Mengasuh Generasi Z, Sang ”Digital Native”
Media sosial membuat generasi Z lebih pintar, kreatif, dan melek informasi. Dalam kondisi itu, pengasuhan anak perlu paradigma baru, hangat tapi tegas. Nilai-nilai luhur generasi sebelumnya juga tetap relevan ditanamkan.
Generasi Z adalah anak muda yang melek teknologi, menggenggam informasi, kreatif, dan penuh ide baru. Paparan teknologi yang masif nyatanya tak hanya mencerdaskan mereka, tetapi juga membuatnya mereka kurang bahagia dan dicap manja dan lemah. Situasi itu membuat pengasuhan generasi Z membutuhkan paradigma berbeda, hangat tetapi tegas.
Saat ini, generasi Z berumur 10-25 tahun dan menjadi kelompok generasi terbesar di Indonesia. Mereka lahir dari orangtua yang termasuk generasi X dan milenial yang hidup dalam situasi ekonomi lebih prihatin. Sebagian besar orangtua generasi Z tumbuh dalam pola asuh keras, cita-cita terbatas, dan kepintaran akademik jadi patokan sukses anak.
”Situasi itu membuat orangtua tidak ingin anaknya yang masuk generasi Z dibesarkan dengan cara yang sama seperti yang mereka alami. Anak-anak lebih diberikan kebebasan, termasuk saat memilih cita-cita alternatif, dan dieksplorasi bakatnya yang tidak melulu terkait akademik,” kata pendiri Youth Laboratory Indonesia dan penulis buku Generasi Phi, Memahami Milenial Pengubah Indonesia (2017), Muhammad Faisal, di Jakarta, Rabu (17/5/2023).
Psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, menambahkan, orangtua pada beberapa dekade lalu cenderung mendidik anak dengan otoriter. Hukuman fisik menjadi bentuk hukuman wajar, baik di rumah maupun di sekolah. Tak jarang, pengasuhan yang penuh kekerasan itu berakhir menjadi trauma.
Seiring munculnya pemahaman bahwa pengasuhan anak dengan pukulan fisik atau segala bentuk kekerasan itu tidak benar, orangtua cenderung melakukan hal sebaliknya. Trauma korban kekerasan saat menjadi anak tidak diterapi dengan benar sehingga mereka cenderung menjadi orangtua yang tidak tegas, memanjakan anak, hingga memberikan berbagai kemudahan yang ujungnya justru tidak membuat anak tangguh.
Baca juga : Peran Orangtua dalam Pengasuhan Tak Tergantikan
”Proses parenting (pengasuhan) sekarang merupakan lawan dari pola parenting otoritarian di masa lalu yang diterjemahkan sebagai parenting yang permisif (serba membolehkan) sehingga justru membuat anak tidak tangguh,” tambahnya.
Pada dekade 1980-an sampai 1990-an, saat siswa dihukum fisik oleh guru di sekolah, orangtua yang tahu akan hukuman itu sering kali justru menambah hukuman fisik untuk anak. Sekarang saat hukuman fisik di sekolah menjadi tidak umum, banyak orangtua tidak terima dan balik melabrak guru di sekolah atau melaporkannya ke polisi ketika tahu anaknya mendapat hukuman fisik dari guru.
Saat ada pekerjaan rumah atau tugas prakarya, anak zaman dulu cenderung mengerjakannya secara mandiri. Kini, banyak orangtua khususnya ibu yang rela mengerjakan tugas-tugas sekolah anaknya agar anak mendapat nilai baik. Padahal, setiap anak penting untuk bisa merasakan kesulitan, hambatan, dan juga tanggung jawab.
Pola asuh permisif itulah yang membentuk mental generasi Z seperti sekarang, generasi yang sering dipandang sebagai generasi stroberi oleh generasi sebelumnya. Stereotip itu menganggap generasi Z sebagai kelompok orang muda yang lembek, manja, berdaya juang lemah, serta mudah menyerah saat mengalami tekanan. Prasangka ini ditemukan dalam banyak budaya di berbagai belahan dunia.
