Desau Balabad dan Tayub Tengger
Di perkotaan, tayub mungkin identik dengan seronok. Namun, di pegunungan Tengger, tayub adalah sukacita persaudaraan, dalam balutan adat budaya.
Pegunungan Tengger sore itu. Balabad berdesau di celah pepohonan pinus dan cemara. Seolah menari menunggangi laras gamelan Jawa, mencoba memecah beku di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Senin (05/06/2023). Balabad adalah kata arkais (kosakata yang mulai hilang) yang berarti angin gunung.
Saat petugas sedang menyiapkan tata suara pagelaran dan mencoba gamelan, maka Erni (38) dan Elok (38), dua waranggono (sinden/penari/tandak tayub) asal Kepanjen, Malang, sedang bersiap untuk dandan. Namun, saat itu mereka terlebih dahulu mencicipi sepiring mi kuah instan buatan krunya. Mereka membeli mi instan, memasaknya di dapur milik warga Tengger di sebelah balai desa, dan menikmatinya. Mi kuah panas di tengah hawa sejuk pegunungan. Hmm….
Baca juga: Merawat Keberagaman Melalui Tayub Tengger
”Bu, saya tadi beli mi dan masak. Tadi saya cari ibu tidak ada, ya, sudah saya langsung masak saja di dapur,” kata perempuan berhijab yang menjadi kru dua waranggono tadi. Ia berbicara dengan warga Tengger pemilik rumah, yang baru saja pulang ke rumah.
Rupanya dari pagi, si pemilik rumah sedang pergi. Si ibu pemilik rumah dengan ramah justru membukakan penanak nasi miliknya dan menawarkan kepada tamunya untuk mengambil nasi. Guyonan dua orang berbeda latar belakang itu makin akrab saat membahas soal cabai yang lokasi penyimpanannya sudah diketahui oleh kru tayub, hingga tuan rumah yang minta agar kebayanya diperbaiki oleh waranggono itu.
Setelah Erni dan Elok selesai dandan, mereka harus menjalani ritual pengawit, yaitu meminta izin pada sanggar padhanyangan (yang dijaga roh leluhur), sumber air, dan makam pendiri desa. Hadir dalam tradisi ini tandak (waranggono), pemuka desa, dan dukun. Di sana, selain warga mempersembahkan sesajian (sajen), waranggono akan menyanyi dan menari untuk para leluhur desa tersebut.
Petang mulai pekat. Balabad berayun, memecah senja. Prosesi berlanjut dengan pujan (berdoa) di rumah dukun. Intinya adalah disiapkan aneka sesajian, didoakan, dan kemudian dilanjutkan dengan makan bersama.
Baca juga: Cinta yang Menyatukan
Sambil menunggu ritual dilakukan, warga Desa Ngadas mulai berkerumun di dekat panggung pementasan. Tua-muda dan anak-anak dengan gembira menanti hiburan yang digelar di balai desa tersebut.
Tak lama, dua biduan muncul dan menari remo. Mereka mengenakan busana gagah dan riasan wajah ala pria. Tari remo adalah tarian yang menggambarkan seorang pangeran berperang dengan gagah berani.
Meski waranggono tidak tampil dengan busana seksi, antusiasme penonton tidak surut. Duo waranggono tersebut membius para penonton untuk menyaksikan hingga usai. Balabad berembus membawa kabut. Dinginnya teralihkan oleh renyah suara di atas panggung.
Satu per satu penonton naik ke panggung untuk nyawer. Nyawer-nya pun bukan dengan cara-cara erotis, tetapi dengan bersalaman. Baru kemudian, si penyawer membisikkan lagu pesanan untuk dinyanyikan oleh waranggono. Hebatnya, hampir semua lagu dilalap habis oleh duo asal Malang tersebut. Seusai nyawer, si penyawer ada yang langsung turun panggung, tetapi ada juga yang ikut menari dan menyanyi.
Baca juga: Kasada dan ”Hong Ulun Basuki Langgeng”, Menang atas Pandemi
”Tayub Tengger, ya, seperti ini. Tayub itu ditata ben guyub (ditata agar rukun),” kata Kepala Desa Ngadas Mujianto. Oleh karena tujuan tayub itu untuk bersuka cita dan merayakan kerukunan bersama-sama, menurut Mujianto, sudah seharusnya acara hiburan itu berlangsung tertib dan aman.
Menurut Mujianto, tayub Tengger bukan sekadar hiburan. Namun, juga menjaga mendekatkan diri kepada leluhur. Buktinya, setiap akan menggelar tayub, maka dukun, pemuka desa, dan waranggono harus ’sowan’ (menghadap) dan meminta izin terlebih dahulu kepada para leluhur, yaitu leluhur Tengger, sumber air, dan pembuka desa.
