Kesehatan Mental Gen Z Tidak Bisa Dibentuk dengan Cara ”Baby Boomer”
Beda generasi, beda pula cara mendidiknya. Karena itu, orangtua tidak bisa lagi mewariskan pola asuh dari generasi sebelumnya agar generasi penerus bangsa memiliki jiwa lebih sehat.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan teknologi turut memengaruhi perkembangan kesehatan jiwa manusia, terutama pada generasi Z. Mereka yang lebih melek teknologi akan menerima informasi dan perubahan begitu cepat sehingga mesti memikirkan masa depan dengan penuh ketidakpastian.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Eunike Sri Tyas Suci, menyebutkan, masa anak-anak beranjak remaja adalah masa keemasan dalam proses tumbuh kembang kejiwaan anak. Oleh karena itu, kontrol dari orang terdekat, khususnya orangtua, untuk membentuk mental yang sehat menjadi sangat penting.
”Curhat bisa jadi pintu gerbang pertama. Ketika anak punya teman curhat yang mendengarkan, dia akan merasa nyaman. Jadi, masa tumbuh kembang itu masa transisi yang perlu mendapat perhatian kita agar lebih sensitif pada masalah remaja,” kata Eunike dalam Kompas Editor's Talks bertajuk ”Memaknai Kesehatan Mental, Memberdayakan Kehidupan di Era Digital”, di Jakarta, Jumat (11/8/2023).
Curhat bisa jadi pintu gerbang pertama, ketika anak punya teman curhat yang mendengarkan dia akan merasa nyaman.
Sementara psikolog di Universitas Indonesia, Nani Nurrachman Sutojo, mengutarakan, masalah hidup yang dihadapi anak muda saat ini berbeda dengan masalah masa muda para generasi baby boomer. Orangtua yang tak beradaptasi akan kesulitan mendidik anaknya dengan gaya sama ketika mereka diasuh generasi sebelumnya.
Persoalannya, tidak ada ”sekolah” atau panduan yang tersistem dengan baik untuk menjadi orangtua melek perkembangan zaman. Oleh karena itu, intervensi pemerintah sangat penting dalam membentuk generasi yang sehat secara mental untuk menghadapi tantangan hidup ke depan.
”Masalah remaja tidak hanya soal multitasking, tetapi sudah memikirkan masalah sekaligus atau multithinking. Dalam kecepatan informasi ini, di manakah panduan yang bisa dipakai remaja sekarang. Sudah waktunya pemerintah memberikan perhatian sangat serius pada kesehatan jiwa secara umum,” kata Nani.
Menurut dia, penanganan kesehatan jiwa ke depan tidak bisa lagi hanya menggunakan pendekatan medis, melainkan lebih mengutamakan pendekatan psikososial dan budaya. Dengan begitu, masalah kesehatan jiwa bisa diatasi secara menyeluruh.
Head of Into The Light Indonesia Ida Ayu Prasasti berpendapat, teman curhat ini juga sangat penting mencegah niat bunuh diri pada remaja dengan masalah kesehatan jiwa. Dengan paparan media sosial, anak muda akan mudah terguncang, misalnya ketika melihat kehidupan teman yang menurutnya lebih baik darinya.
”Saat itu mereka mungkin tidak punya kapasitas yang baik untuk mengolah emosinya yang lama kelamaan menjadi faktor risiko bagi seseorang melakukan tindakan bunuh diri,” ujarnya.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak muda berusia 10-19 tahun mengalami gangguan kesehatan jiwa secara global. Bunuh diri disebut penyebab kematian keempat bagi penduduk 15-29 tahun.
Survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang rilis pada 2022 mencatat satu dari tiga remaja Indonesia (10-17 tahun) memiliki masalah kesehatan mental. Satu dari 20 remaja memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
Sementara itu, akses masyarakat untuk mendapatakan layanan kesehatan jiwa belum merata. Data Ikatan Psikolog Klinis Indonesia mencatat, rasio dan sebaran tenaga kesehatan jiwa di Indonesia masih jauh dari harapan. Saat ini diperkirakan di Indonesia terdapat 987 psikiater, 7.000 perawat jiwa, dan 3.349 psikolog klinis.
Dengan demikian, seorang psikiater melayani 273.154 penduduk, seorang perawat jiwa melayani 38.515 penduduk, dan seorang psikolog klinis melayani 81.287 penduduk. Angka ini jauh dari ideal dan persebarannya tidak merata.