Karena itu, ”Butuh kesadaran baru dalam pengasuhan anak, yaitu pengasuhan yang hangat, tetapi tetap dengan ketegasan yang ajek,” tambah Anna.
Kecenderungan generasi lebih senior menilai generasi lebih muda sebagai orang lemah sejatinya sudah ada sejak dulu. Setiap kemudahan baru yang menyertai anak muda di zamannya membuat mereka dipandang rendah oleh generasi lama. Kebetulan yang menjadi generasi muda saat ini adalah generasi Z sehingga mereka menjadi sasaran stereotip generasi sebelumnya.
Baca juga : Cinta Orangtua Merajut Masa Depan Buah Hati
Di dunia kerja, kinerja generasi Z juga banyak dikeluhkan karena kurang bisa menghargai norma dan struktur sosial pada organisasi kerja. Generasi Z memandang struktur sosial sebagai piramida terbalik dengan pemegang otoritas tertinggi adalah mereka yang memiliki pengikut (follower) terbanyak di media sosial.
Karena itu, lanjut Faisal, dosen atau manajer perusahaan yang memiliki sedikit pengikut di media sosial dianggap tidak pantas didengarkan atau mendapatkan perhatian dari anak muda meski mereka memiliki kredibilitas tinggi. Sikap dan pandangan selebgram yang sering kali dijadikan panutan.
Teknologi memang memudahkan generasi Z, generasi yang sejak lahir telah menjadi masyarakat digital. Bahkan, kini kecerdasan artifisial mulai mengambil sebagian peran-peran berpikir manusia. Berbagai kemudahan yang ditawarkan itu juga membuat kematangan psikologis manusia makin mundur.
Jika dulu usia 18 tahun sudah dianggap dewasa, kini umur 18 tahun-25 tahun baru dianggap beranjak dewasa (emerging adult) karena kematangan dan ketangguhan mereka tidak seperti orang di masa lalu pada batas umur yang sama. ”Teknologi yang memudahkan cenderung membuat manusia tidak sabar dengan proses. Kemudahan juga membuat ketangguhan mereka berkurang,” tambah Anna.
Meski demikian, baik Faisal maupun Anna sama-sama menilai generasi Z bukanlah generasi yang lemah. Informasi yang mereka genggam membuat mereka pintar, adaptif, dan luwes dengan teknologi dan media sosial, hingga mampu belajar dengan cepat, termasuk penguasaan bahasa Inggris yang lebih baik. Ini adalah hak istimewa (privilege) yang dimiliki generasi Z dan tidak dimiliki generasi sebelumnya.
”Generasi Z memiliki orientasi dan prioritas masa depan yang berbeda dengan orangtua mereka,” kata Faisal.
Dibandingkan generasi sebelumnya, generasi Z memiliki pandangan dan pola kerja berbeda. Jika generasi X atau sebagian generasi milenial awal memedomani hustle culture atau bekerja sangat keras hingga terkadang melampaui kemampuan tubuhnya, maka generasi Z memilih pola kerja seimbang dengan kehidupan pribadi. Mereka ingin pekerjaan yang dijalani tak membuatnya lupa hidup lebih sehat, cukup waktu berolahraga, beristirahat, hingga bersosialisasi dan menjalani hobi.
Perbandingan sosial
Media sosial menjadi tempat yang nyaman bagi generasi Z untuk mencari sumber informasi, berkomunikasi, hingga sarana berkeluh kesah untuk mengundang empati. Berbagai unek-unek, curahan hati, hingga keluhan tentang apa pun atau terkait siapa pun bisa dengan leluasa mereka luapkan di media sosial hingga membuat mereka dicap generasi lemah.
Tujuannya satu, mereka ingin diperhatikan dan merasa dipahami. Sebagai generasi Z yang haus akan perhatian, jika sulit untuk mendapatkan perhatian melalui prestasi, kemampuan, atau kreativitasnya, mereka akan berusaha mendapat atensi itu dengan berbagai cara, termasuk isu kesehatan mental yang sering kali hasil swadiagnosis, tanpa bantuan profesional kesehatan jiwa.
