KDRT Masih Menjadi Ancaman Bagi Perempuan
Perempuan rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Komitmen pernikahan menjadi kunci untuk pencegahan terjadinya kekerasan disamping pentingnya penerapan perlindungan terhadap korban kekerasan.
Keberanian selebritas Lestiani atau yang lebih dikenal sebagai Lesti Kejora melaporkan kepada pihak berwajib atas kasus Kekerasan Dalam rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh Rizky Billar suaminya, patut diapresiasi.
Sikap yang diambil Lesti tersebut dapat menjadi contoh bagi perempuan-perempuan lainnya yang mengalami hal serupa untuk berani “bersuara” agar mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Laporan Lesti pun berujung penetapan Rizky Billar sebagai tersangka pada Rabu (12/10/2022), yang diumumkan Kepala Bidang Humas Metro Jaya, Komisaris Besar Endra Zulpan. Sayangnya, baru beberapa jam ditahan, laporan tersebut dicabut oleh pihak Lesti.
Dengan berbagai alasan, mencabut laporan memang hak korban. Hal seperti inilah yang menjadi salah satu hambatan implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yaitu UU No 23 tahun 2004 yang sudah 18 tahun memberikan payung hukum bagi korban.
KDRT merupakan tindak pidana berbahaya, yang jika tidak dihentikan sejak awal, dapat menimbulkan lingkaran kekerasan, makin lama semakin berat dan luas eskalasinya
Padahal KDRT merupakan tindak pidana berbahaya, yang jika tidak dihentikan sejak awal dapat menimbulkan lingkaran kekerasan, makin lama semakin berat dan luas eskalasinya.
Siklus kekerasan bisa cepat berulang dari membentak hingga menghajar, dari suami mengerasi istri, berimbas istri mengerasi asisten rumah tangga, anak ikut menjadi korban, dan seterusnya bahkan bisa bereskalasi sampai pada kriminalisasi korban misalnya pembunuhan.
Pada medio Februari 2022 Kompas memberitakan terjadinya KDRT yang berujung kematian korban. AS (25) menjadi terduga pelaku kekerasan dalam rumah tangga dengan mencekik FS (22) istinya sehingga tewas setelah terlibat pertengkaran, di Perumahan Bugel Mas Indah, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang, Banten.
Baca juga : Selebritas Adukan KDRT Jadi Panutan
Perempuan rentan
Karena terjadi di ranah privat atau personal, kasus KDRT masih banyak yang tersimpan dalam ruang-ruang privat bernama keluarga. Dengan dalih KDRT adalah aib keluarga yang harus ditutup-tutupi dan tidak seharusnya dilaporkan atau diketahui orang lain, atau dengan alasan untuk melindungi anak, membuat kasus KDRT hanya sedikit yang muncul di permukaan.
Bentuk kekerasan yang tidak hanya fisik, tetapi juga psikis baik secara verbal maupun sikap dan dilakukan oleh orang terdekat ini membuat posisi perempuan masih terancam dan semakin rentan mengalami tindak kekerasan.
Menurut data Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), tahun 2020 terjadi 8.686 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban sebanyak 8.763 perempuan.
Secara nasional Simfoni PPA mencatat sebanyak 61,19 persen perempuan yang mengalami kekerasan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Meski tren perempuan yang menjadi korban KDRT mengalami penurunan dari tahun 2019 dan berlanjut hingga tahun 2021, namun pada perempuan dewasa pada rentang waktu tersebut masih lebih tinggi yang mengalami KDRT dibandingkan non KDRT.
Kekerasan fisik dan psikis adalah bentuk KDRT yang paling sering terjadi pada perempuan dewasa. Tidak hanya ibu rumah tangga, perempuan bekerja pun rentan terhadap ancaman KDRT.
Hasil survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tahun 2021 juga menunjukkan terjadinya peningkatan kekerasan fisik oleh pasangan pada perempuan sebesar 2 persen dibanding survei yang sama tahun 2016 di angka 1,8 persen, meski secara umum prevalensi kekerasan pada perempuan sepanjang 2021 memang menurun.
