Bunuh Diri, Mitologi, dan Dunia Instan
Belakangan, muncul rentetan kasus bunuh diri di Indonesia. Fenomena apakah ini?
Pekan lalu, ketenangan hidup di Malang, Jawa Timur, terkoyak. Seorang bapak yang berprofesi guru diduga mengajak istri dan seorang anaknya bunuh diri. Istri dan anak bungsunya tewas seusai menenggak cairan obat nyamuk. Sementara si bapak tewas setelah melukai dirinya.
Mereka meninggalkan anak sulungnya untuk menghadapi hidup di dunia, sebatang kara. Sang guru masih sempat berpesan kepada anaknya itu untuk menjaga diri, belajar yang baik, dan menurut kepada neneknya.
Diduga, motif bunuh diri keluarga di Malang ini adalah karena mereka terlilit utang. Polisi masih menyelidiki kepastiannya.
Belum usai orang bertanya-tanya tentang kenapa hal itu terjadi, datang kabar seorang perempuan muda, eks mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang (keluar tahun 2019), melompat dari lantai 12 kampus pada Kamis (14/12/2023). Ia terjatuh ke lantai empat dan tewas seketika.
Orang semakin bertanya-tanya, ada apa ini? Ada apa di Malang? Apakah kota pegunungan berhawa sejuk itu tak lagi memberikan kedamaian dan kenyamanan?
Baca juga: Sejumput Makanan dan Ketenangan Hidup Orang Osing
Rentetan kisah bunuh diri itu kembali mengingatkan pada kasus mengejutkan serupa di Kota Malang, pertengahan Maret 2007. Seorang ibu bunuh diri setelah meracuni empat anaknya terlebih dahulu. Si ibu tampak sudah mempersiapkan kematian mereka, yaitu dengan membuat surat wasiat dan menyiapkan baju kesayangan anak-anaknya, dan minta jenazahnya untuk dikremasi.
Kasus bunuh diri ibu dengan mengajak empat anaknya itu terkuak dari surat si ibu yang dibuat sebelum bunuh diri. Intinya, persoalan ekonomi yang memaksanya berbuat demikian. Ia merasa tidak lagi bisa membiayai kebutuhan anak-anaknya setelah usaha suaminya bangkrut.
Kini, 16 tahun berlalu, kasus bunuh diri serupa terulang di Malang.
Seperti hukum alam, selama ada kehidupan, maka akan ada juga kematian. Namun, kematian-kematian tadi boleh disebut ”dipaksakan” sebelum Sang Pemberi Kuasa memintanya.
Baca juga: Jejak Pemulihan Ekonomi Malang Usai Terpuruk
Mitologi
Di masa lalu, dalam mitologi Yunani, kisah-kisah bunuh diri telah banyak tercatat. Banyak pandangan atas tindakan mengakhiri hidup tersebut. Ada yang pro dan kontra.
Aristoteles adalah salah satu filsuf penentang bunuh diri. Menurut dia, bunuh diri adalah kejahatan terhadap diri sendiri dan negara serta tindakan pengecut dalam menghadapi kesulitan hidup.
Namun, dalam Laws, Plato mengatakan bahwa dalam kasus tertentu, seperti ketika seseorang menderita penyakit fatal atau kehormatan-reputasinya telah sangat terganggu, tindakan bunuh diri dapat dianggap benar dan bisa menghilangkan aib.
Sejarawan Perancis, Nicole Loraux, menyebut bunuh diri sebagai ”kematian tragis, yang dipilih oleh mereka yang terdesak oleh keinginan, diliputi oleh rasa sakit tak tertahankan dari penderitaan tak berkesudahan” (Tragic Ways of Killing a Woman, 1991).
Baca juga: Minggu Pagi di Kampung Jajanan Osing Kemiren
Pada Zaman Pencerahan, para pemikir besar pada masa itu, seperti Montesquieu dan Voltaire, bahkan mengasosiasikan bunuh diri dengan penyakit fisik dan mental, seperti ”kegilaan”, ”melankolis”, dan ”mania”.
Psikolog di Rumah Sakit Umum Sotiria, Yunani, Dionisios Bratis, dan teman-temannya dalam tulisannya berjudul ”Tindakan Bunuh Diri dalam Mitologi Yunani” (tahun 2016) merangkum beberapa kasus bunuh diri itu.
Kasus bunuh diri itu di antaranya Agravlos-Herse-Pandrosus: istri dan anak perempuan Kekrops, yang menurut salah satu versi mitos melompat dari Acropolis untuk melarikan diri dari Erectheous muda yang memiliki tubuh bagian bawah seperti ular. Menurut versi mitos yang lain, ketiga wanita tersebut melompat dari Acropolis untuk menyelamatkan kota Athena.
Atau, kisah Antigone, putri Oedipus dan Jocasta. Antigone menggantung dirinya sendiri setelah penguburan saudaranya, Polinus, yang dikutuk oleh Creon untuk dikubur hidup-hidup.
Juga, kasus Eurydice, istri Creon dan ibu dari Haemon. Ia menikam dirinya dengan pisau saat mengetahui Antigone dan putranya bunuh diri.