Baca juga : Belajar Pengasuhan Anak di Ruang Virtual
Meski demikian, media sosial juga menjadi sarana yang memudahkan untuk melakukan pembandingan sosial, baik yang dilakukan oleh diri sendiri secara tidak sadar maupun digunakan oleh orang lain. Jika generasi X dan milenial hanya dibandingkan dengan teman satu kelas, satu sekolah, satu kompleks perumahan, atau satu kampung, generasi Z dibandingkan dengan anak seluruh Indonesia dan dunia.
Pembandingan inilah yang sering kali membuat pengguna media sosial, terutama generasi Z, kurang bahagia. Survei Gen Z Global 2022 yang dilakukan McKinsey Health Institute's terhadap 42.000 responden di 26 negara, termasuk Indonesia, dan dipublikasikan pada 28 April 2023 menemukan generasi Z lebih banyak mengutip atau mengambil emosi negatif dari media sosial.
Hal ini mengakibatkan generasi Z lebih memiliki masalah kesehatan mental dibanding generasi sebelumnya. Gangguan dengan intensitas lebih tinggi dialami anak perempuan sebanyak dua kali lipat dibanding anak laki-laki. Mereka yang menggunakan media sosial secara pasif juga memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap kesehatan mental.
Menurut Anna, pembandingan diri dengan orang lain sejatinya merupakan salah satu aspek perkembangan remaja dan orang dewasa. Perilaku ini dilakukan semua orang di semua generasi. Namun, proses pembandingan generasi Z jauh lebih hebat dan tantangannya jauh lebih berat akibat terbukanya informasi melalui media sosial.
Di sisi lain, otak bagian depan manusia atau korteks prefrontal yang berfungsi untuk penalaran dan berpikir logis baru matang di usia 20 tahun-25 tahun. Padahal, bagian otak ini bertanggung jawab pada seluruh kehidupan manusia, mulai dari kemampuan belajar, berkonsentrasi, dan mengambil keputusan. Kondisi itu membuat proses perbandingan sosial pada remaja berdampak lebih dalam hingga memudahkan mereka mengalami tekanan mental.
Baca juga : Menggali Potensi Anak untuk "Membungkam" Keterbatasan
”Besarnya tekanan akibat komparasi sosial itu membuat mereka mudah menyerah (flight) meski sebenarnya mereka masih bisa menghadapinya (fight),” tambah Faisal. Karena itu, anak muda butuh kemampuan untuk menilai media sosial, mana yang realitas dan mana yang hiperrealitas sebab tidak semua yang ada di media sosial itu nyata dan sebenarnya.
Hangat dan tegas
Menghadapi situasi yang berubah dan tantangan jauh lebih berat itu, pola pengasuhan orangtua penting agar anak tidak hanya pintar, tetapi juga tangguh. Menurut Anna, pengasuhan anak yang hangat dan tegas disarankan pada semua usia, tetapi perlakuannya akan menjadi berbeda sesuai perkembangan usia anak.
”Pada pengasuhan anak dewasa muda, usia 18 tahun-25 tahun, penting untuk membuat anak merasa diterima keluarga apa adanya, tidak dihakimi, dan tidak dibanding-bandingkan khususnya dengan masa lalunya karena kini mereka memang berbeda,” tuturnya.
Pengasuhan anak remaja atau yang menginjak dewasa, terutama generasi Z, membutuhkan banyak diskusi terbuka. Terlebih saat ini, banyak anak beranjak dewasa yang masih tinggal dengan orangtua mereka. Dalam diskusi itu akan lahir kesepakatan tentang apa yang diharapkan orangtua dan anak, demikian pula apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak.