Kekerasan di tempat yang dianggap paling aman dan nyaman tersebut tidak hanya menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, tetapi juga dapat meninggalkan trauma psikologis, bahkan penelantaran, dan eksploitasi. Data mencatat ada sekitar 27 persen perempuan yang mengalami kekerasan ganda dalam rumah tangga. Data juga menunjukkan suami adalah pelaku terbanyak kasus KDRT.
Jika ditelusuri lebih dalam menurut wilayah, pada tahun 2020 separuh dari jumlah provinsi (17 provinsi) memiliki persentase korban KDRT yang masih tinggi, di atas rata-rata Indonesia. Provinsi Papua Barat merupakan provinsi dengan persentase korban KDRT tertinggi (76,53 persen) disusul provinsi Jawa Tengah (72,77 persen) dan Papua (72,34 persen).
Provinsi Sulawesi Selatan dilihat dari persentase kasus KDRT adalah terendah dibanding provinsi lainnya (42,17 persen), namun jika ditelisik menurut bentuk kekerasan yang dialami perempuan tercatat kekerasan fisik tertinggi terjadi di provinsi tersebut.
Data menunjukkan ancaman kekerasan pada perempuan di ranah privat menjadi ancaman perempuan Indonesia di mana pun berada. Tak berlebihan jika KDRT masih menjadi momok bagi perempuan.
Baca juga : Butuh Keberanian Korban untuk Memutus Lingkaran KDRT
Optimalisasi perlindungan
Tak dapat dimungkiri, KDRT menjadi salah satu pemicu terjadinya perceraian. Merujuk data BADILAG (Badan Peradilan Agama) tahun 2021, KDRT menjadi alasan tertinggi keempat terjadinya kasus perceraian. Meskipun demikian perceraian bukan berarti kekerasan yang dialami seorang perempuan berakhir. Masih tercatat kasus kekerasan pada perempuan yang dilakukan oleh mantan suami.
Kekerasan oleh mantan suami (KMS) atau KDRT Berlanjut memperlihatkan bahwa perceraian tak menjamin korban bebas dari kekerasan oleh mantan suaminya. Sepanjang 2021 tercatat 167 kasus KMS yang dilaporkan, sebanyak 75 kasus ke lembaga layanan dan ke Komnas Perempuan sebanyak 92 kasus.
Kekerasan yang terus terjadi dan berulang menunjukkan superioritas dan dominasi terhadap perempuan dilakukan dengan bermacam-macam modus hingga membuat perempuan semakin tak berdaya, misalnya dengan memanfaatkan anak sebagai alat untuk menyakiti atau mengintimidasi korban.
Oleh karena itu upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan harus semakin dimasifkan. Perlindungan terhadap perempuan korban KDRT sebenarnya sudah diberikan pemerintah melalui UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) tahun 2004.
Artinya, kekerasan dalam ranah personal ini sudah masif terjadi sejak sebelum adanya payung hukum ini hampir 20 tahun yang lalu. Sayangnya, hingga masa gaung kesetaraan jender semakin santer disuarakan, implementasi upaya perlindungan bagi perempuan masih menemui hambatan.
Dalam CATAHU (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan terpantau hambatan dalam penerapan UU PKDRT sebagaimana disampaikan lembaga layanan tahun 2021, terbanyak adalah karena adanya masalah status pernikahan korban (kawin tidak tercatat), diikuti korban mencabut pengaduan/pelaporan, hingga kurangnya alat bukti dan perspektif aparat hukum.
Hambatan penerapan UU PKDRT terbanyak adalah karena masalah status pernikahan korban (kawin tidak tercatat),
Padahal Undang-undang tersebut bertujuan mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban, menindak pelaku KDRT, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Edukasi terkait apa saja jenis kekerasan dan kemana harus melapor harus lebih dimasifkan agar perempuan semakin berdaya, punya hak untuk hidup aman dan tenteram dalam rumah tangga, sehingga kekerasan tidak lagi menjadi ancaman bagi mereka. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : KDRT Menghancurkan Impian Tentang Keluarga Bahagia