat seperti itu terlihat.
Kekerasan tersebut kembali muncul saat anak mereka berusia lima tahun pada 2021 lalu. Tindakan suaminya menyadarkan Indri untuk memikirkan ulang pernikahannya. Sebab, mantan suami tak segan memukul Indri di hadapan anak.
Indri tak menjerit, justru anaknya yang teriak ketakutan. Keduanya lantas dikurung di dalam kamar sebelum pintu didobrak oleh ayah Indri.
Baca juga: 19 Tahun Punya UU, KDRT Tetap Saja Marak
“Aku minta solusi ke sana-ke sini, banyak yang bilang disudahi saja. Tapi, aku selalu bertahan karena percaya dia akan dapat hidayah, dia bisa berubah. Ternyata nggak bisa. Aku tidak benci dia, cuma benci tindakannya. Kalau sudah main tangan sekali-dua kali, pasti ada ketiga kali dan seterusnya,” ucap Indri sambil menengadah, menahan air matanya agar tidak tumpah.
Indri hanya satu dari belasan ribu perempuan bernasib serupa. Dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sepanjang tahun 2022-Juni 2023, terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban mencapai 16.275 orang.
Pada data Polri sampai Juli 2023, kasus KDRT mencapai 2.261 kasus. Kasus itu didominasi kekerasan fisik, yakni 1.848 kasus, sisanya kekerasan psikis (133), kekerasan seksual (61), pemaksaan hubungan seksual (2), dan penelantaran ekonomi (217).
Indri sebenarnya selalu khawatir bagaimana nasib sang anak jika ia bercerai dengan suami. Pertanyaan seperti, ”Apakah anakku akan kehilangan figur ayah?” atau ”Apakah anakku bakal tetap dibiayai ayahnya?” selalu menghantui. Pertanyaan-pertanyaan itu juga yang membuatnya selalu bertahan, alih-alih berpisah.
Namun, setelah kejadian pemukulan serta pengurungan, berbicara dengan orangtua, dan meminta petunjuk Tuhan dengan shalat istikharah, Indri memantapkan hati untuk bercerai.
Menurut Indri, anak tidak bisa jadi alasan orangtua mempertahankan hubungan yang tidak sehat. Mereka menikah bukan karena anak dan seharusnya bertahan juga bukan karena anak.
”Banyak, kan, yang mempertahankan keluarga karena berat ke anak. Padahal, anak butuh ibu yang bahagia. Jangan mempertahankan hubungan yang toksik karena anak. Kita harus punya langkah lebih baik,” ujarnya.
Baca juga: KDRT Masih Menjadi Ancaman bagi Perempuan
Setelah bercerai pun, hidup Indri tidak langsung cerah. Ia harus menerima perkataan tidak menyenangkan dari tetangga, yang mempertanyakan keputusan untuk berpisah dengan suami. Sebab, keputusan itu membuat Indri menjadi janda dalam usia muda. Namun, Indri memilih tutup telinga.
Indri meyakini apa yang diputuskannya telah benar. Tak mungkin ia bahagia jika bersama orang yang tega menyiksanya. ”Saya lagi-lagi berpikir, sebagai ibu harus sehat, harus bahagia kalau mau membahagiakan anak. Kalau kitanya sudah sakit, ibaratnya sudah ‘rusak’, bagaimana bisa membesarkan anak?” katanya.
Beruntung, kata Indri, anaknya tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan. Anak perempuannya itu tak pernah merengek meminta dibelikan sesuatu, seolah mengerti keadaan ibunya yang pekerjaannya tak menentu, mulai dari sales asuransi hingga penagih utang pinjaman daring.
”Saat pembagian rapot kemarin, aku nangis. Lihat nilai anakku bagus-bagus semua. Bangga. Aku jadi semangat menjalani hidup karena dia. Anakku jadi penyemangat terbesarku,” kata Indri.
Indri juga punya teman-teman membantunya melewati tahun yang berat ini. Mereka selalu ada membantu Indri, mulai dari memberikan tempat menginap selepas mantan suami melakukan KDRT, mengantar ke pengadilan agama untuk mengurus cerai, hingga meminjamkan uang untuk biaya sekolah anak.
Baca juga: Butuh Sistem Pendukung agar Perempuan Berdaya
Salah satu temannya juga yang menyelamatkan Indri saat disiksa dalam keadaan hamil sembilan bulan. Temannya, tanpa memberi kabar, lewat rumah kontrakan Indri dan mendengar kegaduhan. Dengan sigap, teman Indri itu menghentikan tindakan kekerasan berlanjut.
”Kalau diinget-inget lagi, kok bisa ya aku melalui ini? Berat, lho. Tapi, ini pelajarannya banyak banget. Aku belajar bijak menghadapi situasi, belajar jadi ibu yang baik, belajar lebih kuat dan tidak takut bahaya, asalkan anak bahagia,” ucapnya.
