Tahun 2023 segera berakhir. Begitu banyak persoalan mendera. Namun, sebagian masyarakat tetap berjuang melewati kekalutan dan menemukan jalan keluar. Perjuangan itu jadi energi untuk menatap tahun depan.
JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat menghadapi berbagai persoalan selama 2023, mulai dari masalah rumah tangga hingga impitan ekonomi. Meski demikian, mereka tetap berjuang untuk bertahan dan optimistis di tahun yang baru.
Kisah warga tersebut terekam dalam program interaktif Kompas bertajuk ”Hari Ini Kita Cerita tentang 2023”. Setidaknya 730 orang berbagi cerita tentang perjuangan mereka melalui tahun 2023.
Dwi Ratna (30), warga Bojonegoro, Jawa Timur, masih berjuang sembuh dari depresi karena persoalan dengan suaminya ditambah lagi usaha yang bangkrut dan pekerjaan yang sepi. Ia sempat mengonsumsi obat antidepresi.
Ratna bekerja sebagai editor buku, tetapi sejak sepi permintaan dan suaminya tak bekerja lagi, ia berjualan ayam krispi.
”Saya dulu mengira krisis ekonomi itu mitos. Ternyata saya rasakan sendiri, memang susah. Daya beli turun semua. Jualan jadi susah. Makanya bangkrut. Job edit buku juga sepi, penjualan buku sepi, penghasilan tak ada. Ekonomi saya benar-benar sulit. Semua barang dijual satu per satu hingga listrik sempat diputus sementara karena tidak bisa bayar tagihan,” ujar ibu tiga anak itu, Sabtu (30/12/2023).
Beruntung, Ratna dikelilingi teman-teman komunitas penulis, salah satunya Sasti. Satu kalimat Sasti yang selalu diingat Ratna adalah ”bertahan saja untuk hari ini” yang setiap hari dikirim melalui pesan singkat ke Ratna. Satu kalimat itu betul-betul membuat Ratna bertahan dan melewati 2023 dengan kuat.
Tahun 2023 juga tidak bersahabat bagi Aulia Rochmatul Isnaeni (22). Ia merasakan banyak kepahitan di tahun ini, mulai dari kegagalan usaha, sakitnya orangtua, hingga kehilangan nenek tercinta.
Warga Dukuh Kembang Wadas Gumantung, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, itu punya cara unik untuk menguatkan diri. Ia menulis puisi. Lewat puisi, ia berekspresi. Cara itu berhasil.
Lain lagi kisah Dedi Mijwar (36), warga Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. Lulusan SMK teknik mesin itu sampai saat ini berusaha mencari kerja, tetapi belum ada kesempatan. Ia bahkan pernah bertahan hidup dari uang bantuan program Kartu Prakerja.
Kini, ia bekerja paruh waktu membantu kakaknya berjualan sandal setiap Sabtu dan Minggu dengan upah Rp 50.000 per hari. ”Mending capek kerja daripada capek nganggur,” ucapnya.
Saat Dedi sibuk mencari pekerjaan, dari Probolinggo, Jawa Timur, ada cerita Juwita Listyasari (22) yang berjuang mendapatkan gelar sarjana. Ia mengalami kecelakaan saat selangkah lagi mengenakan toga.
Ia tak melihat ada truk parkir karena saat kejadian di malam hari itu lampu penerangan jalan sangat minim.
Jiwa Juwita terguncang karena seminggu setelah dioperasi, jadwal sidang sudah menantinya. Ia keteteran dan gelisah bukan main.
”Pelan-pelan, dibarengi kontrol selama tiga bulan, saya bereskan laporan sampai bisa sidang. Syukurlah saya diberi dispensasi,” ujarnya.
Juwita juga disemangati dan dibantu dosen-dosen untuk mengatasi ketertinggalannya sehingga bisa mengenakan toga.
Ia sungguh gembira sewaktu diwisuda. ”Istilahnya, proud of me (bangga). Bagaimanapun semua individu perlu apresiasi untuk kesehatan mental masing-masing,” katanya sambil tersenyum.
Kekerasan
Bukan hanya soal ekonomi, persoalan pada 2023 juga diwarnai dengan kekerasan dalam rumah tangga. Seperti yang dialami Indri Ambarsari (28) yang menjalani tahun itu dengan babak belur. Setelah tujuh tahun menikah, ia akhirnya mantap bercerai dengan suaminya yang ringan tangan.
Tidak hanya dipukul, Indri juga pernah dikurung. ”Aku minta solusi ke sana-ke sini, banyak yang bilang disudahi saja. Tetapi, aku selalu bertahan karena percaya dia akan dapat hidayah, dia bisa berubah. Ternyata enggak bisa. Aku tidak benci dia, cuma benci tindakannya. Kalau sudah main tangan sekali-dua kali, pasti ada ketiga kali dan seterusnya,” ucap Indri menengadah sambil menahan air matanya.
Biasanya alasan tidak bercerai di situasi seperti itu adalah anak. Namun, Indri punya prinsip, anak akan bahagia jika hidup dengan ibu atau bapak yang bahagia.
”Banyak, kan, yang mempertahankan keluarga karena berat ke anak. Padahal, anak butuh ibu yang bahagia. Jangan mempertahankan hubungan yang toksik karena anak. Kita harus punya langkah lebih baik,” kata Indri.
Kini, Indri memulai kembali hidupnya. Ia percaya membahagiakan anak bisa jadi rezeki untuknya. Ia pun kini sibuk melamar pekerjaan.
”Diterima atau tidak, kata Indri, ini menjadi penutup tahun yang baik dan bekal untuk menatap 2024,” ucapnya.
Indri hanya satu dari belasan ribu perempuan bernasib serupa. Dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sepanjang tahun 2022-Juni 2023, terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban mencapai 16.275 orang.
Berdasarkan data Polri sampai Juli 2023, kasus KDRT mencapai 2.261 kasus. Kasus itu didominasi kekerasan fisik, yakni 1.848 kasus, sisanya kekerasan psikis (133), kekerasan seksual (61), pemaksaan hubungan seksual (2), dan penelantaran ekonomi (217).
Peneliti budaya populer dan gaya hidup Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang, dan Universitas Pasundan, Bandung, Idi Subandy Ibrahim, mengatakan, masyarakat semakin membutuhkan kelapangan hati. Setiap insan perlu ikhlas setelah berupaya semampunya.
Idi tak menampik gaya hidup terkini memacu masyarakat berlomba-lomba menilai keberhasilan berdasarkan materialisme. ”Kalau ikhlas, tentu lebih bahagia. Boleh jadi hidupnya sudah baik, tetapi tidak sadar karena terus membanding-bandingkan,” katanya.
Untuk itu, menurut Idi, publik perlu lebih dekat dengan mereka yang selama ini menyayanginya untuk memulihkan jiwa-jiwa yang terusik.
Media sosial, televisi, hingga lingkungan sangat berpengaruh terhadap pandangan yang dapat membuncahkan pikiran.
Tahun 2023 bisa berat bagi sebagian orang, tetapi selalu ada alasan untuk bertahan dan bersyukur seraya dijamah tangan penolong. Selamat menyongsong Tahun Baru 2024.