Dispensasi Kawin Belum Sepenuhnya Perhatikan Hak Anak
Keputusan dispensasi perkawinan harus berdasarkan keputusan terbaik dan memenuhi hak anak. Jangan sampai hak-hak anak justru terabaikan.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dispensasi perkawinan masih terus terjadi meskipun undang-undang yang mengatur batas usia minimal telah direvisi. Pada sejumlah kasus, pengabulan dispensasi kawin belum sepenuhnya memperhatikan hak anak.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, keputusan dispensasi nikah harus berdasarkan keputusan terbaik dan memenuhi hak anak. Namun, di sejumlah daerah, dispensasi kawin justru mengabaikan keputusan terbaik anak.
Hal ini terungkap dalam Laporan Studi Dispensasi Kawin yang diluncurkan Plan Indonesia, Senin (19/6/2023), di Jakarta. Dalam riset yang dilakukan di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, ditemukan pengabulan permohonan dispensasi kawin yang tinggi.
”Riset ini dilakukan di Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Sukabumi. Riset ini ingin melihat bagaimana pemenuhan hak anak saat dispensasi kawin dikabulkan,” kata peneliti sekaligus Ahli Kebijakan dan Advokasi Plan Indonesia, Megawati.
Di dua daerah tersebut, pengabulan dispensasi perkawinan selalu tinggi dalam tiga tahun terakhir. Di PA Lombok Barat, 95,77 persen permohonan dispensasi kawin anak dikabulkan pada 2020, lalu sebesar 89 persen pada 2021, dan 90,9 persen pada 2022.
Hal Serupa juga terjadi di PA Sukabumi, yakni sebesar 95 persen pada 2020, kemudian 85 persen pada 2021, dan 74 persen pada 2022.
Dalam riset itu ditemukan alasan hakim mengabulkan dispensasi, yakni karena alasan mendesak. Alasan mendesak yang dimaksud berkaitan dengan kehamilan yang terjadi atau pencegahan kehamilan di luar nikah. Selain itu, faktor tradisi daerah juga mendorong pengabulan dispensasi.
Belum diperhatikan
Dalam proses dispensasi tersebut, Plan Indonesia menyinyalir hakim belum sepenuhnya memperhatikan hak anak. Menurut Megawati, berdasarkan hasil riset, perbedaan cara pandang hakim memengaruhi jumlah dispensasi kawin yang tinggi.
Di Kabupaten Lombok Barat, dalam sidang, hakim menanyakan keberlanjutan hak anak, seperti pendidikan dan kesehatan. Adapun di Kabupaten Sukabumi, hakim cenderung menanyakan kesiapan anak dalam menjalankan peran sebagai istri atau suami yang merujuk pada peran jender secara tradisional.
”Perbedaan terjadi karena hakim punya sertifikasi yang berbeda. Di Lombok Barat, hakimnya punya sertifikasi hakim anak, sedangkan di Kabupaten Sukabumi tidak,” ucap Megawati.
Di Sukabumi, alasan mendesak untuk menghindari hamil di luar nikah membuat hakim mengabulkan permohonan dispensasi. Hakim juga menganggap usia pendidikan anak saat berusia 17-19 tahun telah terpenuhi.
Sementara di Lombok Barat, meskipun berbagai hak anak ditanyakan saat sidang, hakim tidak bisa memastikan keberlanjutan dari proses pemenuhan hak anak setelah perkawinan.
”Tidak ada monitoring setelahnya sehingga potensi hak-hak anak, seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan keamanan dalam rumah tangga, berpotensi terabaikan,” kata Megawati.
Tidak ada monitoring setelahnya sehingga potensi hak-hak anak, seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan keamanan dalam rumah tangga, berpotensi terabaikan.
Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta, Indah Sulistyowati, mengakui implementasi dari Perma yang belum maksimal. Menurut dia, bisa saja celah tersebut terjadi akibat sosialisasi Perma belum merata untuk hakim di daerah.
”MA telah menerbitkan dengan Perma untuk memperketat izin kawin. Namun, implementasi belum maksimal. Ke depan, perlu pendalaman materi Perma (oleh hakim) melalui diklat,” ucapnya.
Direktur Influencing Plan Indonesia Nazla Mariza berharap, perlu ada aturan dari MA untuk mewajibkan para hakim yang menangani dispensasi kawin memiliki sertifikat hakim anak.
Selain itu, pemerintah hingga tingkat daerah terbawah juga bisa terlibat dalam membuat aturan sehingga pernikahan anak tidak lagi menjadi tradisi. ”Hal tersebut bisa dilakukan dengan melibatkan pemerintah sampai tingkat terbawah serta tokoh masyarakat melalui berbagai edukasi,” ujar Nazla.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, perlu ada perbaikan regulasi perkawinan agar hak-hak anak tetap terpenuhi.