Saat menceritakan kisahnya, Indri berkali-kali menitikkan air mata. Namun, ketika hendak menutup cerita, ia menyeka air mata itu dan menceritakan harapannya pada 2024. Indri yakin, tahun baru akan membawa kebahagiaan baru berupa kemudahan mencari nafkah bagi sang anak.
Sejam setelah bercerita, Indri mendapat kabar panggilan wawancara. ”Saya juga harus percaya, rezeki anak sudah ada yang atur,” tuturnya.
Cerita Isnaini
”Ujiannya memang berat. Tapi, Allah bilang sesudah kesulitan, ada kemudahan…” kata Isnaini (26), lalu menghela napas panjang.
Isnaini sampai pada kalimat itu setelah menceritakan perjalanannya di tahun 2023, tahun terberat dalam hidupnya. Menurut Isna, panggilan akrabnya, tak ada yang bisa dilakukan selain melanjutkan hidup. Menyerah, kata Isna, bukan pilihan.
Pada sebuah sore di akhir Mei lalu, di Semarang, Jawa Tengah, lamunan Isna buyar. Setiap perjalanan sepulang kerja, yang Isna lakukan ialah sesekali mengobrol dengan suami yang menjemputnya, seringnya melamun.
Isna tidak ingat persis apa yang terjadi. Namun, yang pasti, ada guncangan yang membuat badannya terpental, lantas menghantam aspal.
Motor yang Isna dan suaminya tumpangi beradu dengan motor lain. Jari tangan kanan dan pundak Isna patah. Kaki suaminya dalam keadaan yang sama, tetapi lebih parah. Itu kemudian menjadi awal muda ujian terberat Isna.
Baca juga: Hari Ini Kita Cerita tentang 2023 (1)
Kondisi Isna tidak memungkinkannya untuk bekerja. Sebagai buruh pabrik garmen, tangan adalah salah satu alat kerja utamanya. Dengan jari tangan patah, Isna tidak bisa menjahit baju yang merupakan tugasnya. Isna juga harus merawat suaminya.
”Kami tidak punya pemasukan sama sekali. Akhirnya, apa pun benda berharga yang kami punya harus dijual, untuk makan, untuk berobat. Kami tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong,” kata Isna.
Ayah mertua Isna berada di Jakarta, tidak bisa dimintai tolong. Sementara itu, Isna juga sungkan untuk meminta bantuan kepada orangtuanya. Sebab, setelah kecelakaan itu, ibu Isna memintanya berpisah dengan suami.
Permintaan ibu Isna tak bisa dipenuhinya. Isna lebih memilih bertahan dalam rumah tangga yang dibangunnya selama lima tahun ini kendati berada dalam situasi sulit. Pilihan itu membuat hubungan Isna dan ibunya renggang. Situasi menjadi lebih rumit dan berat.
”Aku tahu, namanya seorang ibu pasti takut kalau anaknya kesusahan. Seorang ibu pasti ingin anaknya selalu bahagia. Namun, aku juga tidak mungkin meninggalkan suami. Susah-senang dilalui bersama,” ujar Isna.
Justru bersama suamilah Isna merasa mendapatkan dukungan. Situasinya tak pernah Isna bayangkan sebelumnya. Tabungan yang perlahan habis, benda-benda berharga yang terus terjual, dan patah kaki suami yang tak kunjung sembuh sangat menekan mental Isna. Nafsu makan terganggu, tidur pun tak pernah nyenyak.
Namun, Isna dan suami saling menguatkan. Mereka percaya, tidak mungkin selamanya berada dalam situasi tidak menyenangkan. Tidak mungkin juga mereka menyerah begitu saja. Toh, kata Isna, hidup harus terus berjalan.
”Tahun ini berat, tapi saya jadi dapat pelajaran untuk menyiapkan dana darurat di masa depan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kepada kita, tetapi kita harus selalu menyiapkannya. Saya nggak mau keteteran lagi,” ucap Isna.
Baca juga: Renungan Akhir Tahun
Isna pun berharap tahun baru 2024 akan menjadi awal yang baik bagi kehidupannya. Ia memperkirakan, kondisi pundak dan jari tangannya akan pulih pada awal tahun. Dengan demikian, ia akan mencoba mencari pekerjaan lagi.
Ia juga berharap suaminya segera pulih sepenuhnya. Mereka ingin membuktikan, situasi sulit itu bisa dilalui berdua, bersama-sama.
”Saya bukan tipe orang yang suka bercerita masalah yang dihadapi ke orang lain. Tapi, hari ini saya bercerita dan ternyata lega banget rasanya. Terima kasih,” ucap Isna.