Hari Ini Kita Cerita tentang 2023 (1)
Tahun 2023 tidak selalu mulus seperti harapan setiap orang. Ada yang harus bertarung dengan banyak persoalan dan berupaya bertahan berkat dukungan orang-orang sekitar.
Ratna (30), warga Bojonegoro, Jawa Timur, hingga kini terus berjuang sembuh dari depresi serta belitan masalah ekonomi. Ia bertahan berkat keluarga dan teman online yang selalu menyemangatinya.
Ratna adalah seorang ibu rumah tangga dengan tiga anak, masing-masing berusia 9 tahun, 6 tahun, dan 2 tahun. Ia membantu menambah penghasilan keluarga dengan menjadi penulis lepas dan editor buku penerbitan indie.
Kisah Ratna bermula di akhir 2022, saat suaminya diminta mengundurkan diri sebagai supervisor di restoran makanan cepat saji. Alasannya, suaminya dianggap terlalu longgar pada anak buahnya.
Baca juga: Sambut Tahun Baru, Lewati Kekalutan
Setelah suaminya mengundurkan diri, Ratna dan suami berniat berjualan ayam krispi. Modalnya, menggadaikan sertifikat tanah. Namun, usaha tidak berjalan mulus karena hubungan keluarganya tidak harmonis pada Februari 2023
Ratna hanya bisa mengadu kepada ibu mertuanya. Ia sudah tidak punya ibu. Untungnya, mertuanya membela Ratna. Ia juga mencoba menyembunyikan sakit hatinya. Ia tidak ingin anaknya tahu masalah orangtuanya.
”Mereka dekat sama bapaknya. Saya tidak tega. Tidak apa-apa saya sakit asalkan mereka tidak ikut menderita dan mentalnya terjaga. Saya memilih menahan diri untuk tidak membahas itu lagi dengan suami saya,” ujar Ratna, Sabtu (30/12/2023).
Ratna menceritakan kisahnya dalam ”Hari ini Kita Cerita tentang 2023” yang digagas Tim Natal dan Tahun Baru Harian Kompas (Kompas.id). Program ini mengajak warga untuk berbagi cerita tentang perjuangan mereka menjalani tahun 2023.
Di tengah perjuangan mempertahankan rumah tangganya, mertua Ratna mengalami stroke ringan dan harus dirawat di rumah sakit selama sebulan. Kondisi mertuanya, yang selama ini mendukungnya mempertahankan rumah tangga terus menurun. Ratna pun harus berjuang sendirian.
Semua persoalan itu mengimpit Ratna. Bahkan, sempat terlintas ia ingin menghilang dan mengakhiri hidup.
Beruntung, ia memiliki teman-teman online, komunitas menulis, yang menguatkannya. Merekalah yang mendukungnya secara mental dan material.
Bertahan saja untuk hari ini. (Ratna)
”Kadang, saat saya tidak punya apa-apa, tiba-tiba ada teman mengontak dan mengirim sesuatu. Hal-hal seperti inilah yang menguatkan saya. Bahwa saya punya teman-teman yang mendukung dan punya anak yang menguatkan saya,” kata Ratna.
”Beruntung ada teman saya, Mbak Sasti, yang menguatkan saya. Saya selalu ingat kata-katanya: bertahan saja untuk hari ini,” ungkap Ratna.
Esok hari, Sasti kembali mengirim pesan via Whatsapp yang menanyakan kabarnya. ”Dia bilang hal yang sama: ’Kamu kemarin bisa, sekarang bertahan lagi untuk hari ini.’ Begitu seterusnya hingga saya mampu melewati masa itu dan bertahan sampai sekarang,” ujarnya.
Baca juga: Tahun Baru di Jakarta, Nikmati Karnaval hingga Aksi 500 ”Drone”
Kalimat penguat itu, menurut Ratna, mungkin sangat biasa dan tidak masuk akal bagi orang tanpa beban. Namun, bagi orang dengan depresi seperti dirinya, ungkapan itu adalah kekuatan.
Di luar itu, Ratna memilih berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater secara daring. Hasilnya, ia diberi resep antidepresi dan diminta mengunjungi psikolog secara langsung.
Sebab, segala persoalan ini sudah memengaruhi kondisi fisik Ratna. Ia bahkan sempat enggan makan berhari-hari. Ia pun lanjut berobat ke salah satu rumah sakit di Bojonegoro.
Sejak itulah Ratna mulai mengonsumi obat antidepresan. Namun, lama-lama ia merasa uang untuk membeli obat lebih baik dibelikan kebutuhan anak-anaknya.
Ia sempat berhenti minum obat. Namun, rasa depresi atas berbagai masalah yang diterimanya itu seolah kembali mengimpit dan membuat tubuhnya sering pusing serta tidak nafsu makan.
”Saya merasa sepertinya saya belum sembuh. Kalau tekanan depresi itu kambuh, saya bertindak di luar kehendak. Itu sebabnya, tak ingin menyakiti anak-anak, hingga kini saya kembali minum obat antidepresan,” kata perempuan yang mengaku introvert itu.
Baca juga: Tahun Baru, Hotel di Jakarta Tawarkan Makan Malam hingga Konser Raisa
Dukungan juga datang dari anak-anaknya. Saat Ratna merasa tak bisa lagi menulis cerita seperti sebelum-sebelumnya, dan merasa dirinya bodoh, anaknya menghampirinya.