Baca juga: Desau Balabad dan Tayub Tengger
Tidak hanya kaum perempuan, kisah bunuh diri pada mitologi Yunani juga dialami pria, misalnya Megareus, putra Creon. Seperti pamannya, Menoeceus, Megareus melompat dari tembok Thebes untuk menyelamatkan kotanya dari pengepungan (Tujuh Melawan Thebes).
Atau, kisah Haemon, putra Creon. Setelah gagal membunuh keluarganya, ia mengarahkan pisaunya ke dirinya sendiri.
Ada pula kisah Broteas, putra Tantalus. Setelah dihukum oleh Artemis, Broteas menjadi gila hingga membuatnya berpikir bahwa dia sama sekali tidak mudah terbakar. Broteas pun melemparkan dirinya ke dalam api unggun. Dalam versi mitos yang lain, Broteas melemparkan dirinya ke dalam tumpukan kayu karena semua orang merasa jijik dengan keburukannya.
Dunia digital memungkinkan semua dicapai dengan instan. Mengatasi apa pun, semuanya instan. Seolah tinggal cari tahu di internet, lalu dinilai semua hal bisa diatasi. Tidak mau berproses. Itu akhirnya terbentuk manusia-manusia ’instan’.
Dari beberapa kisah di atas, dapat disimpulkan beberapa penyebab bunuh diri. Untuk perempuan, biasanya bunuh diri disebabkan oleh cinta, kerugian (atas kehilangan orang dekat), rasa malu-penghinaan. Sementara bunuh diri pada kaum pria dalam mitologi Yunani disebabkan oleh kehilangan, murka, kegilaan, pengorbanan, kematian heroik, dan rasa bersalah.
”Secara normatif, bunuh diri adalah kejahatan kepada diri sendiri. Apakah ada hak untuk bunuh diri dalam situasi ekstrem, masih menjadi perdebatan. Ini seperti kasus eutanasia,” kata Budhy Munawar Rahman, Direktur Paramadina Center for Religion and Philosophy (PCRP), Kamis (15/12/2023).
Baca juga: Cinta yang Menyatukan
Instan
Sosiolog Universitas Muhammadiyah Malang, Luluk Dwi Kumalasari, melihat bahwa maraknya kasus bunuh diri dan kekerasan di luar batas belakangan ini tidak jauh dari perkembangan ”dunia instan” digital dan peran serta media sosial (medsos).
”Dunia digital memungkinkan semua dicapai dengan instan. Mengatasi apa pun, semuanya instan. Seolah tinggal cari tahu di internet, lalu dinilai semua hal bisa diatasi. Tidak mau berproses. Itu akhirnya terbentuk manusia-manusia ’instan’,” kata Luluk.
Hal ini, menurut dia, diperparah oleh paparan medsos. Padahal, realitas di medsos, lanjutnya, adalah realitas semu atau hiperrealitas.
”Medsos tiap hari menunjukkan kehidupan yang wah, mewah, dan seolah semuanya baik. Tidak ada yang sepertinya tidak indah dan bagus. Yang diperlihatkan yang bagus-bagus. Padahal, ini hiperrealitas. Ini dibentuk oleh media untuk kepentingan kapitalisme. Dan banyak orang tidak sadar. Mereka berusaha keras memasuki dunia palsu yang dikira nyata,” kata Luluk.
Oleh karena terpapar gambaran indah di medsos setiap saat, maka, menurut Luluk, sebagian orang terbawa menjadi manusia-manusia instan yang harus memiliki segala keindahan ala medsos itu.
”Jika orangtuanya tidak bisa memberikannya, maka si anak menjadi sakit hati dan merasa jadi orang gagal dan seterusnya. Dan hal-hal lain. Akhirnya, solusi paling mudah dan cepat menghadapi kegagalan adalah bunuh diri. Dipikir semudah itu dan semua selesai. Padahal, tidak semudah itu,” tuturnya.
Baca juga: Makna Ornamen Natal, Kegembiraan Menyambut Kelahiran Sang Juru Selamat
Manusia-manusia instan ini jika harus menghadapi tekanan, beban hidup, dan kebutuhan lain yang mengimpit, kata Luluk, pada akhirnya akan mudah ”patah” dan memilih cara gampang untuk mengatasi semuanya, yaitu bunuh diri.
Merasa menjadi (satu-satunya) orang yang dianggapnya ”gagal” di tengah dunia yang serba baik dan indah (padahal sebenarnya palsu) tentu menjadi tekanan berat. Orang tidak mau hidup susah, tidak mau dilihat susah, dan seterusnya.
”Itu sebabnya, pendidikan sejak dini tentang hidup sangatlah penting. Terutama di keluarga. Sebab, keluarga adalah awal anak mengenal dirinya dan orang lain,” ujarnya.
Meski begitu, pendidikan di keluarga juga tidak mudah. Tantangannya adalah masih kuatnya budaya patriarki, dengan semua beban diserahkan kepada istri. Sementara suami tidak menyentuh ranah domestik keluarga. Akhirnya, semua beban berat ada di pundak istri. Kondisi itu sulit untuk mewujudkan idealisme pendidikan.
Pada akhirnya, rentetan kasus bunuh diri ini memaksa kita untuk kembali melihat diri dan sekitar. Apakah kita mau hidup tenang semampunya, atau menjadikan gemerlap medsos sebagai panutan.
Baca juga: Gaza, Mariah Carey, dan Tetirah Spiritual Lagu Natal