Melirik Lagi Pangan Lokal Nusa Tenggara Timur di Masa Sulit
Sejumlah pangan lokal yang selama ini jarang dilirik masyarakat pedesaan di beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Timur, kini, kembali dilirik. Hal ini terjadi seiring musim kemarau yang datang saat pandemi Covid-19.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·5 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA.
Ny Marta Suek (56) sedang menjemus tepung putak atau tepung sagu di tepi jalan Timor Raya, di Oelamasi, Kabupaten Kupang, Minggu (11/10/2020). Tepung putak dijual dengan harga Rp 25.000 per kg, sementara batang putak Rp 10.000 per potong, 3 kg. Kompas/Kornelis Kewa Ama.
Memasuki musim kemarau di masa pandemi Covid-19, pangan lokal mulai banyak dilirik masyarakat Nusa Tenggara Timur. Pangan berbahan lokal ini menjadi alternatif pangan yang murah, tetapi tetap bergizi, dan mudah didapatkan ketimbang beras.
Ny Marta Suek (56) menunggui dagangan “putak” di sisi jalan raya Timor Raya, di Oelamasi, Kabupaten Kupang, Minggu (12/10/2020). Putak, yang diolah dari batang pohon gewang (sejenis pohon aren) kini makin banyak dibeli untuk konsumsi warga. Padahal, biasanya, putak digunakan untuk pakan ternak seperti sapi, babi, ayam, dan kambing.
“Kalau dulu satu batang putak laku dijual sampai dua bulan, sejak September 2020, dalam dua pekan, putak sudah habis dibeli. Warga membeli dalam bentuk tepung dan potongan putak yang sudah dibelah. Sekarang putak cukup laris," ungkap Marta.
Tepung putak dijual dengan harga Rp 25.000 per kilogram (kg). Adapun dalam bentuk potongan, masing-masing 3 kilogram, dijual Rp 10.000 per potong.
Satu karung putak, ukuran 50 kg dijual dengan harga Rp 100.000. Inilah putak yang dijual Martha Suek di Oelamasi, Kupang, Minggu (11/10/2020). Kompas/Kornelis Kewa Ama.
Putak adalah sejenis sagu di Nusa Tenggara Timur, seperti di Papua dan Maluku. Bedanya, putak diambil dari batang pohon gewang (sejenis pohon aren), yang memiliki sari pati, yang juga hampir sama dengan batang pohon sagu. Putak tumbuh secara alami di pulau Timor, Sumba, Rote, Alor, Lembata, dan Flores. Di Flores dan Sumba, putak dimanfaatkan daunnya sebagai tali. Sementara batang putak tidak dikonsumsi.
Menurut Martha Suek, satu batang putak bisa menghasilkan 200 kg tepung putak atau sagu. Mendapatkan sari putak sama dengan memroses sagu. Pertama-tama, batang putak diiris, kemudian ditumbuk atau digiling dengan mesin untuk menghasilkan sari putak, sedangkan duri-duri halus dan kasar dibuang. Sari putak atau sagu bisa dimanfaatkan untuk bubur putak atau papeda, kue, dan dicampur nasi maupun jagung.
Putak diambil dari batang pohon gewang (sejenis pohon aren), yang memiliki sari pati, yang juga hampir sama dengan batang pohon sagu.
Biji asam
Selain putak, makanan lokal lain yang mulai dilirik pada puncak kemarau ini, yakni biji asam. Ketua RT 01/07 Desa Sei, Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan Aleks Natonis mengatakan, sebagian besar warga Kolbano saat ini bergantung pada daging buah dan biji asam. Daging buah asam dijual dengan harga Rp 25.000 per kg, sedangkan biji asamnya dikonsumsi.
Cara mengonsumsi biji asam, yakni daging asam dipisahkan, bijinya dijemur, digoreng, kemudian disosoh atau ditumbuk untuk mengeluarkan kulit luar yang keras guna mendapatkan biji bagian dalam berwarna putih. Biji ini direndam beberapa jam, kemudian setelah empuk dapat dikonsumsi.
“Pangan lokal berupa biji asam jauh lebih mudah diproses dibanding putak. Lagi pula dari sisi ketahanan rasa lapar, biji asam jauh lebih bertahan, dibanding mengonsumsi putak. Biji asam dikonsumsi sambil minum kopi pada pagi hari, orang bisa bertahan sampai sore hari,” kata Aleks Natonis.
Joao Soares (65) (baju hitam) dan keluarga warga eks Timor Timur, di Desa Tulakadi Kecamatan Tasifeto Timur, Belu, NTT sedang mencungkil daging asam dan bijinya disimpan untuk musim paceklik, Rabu (12/2/2020). Kompas/Kornelis Kewa Ama.
Konsumsi biji asam ini biasanya dilakukan pada puncak kemarau seperti sekarang. Kebiasaan ini sudah cukup lama berlangsung. Bukan karena kelaparan, tetapi masyarakat memang senang mengonsumsi biji asam dengan alasan tidak mudah merasa lapar. Bagi sebagian orang, biji asam ini disimpan sejak musim buah asam tiba, kemudian dimanfaatkan pada musim paceklik.