Mujianto menambahkan, tayub Tengger juga mengingatkan agar warga Tengger setia menjaga sumber air. ”Salah satu loaksi ritual pengawit atau minta izin sebelum tayub adalah di sumber air desa. Di sini, waranggono akan menyanyikan lagu berjudul penghijauan. Tujuannya adalah agar masyarakat mengerti tentang sumber air sehingga hutan di dekat sumber tidak digunduli agar air sumber tetap besar,” katanya.
Tayub itu ditata ’ben guyub’.
Warga Tengger, diakui Mujianto, sangat menjaga alam sekitar. Mereka memiliki keyakinan bahwa jika alam dijaga, alam pun akan menjaga mereka.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang, M Andhy Nurmansyah, mengatakan bahwa tayub menjadi lebih ’sopan’ di Ngadas karena melekat pada ritual adat. ”Dengan melekat pada ritual adat, maka masyarakat Tengger mengikutinya dan menjadi titi-luri dari generasi ke generasi,” kata Andhy. Titi-luri adalah kebiasaan warga Tengger yang mengikuti ajaran leluhur dari waktu ke waktu.
Menariknya, menurut Andhy, orang Tengger Ngadas kemudian meletakkan tayub sebagai bagian dari upacara Karo (hari raya Tengger), menggantikan tari Sodoran. Padahal, tari Sodoran selama ini merupakan tarian wajib dalam membuka upacara Karo. Tari sodoran adalah tarian sakral Tengger yang menggambarkan asal-usul manusia dari Sang Kuasa.
Adaptasi
Di Desa Ngadas, tayub sudah menggeser tari sodoran dalam peringatan Karo. Hal ini dinilai sebagai keberanian baru dari orang Tengger, dalam melakukan semacam hibridisasi adat budaya. Hibridisasi adalah membentuk ulang suatu hal menjadi hal baru, baik keseluruhan maupun sebagian.
”Bagi saya, cara mempreservasi atau melestarikan seni tradisi, seperti menempatkan tayub dalam acara Karo, adalah sebuah negosiasi yang cerdas di tengah kemajuan zaman yang terus mengglobal. Ini adalah bentuk adaptasi budaya agar tidak tergerus, bahkan hilang,” kata Andhy.
Disebut cerdas, karena, tayub ”menggeser” tari sodoran yang kaku dan penuh pakem tradisional di mana dimungkinkan tidak disukai atau sulit diikuti generasi penerus, di tengah dunia yang kian cepat.
”Tayub yang lebih terbuka dan disukai generasi muda, menjembatani antara adat tradisi yang kaku dan dunia global yang bergerak kian cepat sehingga anak-anak muda penerus bisa mengikuti tradisi tanpa kesulitan. Lain halnya jika warga Tengger tetap kaku pada pakem tari Sodoran pada acara-acara adat, misalnya, maka sangat dimungkinkan generasi penerus akan mulai meninggalkan tradisi karena dinilai terlalu ribet dan menyulitkan. Oleh karena itu, saya menyebut ini cerdas,” kata Andhy.
Baca juga: Sepotong Cerita dari Desa
Tayub sendiri, menurut Andy, berakar pada konsepsi spiritual terkait dengan kepercayaan terhadap Dewi Sri. Ia adalah dewi mitologi yang menguasai beras, makanan pokok orang Jawa.
Sebagai perwujudan religiusitas masyarakat Jawa, tari tayub merupakan ekspresi estetik persembahan para petani agar terbebas dari berbagai musibah. Sebab, Dewi Sri menyukai semua kesenian tradisional. Tari tayub dibawakan oleh penari wanita yang biasa disebut tandak atau waranggono, dan mereka menari berpasangan dengan pengibing (penari pria). Tarian ini dilakukan di sejumlah daerah Jawa. Di Jawa Timur, tarian ini dikenal di beberapa daerah, seperti Tuban, Nganjuk, Lamongan, Blitar, Kediri, Probolinggo, dan Jember.
Adapun Karo adalah hari raya orang Tengger. Pelaksanaannya jatuh pada bulan ke-2 kalender Tengger (bulan Karo). Acaranya mirip dengan perayaan Lebaran atau hari raya Idul Fitri, yang dirayakan umat Islam. Pada hari itu, orang Tengger saling berkunjung, baik ke rumah sanak saudara maupun tetangga, untuk memberikan ucapan selamat Karo dan bermaaf-maafan. Perayaan berlangsung selama 1-2 minggu. Selama waktu itu, ternak, seperti ayam, kambing, sapi, dan babi, disembelih untuk dinikmati. Bagi keluarga kurang mampu, pengadaan ternak dilakukan secara patungan.
