Penari membawakan Tarian Kolosal Kidung Tengger yang merupakan puncak dari Eksotika Bromo 2018 di Lautan Pasir Gunung Bromo di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (29/6/2018). Selain untuk menarik wisatawan, Eksotika Bromo yang menghadirkan sejumlah kesenian daerah diselenggarakan untuk menyambut Yadnya Kasada Suku Tengger.
Cinta pada ayah, ibu, saudara, dan generasi mendatang mendorong Kusuma berkorban. Ia terjun ke kawah Bromo untuk mencegah bencana bagi manusia. Petikan kisah lahirnya suku Tengger itu dipentaskan dalam Eksotika Bromo.
Sapamu menggelegar tanda berkahmu menyapa/Agar hutan menemukan kehijauannya/Agar makhluk tumbuh bahagia/Merayakan suka cita alam raya. Kini kau telah moksa, nyawiji (bersatu) bersama sang Brama/Di kicau burung, kuadukan pada rembulan/Di hati kecilku, kuadukan pada bintang/Agar manteraku nyawiji bahagia bersamamu….
Lamat-lamat kidung Tengger mengalun di antara desir angin dan kemepul debu lautan pasir Bromo, Jumat (29/6/2018) petang. Tiba-tiba sosok mungil berbaju hitam melesat menuju puncak gunung. Dengan satu lompatan, tubuhnya hilang ditelan kawah. Menyisakan sang ibu, Roro Anteng, dan ayah, Joko Seger, menangis.
Sosok berbaju hitam, Kusuma, adalah anak ke-25 dari Joko Seger-Roro Anteng. Ia memilih moksa (bersatu) dengan Sang Hyang Widhi Wasa, meninggalkan orangtua dan 24 saudaranya, agar gunung tak terus mengamuk sehingga kehidupan menjadi lebih baik.
Kisah pengorbanan Kusuma bukan sekadar ketaatan manusia kepada Sang Mahakuasa. Lebih dari itu, pilihan untuk moksa adalah karena cinta. Cinta pada keluarga dan pada generasi berikutnya.
Lewat cinta pula, Kusuma lahir ke dunia. Alkisah, jauh sebelum itu, Roro Anteng, putri Raja Brawijaya Kediri, harus meninggalkan kerajaan karena terjadi kekacauan. Dalam perjalanan mencari tempat aman, ia singgah ke beberapa tempat sebelum diangkat anak oleh Resi Dadap, pemuka masyarakat si wilayah Gunung Bromo.
Di tempat berbeda, Joko Seger, putra Brahmana, mengasingkan diri sambi mencari pamannya di dekat Gunung Bromo. Di sana ia bertemu Roro Anteng. Keduanya lalu menikah. Namun, sampai sewindu perkawinan berjalan, mereka belum diberi keturunan.
Keduanya bertapa selama enam tahun dan berjanji berkorban jika dikaruniai anak. Suatu ketika, keluar sinar dari puncak Gunung Bromo dan masuk ke tubuh keduanya. Bersamaan itu, terdengar pesan bahwa mereka akan mendapat anak hingga 25 orang. Anak terakhir harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo sebagaimana janji mereka.
Benar saja, Joko Seger-Roro Anteng dikaruniai 25 anak. Semula keduanya enggan mengorbankan anak bungsunya ke kawah Bromo. Namun, ke mana pun mereka menyembunyikan si bungsu, di sana muntahan lahar Bromo menjangkau. Akhirnya, Kusuma, si bungsu, memilih mengorbankan diri daripada keluarganya celaka.
Tari kolosal
Inilah awal mula kisah lahirnya suku Tengger dan perayaan Yadnya Kasada sebagaimana dikutip dari buku Warisan Geologi Bromo Mahameru (2015) karya Oki Oktariadi.
Kisah pengorbanan Kusuma disajikan seniman Heri ”Lentho” Prasetyo dalam pergelaran tari kolosal kidung Tengger bertajuk ”Nyawiji” dalam Eksotika Bromo 2018, Jumat (29/6), di lautan pasir Bromo, Kabupaten Probolinggo.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Para pemain mementaskan tari kolosal legenda Tengger, yaitu kisah cinta Joko Seger dan Roro Anteng, Jumat (29/6) di Lautan Pasir Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari pentas Eksotika Bromo 2018.
Menariknya, sebelum masuk pada inti cerita, sutradara Heri Lentho menampilkan tari topeng Gunungsari sebagai pembuka. Tari topeng Gunungsari merupakan salah satu kisah panji dari Malang. Menampilkan tari topeng Gunungsari di awal, Heri Lentho seakan ingin menyakralkan sebagai doa pembuka. Sebagai ungkapan terima kasih warga gunung atas berkah melimpah selama ini.
Lebih luas lagi, kisah Nyawiji membiaskan pesan kebangsaan dengan dibawanya kain merah dan putih sebagai bagian pertunjukan. Keberduaan dan persatuan anak manusia disimbolkan dengan bersatunya bendera merah dan putih.
”Konsep nilai dalam kehidupan adalah tentang kasih sayang. Ada kisah keberduaan. Di bumi Jawa ada Arok Dedes. Di sini ada Joko Seger-Roro Anteng. Ini seharusnya menguatkan kebangsaan kita. Inti semuanya adalah pesan kasih sayang dan kebersamaan,” kata Heri Lentho.
Pergelaran Eksotika Bromo 2018 dinikmati penonton dari luar daerah dan warga Tengger.
Pentas dibuka dengan penampilan kereta Ul Daul Lanceng Senopati Pamekasan. Berikutnya, digelar pentas seni dongkrek Madiun, reog Ponorogo, jaran slining Lumajang, tari topeng Gunungsari Tengger, dan puncaknya, tari kolosal legenda Tengger. Artis Olivia Zalianti tampil sebagai bintang tamu yang membacakan puisi legenda Tengger.
Pemerintah Probolinggo berharap pentas itu mampu mendongkrak kunjungan wisata di Bromo. Kunjungan wisata di Gunung Bromo terus naik sejak ada acara Eksotika Bromo. Tahun 2018 merupakan tahun kedua Eksotika Bromo.
”Tahun 2016 jumlah wisatawan Nusantara yang berkunjung ke Probolinggo 111.000 orang. Tahun 2017 naik jadi 138.000 wisatawan. Tahun 2018 kami menargetkan kunjungan 150.000 orang,” kata Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata, dan Budaya Kabupaten Probolinggo M Sidik Wijanarko.