Salah satu hal yang sering menjadi persoalan adalah pulang malam, khususnya bagi anak perempuan. Orangtua masa lalu banyak yang memberi batas pukul 18.00 sore atau 20.00 malam sebagai jam anak perempuan sudah harus ada di rumah. Banyak orangtua susah tidur dan tidak tenang jika anak-anaknya belum pulang.
Kini, zaman telah berubah. Tuntutan tugas sekolah atau kuliah, hingga beban kerja membuat batas jam pulang malam sering kali sulit diterapkan. Jika anak terpaksa pulang malam, kesepakatan orangtua dan anak bisa diambil, seperti tidur di rumah atau tempat kos teman dengan memberitahukan terlebih dulu ke orangtua serta orangtua memiliki nomor kontak teman yang bisa dihubungi. Cara lainnya adalah anak membawa sendiri kunci rumah.
Selain diskusi terbuka, pendidikan moral tetap penting diberikan pada anak. Di era keterbukaan informasi, berbagai pengetahuan termasuk isu seksualitas banyak beredar di media sosial. Daripada hanya melarang mengakses informasi yang sering kali sulit dibendung, orangtua dan anak perlu membangun komunikasi tentang apa yang mereka inginkan dan apa yang membuat mereka tidak nyaman. Masing-masing pihak perlu mendengar dan memperhatikan pandangan yang lain.
”Dengan diskusi terbuka, generasi Z akan merasa bisa diterima keluarganya dan dia juga belajar meyakinkan keluarga atau generasi yang lebih tua hingga terbangun saling memahami dan membantu otak anak lebih cepat matang,” ujar Anna.
Sementara itu, Faisal menilai, di tengah situasi yang berubah, generasi sebelumnya termasuk orangtua justru canggung dan tidak percaya diri saat menghadapi anak muda. Mereka khawatir tindakan mereka justru terkesan otoriter atau menekan anak muda hingga membuat mereka mengalami kesehatan mental.
Baca juga : Penerimaan Keluarga, Jalan Terang Anak Berkebutuhan Khusus
Akibatnya, banyak orangtua kurang menanamkan nilai-nilai luhur yang dianut generasi sebelumnya karena menilai anak sekarang lebih tahu tentang kehidupan dan zamannya. ”Padahal, nilai-nilai kebajikan generasi sebelumnya yang kaya akan pengalaman hidup tetap relevan di zaman kapan pun. Nilai ini justru penting bagi anak muda untuk menghadapi tekanan hidup, apakah akan fight atau flight, dan memperkuat mentalnya,” tambahnya.
Selain itu, orangtua juga bisa membantu membentuk pola pikir dan pemahaman anak terhadap sesuatu dengan mengarahkan bacaan yang tepat untuk anak, baik berupa buku, koran, maupun majalah, sehingga anak tidak mengandalkan informasi dari media sosial yang kerap kali lebih berat bobot hiburannya dibanding informasinya. Sumber-sumber informasi tepercaya itu membantu anak muda memahami norma dan struktur sosial di dunia nyata.
Dengan diskusi terbuka, generasi Z akan merasa bisa diterima keluarganya dan dia juga belajar meyakinkan keluarga atau generasi yang lebih tua hingga terbangun saling memahami dan membantu otak anak lebih cepat matang.
Ketegasan dan pemberian pemahaman tentang struktur sosial, baik di keluarga, masyarakat, maupun industri, juga tetap diperlukan. Dengan demikian, anak bisa memahami, memberikan penghormatan, dan mengatur sikapnya saat berhadapan dengan orang lain meski mereka bukanlah selebgram.
Bagaimanapun, hasil didikan kita saat ini akan menentukan nasib masyarakat dan bangsa di masa depan. Sebelum media sosial hingga kecerdasan artifisial mengasuh anak-anak kita lebih jauh, orangtua perlu hadir dengan paradigma baru pengasuhan, yang hangat tetapi tetap tegas. Nilai-nilai luhur bangsa, adat, dan agama tetap relevan, sekaligus bisa menjadi modal besar bagi anak untuk menatap dunia.