Keberagaman Pangan Lokal untuk Menghadapi Perubahan Iklim
Keberagaman sumber pangan tradisional masyarakat Nusa Tenggara Timur memiliki daya tahan yang baik terhadap kekeringan sehingga berpotensi untuk mendukung adaptasi perubahan iklim.
Oleh
AHMAD ARIF, Frans Pati Herin
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketergantungan pada beras dan pangan olahan yang didatangkan dari luar pulau selain memperburuk kesehatan juga melemahkan daya tahan masyarakat Nusa Tenggara Timur menghadapi perubahan iklim. Sejumlah sumber pangan tradisional masyarakat di kawasan beriklim semiarid ini terbukti memiliki daya tahan yang baik terhadap kekeringan, tetapi saat ini banyak yang ditinggalkan.
Semiloka tentang pangan di Labuan Bajo, Manggarai Barat, pada Senin hingga Rabu (14-16/8/2023) menekankan urgensi transformasi sistem pangan di NTT. Semiloka ini diselenggarakan sejumlah lembaga, di antaranya VCA, Koalisi Panganbaik, KRKP, Koalisi FOLU, dan WRI Indonesia, diikuti para pemangku kepentingan, baik unsur pemerintahan, swasta, maupun masyarakat. Diskusi juga mengundang perwakilan Badan Pangan Nasional (Bapanas) serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Para peserta semiloka menyebutkan, kerentanan pangan di NTT dipicu oleh pergeseran pola konsumsi yang didominasi oleh beras dan gandum, yang tidak bisa diproduksi sendiri. Padahal, masyarakat NTT di masa lalu telah membudidayakan keberagaman sumber pangan yang sebagian di antaranya tahan kekeringan seperti sorgum dan jewawut.
Kami di Keuskupan Ruteng mendorong hal ini di antaranya dengan mengembangkan budidaya dan konsumsi sorgum.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, yang memfasilitasi semiloka ini, mengatakan, kembali ke ragam pangan lokal adalah upaya untuk beradaptasi pada perubahan iklim. Secara tradisional, masyarakat NTT telah memiliki pengetahuan untuk mengolah beragam sumber pangan yang tahan kekeringan.
”Ini seharusnya bisa menjadi modal penting untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin sering mengacaukan cuaca,” katanya, Kamis (17/8/2023).
Dia mencontohkan, dalam tiga tahun terakhir, panen jagung masyarakat di NTT banyak mengalami kegagalan karena hujan berlebih. Periode hujan yang panjang juga menyebabkan siklus hidup belalang kembara lebih panjang, menyebabkan kegagalan panen tanaman pangan biji-bijian, seperti padi dan jagung di Sumba Timur. Namun, tanaman umbi-umbian hutan sejenis dioscorea masih bisa bertahan.
Liz Yani Tararubi, pemilik Dapur Tara-Manggarai yang turut dalam semiloka, mengatakan, masyarakat NTT juga memiliki cadangan pangan berupa umbi-umbian di hutan yang terbukti bisa bertahan dalam kondisi kekeringan. ”Umbi-umbian hutan ini sekarang sudah banyak ditinggalkan. Banyak anak tidak mengenali lagi, apalagi mengonsumsinya, dan lebih sering mengonsumsi mi instan dan biskuit,” kata Liz, yang menyajikan menu-menu lokal dalam Dapur Tara.
Para peserta juga menyoroti tingginya kasus tengkes (stunting) dan gizi buruk di NTT yang dinilai meningkat karena pergeseran sistem pangan di kawasan ini yang bergantung pada beras. ”Para peserta banyak menyampaikan dampak buruk pergeseran budaya pangan, yang dulu didasarkan pada keberagaman pola konsumsi menjadi semakin seragam pada beras,” katanya.
Dalam semiloka, sejumlah peserta menyebutkan tentang krisis harga beras yang berulang di NTT dan semakin seringnya gagal panen terkait perubahan iklim, terutama dalam tiga tahun terakhir. Hal ini menunjukkan kerentanan sistem pangan di kepulauan ini.
Di sisi lain, banyak petani yang menjual hasil bumi, seperti jagung dengan harga murah, untuk kemudian dibelikan beras putih dengan harga yang jauh lebih mahal. Di pasar, harga jual jagung hanya Rp 5.000 per kilogram, sementara beras putih mencapai Rp 12.000 hingga Rp 15.000 per kg.
Kondisi ini menyebabkan sumber daya ekonomi petani tersedot untuk memenuhi karbohidrat yang kualitasnya tidak lebih baik. Apalagi, belakangan konsumsi terigu juga semakin menguat, khususnya mi instan dan roti.
Transformasi budaya pangan
Romo Inosensius Sutam, budayawan pangan dari Keuskupan Ruteng, yang menjadi salah satu pembicara dalam semiloka, mengatakan, politik pangan sejak zaman kolonial Belanda yang berlanjut di era Orde Baru telah menjadikan beras seolah sebagai sumber pangan lebih utama dibandingkan ragam pangan lokal. ”Ada persepsi keliru di masyarakat, pangan seolah harus beras dan yang mengonsumsi pangan lokal dianggap miskin,” katanya.
Menurut Inosensius, untuk mendorong keberagaman pola konsumsi pangan lokal dibutuhkan perubahan persepsi masyarakat. ”Masyarakat harus disadarkan bahwa pangan lokal yang mereka tidak kalah, bahkan lebih baik dari pangan yang datang dari luar. Kami di Keuskupan Ruteng mendorong hal ini di antaranya dengan mengembangkan budidaya dan konsumsi sorgum,” katanya.
Said mengatakan, beberapa rekomendasi dari semiloka di antaranya mendorong transformasi sistem pangan di NTT yang berbasis kearifan lokal, baik dalam hal produksi, distribusi, pengolahan dan konsumsi, termasuk praktik penggunaan benih lokal. ”Kami juga mendorong sistem pangan yang mampu melestarikan potensi dan budaya pangan lokal,” katanya.
Beberapa strategi yang direkomendasikan agar sistem pangan di NTT berbasis budaya lokal di antaranya dengan pendidikan tentang budaya pangan sebagai upaya penyadaran bagi semua kelompok masyarakat, terutama anak-anak dan remaja. Selain itu, dibutuhkan peningkatan kapasitas mulai dari hal teknis produksi, distribusi, pengolahan penyimpanan, dan konsumsi.
Untuk mendukung transformasi ini, menurut Said, perlu dilakukan pemetaan potensi pangan yang dilakukan secara berjenjang dari tingkat desa, kabupaten, dan antarkabupaten. ”Perlu membangun visi penguatan sistem pangan berbasis budaya mulai dari tingkat desa, kabupaten, sampai antarkabupaten dan mengembangkan sistem informasi yang memungkinkan terjadinya penyebarluasan budaya pangan lokal,” katanya.