Kekuatan Otak Manusia Turun akibat Pandemi Covid-19
Pembatasan sosial selama pandemi Covid-19 berdampak pada penurunan fungsi otak manusia, baik yang terinfeksi maupun tidak.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 sudah dinyatakan usai. Namun, dampaknya pada kesehatan, terutama kesehatan mental, masih terus berlanjut. Nyatanya, pandemi Covid-19, baik pada mereka yang terinfeksi virus Covid-19 maupun tidak, menurunkan kekuatan otak manusia, khususnya mereka yang berumur lebih dari 50 tahun.
Penurunan kekuatan otak itu terlihat dari berkurangnya berbagai fungsi kognitif otak, mulai dari kemampuan penalaran hingga kekuatan memori. Penurunan fungsi otak ini biasanya terjadi di usia lanjut seiring menurunnya berbagai fungsi organ tubuh. Namun, pandemi Covid-19 mempercepat terjadinya penurunan fungsi otak itu.
Menurunnya fungsi otak itu akan mempercepat dan meningkatkan risiko terjadinya demensia yang mengganggu kemampuan berpikir, bersosialisasi, hingga aktivitas sehari-hari. Demensia atau pikun biasanya terjadi pada usia lanjut, di atas 60 tahun. Namun, penurunan fungsi otak itu membuat demensia bisa terjadi pada usia yang lebih muda.
Dampak pandemi Covid-19 pada otak itu merupakan hasil studi Protect di Inggris yang dipimpin Dorina Cadar dan dipublikasikan di jurnal The Lancet Healthy Longevity, November 2023. Studi dilakukan terhadap 3.000 responden yang mengikuti tes dan mengisi kuesioner untuk mengukur perubahan memori dan kemampuan otak lain selama pandemi.
Karantina atau penguncian wilayah dan pembatasan aktivitas masyarakat lainnya yang berlangsung selama pandemi Covid-19 memiliki dampak nyata dan bertahan lama pada kesehatan otak masyarakat.
Penurunan fungsi otak tercepat terjadi pada tahun pertama pandemi atau 2020. Pada saat itu, pembatasan aktivitas sosial masyarakat dan penguncian wilayah berlangsung di mana-mana. Situasi itu membuat banyak orang mengalami sejumlah masalah kesehatan mental, mulai dari stres, kesepian, hingga penyalahgunaan alkohol yang justru mempercepat penurunan fungsi otak.
”Usaha untuk mengatasi ketakutan, kekhawatiran, dan ketidakpastian akibat Covid-19 serta terganggunya rutinitas masyarakat memiliki dampak yang nyata dan abadi pada kesehatan otak,” tulis tim peneliti seperti dikutip dari BBC, Kamis (2/11/2023).
Dampak penurunan fungsi otak itu terus berlanjut hingga tahun kedua pandemi meski kecepatan penurunan fungsi otaknya tidak sebesar tahun awal pandemi. Sedihnya, mereka yang sudah memiliki masalah memori ringan sebelum pandemi, maka pandemi makin memperburuk kondisi kesehatan otak mereka.
Berdasarkan hasil studi tersebut, profesor bidang demensia dari Universitas Exeter Inggris, Anne Corbett, mengatakan, karantina atau penguncian wilayah dan pembatasan aktivitas masyarakat lainnya yang berlangsung selama pandemi Covid-19 memiliki dampak nyata dan bertahan lama pada kesehatan otak masyarakat, khususnya yang berumur lebih dari 50 tahun. Bahkan, dampak itu masih terasa meski pembatasan wilayah sudah berakhir.
Situasi itu menimbulkan pertanyaan lanjutan, apakah mereka yang memiliki risiko tinggi mengalami penurunan kognitif selama pandemi akan lebih rentan menderita demensia di masa depan. ”Penting untuk memastikan dukungan bagi orang-orang yang mengalami penurunan kognitif lebih dini hingga mengurangi risiko mereka mengalami demensia di kemudian hari,” katanya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 15 Maret 2023 menyebut, ada 55 juta orang di seluruh dunia yang mengalami demensia. Sebanyak 60 persen dari orang yang mengalami kepikunan itu tinggal di negara dengan pendapatan menengah dan rendah. Setiap tahun, jumlah penderita demensia ini bertambah 10 juta orang.
Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan pada 2023 memperkirakan, ada 4,2 juta orang mengalami demensia. Sementara data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menunjukkan, jumlah penderita demensia dan alzheimer yang menggunakan layanan BPJS Kesehatan naik dari 5.583 kasus pada 2019 menjadi 10.414 kasus pada 2022 atau naik 87 persen.
Perempuan lebih berpotensi mengalami demensia dibandingkan laki-laki. Usia harapan hidup yang lebih panjang juga membuat perempuan mengalami hari-hari dengan disabilitas akibat demensia lebih panjang. Namun, perempuan juga menjadi perawat terbesar bagi orang lain yang hidup dengan demensia.
Demensia menjadi penyebab kematian ketujuh dan salah satu penyebab utama kecacatan dan ketergantungan lansia di seluruh dunia. Pada 2019, kerugian ekonomi akibat demensia mencapai 1,3 triliun dollar AS atau sekitar Rp 20.600 triliun. Separuh dari beban ekonomi akibat demensia itu berasal dari biaya perawatan oleh pengasuh informal, baik keluarga maupun teman dekat, dengan rata-rata pengasuhan dan perawatan selama lima jam per hari.
Sementara Cadar yang memimpin studi dan ahli demensia dari Sekolah Kedokteran Brighton and Sussex Inggris menambahkan bahwa dampak pandemi telah menjadi ”bencana besar” bagi populasi umum. ”Banyak konsekuensi jangka panjang akibat pandemi Covid-19 dan pembatasan yang dilakukan di seluruh dunia, belum diketahui pasti,” katanya.
Karena itu, butuh lebih banyak studi untuk mengetahui dampak Covid-19 terutama bagi kesehatan mental masyarakat. Meski riset ini tidak menjelaskan hubungan sebab akibat antara pandemi Covid-19 dan kesehatan mental masyarakat, banyak bukti yang menunjukkan isolasi sosial berdampak negatif bagi kesehatan otak.
Susan Mitchell dari Alzheimer’s Research Inggris yang tidak terlibat dalam penelitian menambahkan, ”Meskipun kondisi genetika memainkan peran penting dalam kesehatan otak manusia seiring bertambahnya usia, berbagai faktor kesehatan dan gaya hidup seseorang bisa memengaruhi kesehatan otaknya.”
Sayangnya, belum ada cara pasti untuk bisa mencegah dan mengobati demensia hingga kini. Namun, merawat otak bisa meningkatkan peluang untuk mencegah peluang terjadinya demensia. ”Tidak ada kata terlalu awal atau terlambat untuk mulai menerapkan kebiasaan sehat, termasuk menjaga kesehatan jantung, tetap terhubung secara sosial dan menjaga fokus.”