Plural
Semua hal di atas membuat Tengger selalu menarik untuk dikaji. Seno Joko Suyono, pendiri Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2023, yang saat itu sebagai pengundang seni tayub Tengger, mengatakan bahwa Desa Ngadas menarik untuk dilihat sebagai salah satu permukiman Tengger.
”Kami melihat situasinya masih komunal karena industri pariwisatanya masih belum sebesar di daerah Tengger tempat lain (Pasuruan dan Probolinggo). Di sini, hotel swasta belum ada. Jadinya kami tidur di rumah penduduk. Dan terpenting, pluralisme di sini sangat bagus,” kata Seno.
Di Desa Ngadas, pura dan wihara dibangun berdampingan tanpa saling mengalahkan. Hubungan antarmasyarakat juga sangat guyub. Misalnya, dalam satu keluarga anggotanya menganut agama berbeda-beda, tidak jadi persoalan. Pluralitas agama tersebut, misalnya, terlihat dari pemakaman umum di sana. Ada beberapa makam bentuk/coraknya sama, tetapi posisinya menghadap arah yang berbeda-beda. Dalam salah satu materi workshop BWCF 2023, diketahui bahwa arah makam berbeda-beda sesuai agamanya.
”Dari desa kecil Ngadas ini, kita bisa belajar keragaman di Indonesia. Tidak usah ke mana-mana. Ini yang harus terus dijaga,” kata Seno.
Lalu, siapa sebenarnya orang Tengger? Berdasarkan bukti arkeologis, masyarakat Tengger disebutkan sudah ada jauh sebelum Majapahit. Beberapa jejaknya ditemukan, misalnya, dalam prasasti Lingga Sutan tahun 929 Masehi (M). Isinya menetapkan Desa Lingga Sutan sebagai wilayah Rakriyan Hujung dan hasil pertanian di sana dipersembahkan untuk Bhathara I-Walandhit. Pemujaannya dilakukan setahun sekali.
Berikutnya, ada prasasti Muncang dengan angka tahun 944 Masehi atau zaman Raja Empu Sindok. Prasasti ini menyebutkan ditetapkannya sebidang tanah di selatan pasar Desa Muncang sebagai tanah perdikan. Hasil bumi tanah perdikan digunakan untuk membangun Prasada Kabhaktyan Siddhayoga, yaitu bangunan suci untuk peribadatan harian bagi Bhathara Sang Hyang Swayambhwa (Dewa Brahma) yang bersemayam di Walandhit.
Baca juga: Menentukan Strategi Memotret Yadnya Kasada Suku Tengger
Satu lagi, prasasti Pananjakan, tahun 1405. Prasasti itu menyebutkan larangan untuk menarik pajak pada bulan titi leman atau akhir bulan pada bulan Asada. Larangan itu berlaku untuk lima desa, yaitu Desa Walandhit, Mamanggis, Lili, Jebing, dan Kacaba. Pajak terlarang ditarik pada saat itu karena warga desa tengah memuja gunung keramat nan mulia, Gunung Brama.
Dari prasasti-prasasti di atas terlihat ada keterkaitan, yaitu adanya upacara pemujaan kepada Bhathara I-Walandhit atau Bhathara Sang Hyang Swayambhwa. Dan pada Prasasti Penanjakan akhirnya semakin jelas bahwa dewa-dewa yang dipuja adalah dewa gunung api Brama. Artinya, terlihat bahwa sejarah Tengger-Bromo muncul jauh sebelum masa akhir Majapahit dan sudah tercatat sejak era Empu Sindok.
Empu Prapanca, seorang pujangga kenamaan dari kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nagarakertagama menyebut bahwa Walandhit adalah nama sebuah tempat suci yang sangat dihormati oleh Kerajaan Majapahit. Di tempat ini bermukim kelompok masyarakat yang beragama Buddha dan Saiwa. Kemungkinan besar Walandhit pada waktu itu merupakan salah satu mandala yang dipimpin oleh seorang dewaguru.
Mandala adalah tempat tinggal pendeta di hutan atau di tempat yang sangat jauh dari keramaian, yang biasanya disebut wanasrama (asrama di tengah hutan). Tempat seperti ini mungkin juga dihuni oleh para resi atau kaum pertapa yang hidup mengasingkan diri. Orang Walandhit, di kemudian hari, menurut sejarawan Universitas Negeri Jember, Ayu Sutarto (alm.), disebut orang Tengger.
Apa pun asal usulnya, dari gambaran di atas terlihat bahwa orang Tengger adalah masyarakat adaptif, terbuka, mencintai adat budaya, pluralis, dan cerdas. Hantaman balabad dari waktu ke waktu tak menggerus hal-hal positif itu. Bangsa ini harus belajar banyak dari desa kecil di ketinggian 2.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) di kawasan Bromo Tengger Semeru itu.
Baca juga: Tradisi Mayu, Mantra Damai Warga Tengger