Mereka mengatakan, ibunya tidak bodoh. Ibunya adalah orang pintar. ”Semangat dari anak itulah yang terus menguatkan. Saat saya ingin mati, saya ingat siapa yang akan mengurusi tiga anak saya kalau saya mati,” katanya mengenang.
Belum sembuh benar dari impitan beban, Agustus 2023, usaha yang dibangun Ratna dan suaminya bangkrut. Orang mulai mengurangi jajan di luar. Pendapatannya drop. Cicilan ke bank tak terbayarkan.
”Saya dulu mengira krisis ekonomi ini hanya mitos. Ternyata saya rasakan sendiri, memang susah. Daya beli turun semua. Jualan jadi susah. Makanya bangkrut,” ujarnya.
Di satu sisi, job mengedit buku juga sepi. Penjualan buku pun demikian. ”Ekonomi saya benar-benar sulit. Semua barang dijual satu per satu hingga listrik sempat diputus sementara karena tidak bisa bayar tagihan,” kata Ratna sambil menghela napas.
Kini, Ratna mencoba bertahan di tengah impitan mentalnya. Ia berjuang lagi untuk membuka usaha kecil-kecilan. Menatap tahun 2024, ia pun tak ingin muluk-muluk. Setidaknya ia ingin bertahan hidup. Itu sudah cukup.
”Saya sebenarnya agak pesimistis dengan masa depan. Tapi, ya, saya tidak ingin merasa ringan atau berat. Saya ingin merasa biasa-biasa saja. Kalau kena hantam badai, ya biasa saja. Dapat kebahagiaan, ya biasa saja. Tidak berharap banyak. Jalani saja. Bertahan saja,” tuturnya.
Baca juga: Akal Jitu ”Emak” Sikapi Harga Pangan
Tidak hanya Ratna, Nila Lestari (27), warga asal Wajo, Sulawesi Selatan, juga merasa tahun 2023 cukup berat. Ia mengalami sakit perut menahun yang bisa membuatnya pingsan. Dokter puskesmas sebenarnya telah merujuknya ke RSUD Batara Guru di Belopa, Kabupaten Luwu.
Sayangnya, waktu tempuh rumah Nila ke kota tersebut sekitar 2 jam perjalanan. Ongkos sekali jalan naik angkutan umum ke sana juga hampir Rp 100.000. Padahal, dokter di kota tersebut menyarankan Nila kontrol 2-3 kali sebulan.
”Saya tidak ada motor, kadang angkutan juga tidak selalu ada. Bagaimana saya bisa kontrol dokter rutin? Jadinya, saat ini saya lebih sering menahan sakit di perut,” kata perempuan yang tinggal di Desa Tobarakka, Kecamatan Pitumpanua, itu.
Nila adalah ibu rumah tangga, sedangkan suaminya adalah kuli bangunan, yang tidak setiap hari mendapat pekerjaan. Mereka juga masih tinggal bersama orangtua.
”Saya hanya ingin tahun depan semoga saya bisa berobat dengan lancar dan sakitnya bisa sembuh. Kalau sudah sakit, semuanya akan terpengaruh. Kasihan anak-anak saya juga,” kata ibu dua anak tersebut (umur 1 tahun dan 7 tahun).
Baca juga: Bunuh Diri, Mitologi, dan Dunia Instan
Hingga kini, Nila bertahan dalam sakit tanpa tahu sakitnya apa. Ia hanya menduga, bisa jadi ini dampak saat masih berusia 20 tahun, Nila sempat minum racun karena mencoba bunuh diri.
”Dahulu semua persoalan rasanya menimpa saya. Keluarga, ekonomi, hidup begini-begini saja. Akhirnya sempat berpikir bunuh diri,” katanya. Untungnya, saat itu Nila masih terselamatkan.
Itu sebabnya, saat ini Nila merasa sakit yang dideritanya itu adalah buah dari apa yang dilakukannya dahulu. Ia mencoba menerima, tetapi itu tidak mudah. Setiap rasa sakit itu datang, ia akan pusing, mual, muntah, hingga pingsan.
”Yang menguatkan adalah diri sendiri. Saat periksa ke rumah sakit waktu itu, saya tahu sakit saya ini belum seberapa. Ada orang sakitnya lebih parah. Saya beruntung karena masih bisa tidur dan makan. Harapan saya tahun 2024 nanti saya bisa berobat dengan lancar dan sembuh,” tutur Nila.
Di tengah persoalan yang Nila dan Ratna hadapi, mereka tetap berupaya berjuang melewati 2023. Tahun depan, mereka berharap bisa lebih baik.
Seperti pesan Ratna: bertahan saja untuk hari ini. Esok hari, kembali berkata: Kemarin kamu bisa. Sekarang, bertahan lagi untuk hari ini, begitu seterusnya….
Disclaimer: Artikel ini tidak bertujuan untuk menginspirasi tindakan bunuh diri. Jika Anda pernah memikirkan atau merasakan tendensi bunuh diri, mengalami krisis emosional, atau mengenal orang-orang dalam kondisi tersebut, jangan ragu bercerita dan berkonsultasi kepada ahlinya.
Baca juga: Yuk, Ketawa demi Kesehatan Kita