Siprianus Mado (60) warga Desa Mewet, Kecamatan Wotan Ulumado, Adonara, Flores Timur mengatakan, sejumlah umbi hutan di wilayah itu mulai dilirik masyarakat seperti gembili atau dalam bahasa lokal disebut "hura", gembolo atau "kebonge", gadung atau "ketie", porang atau “kebula”, serta keladi.
Umbi-umbian ini sejak tahun 1990-an jarang dikonsumsi masyarakat. Namun, kini mulai dibudidaya lagi. Pangan lokal jenis ini ditinggalkan masyarakat sejak pemerintah mengumumkan swasembada beras tahun 1990-an.
Ia mengatakan, sebagian dari umbi-umbian itu sudah punah atau tidak ditemukan lagi di hutan. Masyarakat kini berburu berbagai jenis umbi-umbian ini untuk dibudidayakan kembali agar tidak punah. Bukan sekadar dikonsumsi, tetapi untuk memperkenalkan kepada generasi yang akan datang mengenai keanekaragaman pangan lokal NTT.
Ubi hutan, gembili atau dalam bahasa daerah Adonara disebut "hura", salah satu pangan lokal yang sudah jarang dibudidayakan. Ubi ini masih dijual di pasar Naikoten Kupang, Minggu (11/10/2020). Kini, sebagian masyarakat di Adonara, Flores Timur, mulai mengembangkan tanaman lokal ini. Kompas/Kornelis Kewa Ama.
Pengaruh pandemi
Siprianus yang juga mantan aparat desa Mewet ini mengatakan, pandemi Covid-19 mendorong harga sebagian bahan pokok di pasar terus beranjak naik. Masyarakat terutama kaum tani di Adonara khawatir dan mulai membudidayakan setiap pangan lokal yang dapat dikonsumsi.
“Sebelum pandemi Covid-19, kami masih memilih menjadi peserta TKI di Malaysia untuk mencari makan di sana. Sekarang, Malaysia sudah tolak warga pendatang. Kami terpaksa bertahan di kampung, mengelola sumber daya yang ada untuk hidup,” katanya.
Pangan lokal jenis ini ditinggalkan masyarakat sejak pemerintah mengumumkan swasembada beras tahun 1990-an.
Di sisi lain, harga sebagian komoditas perkebunan juga turun. Kondisi ini membuat kebanyakan petani resah dan enggan mengupayakan komoditas perkebunan seperti kopi, kemiri, cengkeh, pala, dan buah-buahan.
Sementara harga bahan pangan lokal lain seperti singkong dan ubi jalar di pasar-pasar tradisional di Kota Kupang terus naik sejak pandemi Covid-19. Singkong dan ubi jalar misalnya, kini dihargai Rp 20.000–Rp 25.000 per kg. Padahal, biasanya tidak sampai Rp 15.000 per kg.
Jagung "katemak", makanan khas Timor, selain jagung "bose". Jagung katemak ini terdiri dari biji jagung, sayur-sayur, dan bumbu dapur, terkadang dimasukan langsung dengan daging, kalau ada. Inilah salah satu makanan favorit warga pengungsi Besipae, Timor Tengah Selatan, Senin (7/9/2020). Kompas/Kornelis Kewa Ama.
Direktur Yayasan Lingkar Insani Maria Toge NTT mengatakan, sejak pandemi Covid-19 menimpa NTT, belum ada kebijakan Pemda secara khusus mengintervensi dampaknya. Seluruh bantuan, seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan BLT dana desa turun dari pusat. Pemda belum memiliki satu program khusus mengatasi dampak pandemi bagi masyarakat.
“Lihat saja usaha mikro, kecil, dan menengah di NTT, sebagian besar gulung tikar. Kalau bertahan pun, berada ke titik nadir. Belum ada yang peduli dengan kondisi ini, kecuali program Pemprov tanam jagung panen sapi, artinya tanam jagung, sampah jagung untuk pakan sapi. Tetapi program itu diluncurkan pada musim kemarau sehingga sebagian besar gagal,” kata Maria.
Kepala Badan Penanggulangan Daerah NTT Thomas Bangke mengatakan, belum mendapat laporan mengenai kasus rawan pangan di daerah. Hanya ada laporan bencana kekeringan di sebagian besar kabupaten/kota di NTT, tetapi kasus itu terjadi hampir setiap memasuki puncak kemarau.
“Pemprov ada beras cadangan 100 ton. Begitu pula di setiap kabupaten/kota ada beras cadangan. Kalau ada laporan resmi tentang rawan pangan di wilayah tertentu, akan ada bantuan pangan. Soal konsumsi pangan lokal, itu sudah terbiasa di kalangan masyarakat pedesaan karena memang pangan lokal itu makanan pokok warga seperti jagung dan umbi-umbian,” katanya.
Beras Bulog dijual di pasar murah oleh Bulog NTT, untuk menegakan harga beras yang terus menanjak. Beras ini dijual dengan harga Rp 11.000 per kg, relatif lebih murah dibanding beras di tangan pedagang. Kompas/Kornelis Kewa Ama.