Tak Cukup Mengubah Batas Usia Perkawinan
Perkawinan anak bagaikan virus yang terus menular pada anak-anak. Kendati mengancam masa depan, praktik perkawinan anak hingga kini terus terjadi. Perlu ada langkah bersama secara masif untuk melindungi anak-anak.
Perkawinan anak menjadi salah satu tantangan besar pembangunan manusia di Indonesia. Kendati Undang-Undang Perkawinan melarang perkawinan di bawah usia 19 tahun, perkawinan anak masih terus terjadi. Selain mengakibatkan anak-anak putus sekolah, kehilangan masa depan, dan kesehatan reproduksi terganggu, anak-anak menjadi orangtua jauh sebelum waktunya.
Berbagai regulasi dan kebijakan yang dilahirkan, terutama dalam tiga tahun terakhir, belum secara signifikan meredam fenomena perkawinan anak di Tanah Air. Sementara kesadaran orangtua untuk melindungi anak-anaknya dan mencegah perkawinan anak masih sangat rendah.
Di sejumlah daerah, sikap permisif masyarakat ikut melanggengkan perkawinan anak. Perkawinan anak belum dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan anak sehingga orangtua pun mendorong anaknya menikah dan memohon dispensasi nikah meskipun anak-anaknya masih jauh dari usia dewasa.
Baca juga: Bom Waktu Perkawinan Anak
Di sisi lain, pesatnya perkembangan teknologi informasi, terutama akses konten-konten negatif, menjerumuskan anak-anak pada pergaulan tidak sehat hingga perilaku seks di luar nikah dan akhirnya orangtuanya memilih menikahkan anaknya meskipun belum cukup umur.
Di awal tahun 2023, sejumlah media memberitakan ratusan pelajar sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, memohon dispensasi kawin ke Pengadilan Agama Ponorogo. Alasan para pelajar mengajukan permohonan dispensasi kawin antara lain karena hamil di luar nikah. Kondisi itu terjadi akibat perilaku ses bebas dan terpapar konten-konten negatif dari media sosial.
Ratusan permohonan dispensasi kawin di Ponorogo tersebut hanya salah satu contoh fenomena perkawinan anak di Tanah Air yang masih tinggi. Sebab, di Jawa Timur, jumlah permohonan dispensasi kawin tertinggi justru terjadi di Kabupaten Malang.
Nur Djannah, Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung, menegaskan, angka permohonan dispensasi kawin di Kabupaten Malang pada tahun 2022 mencapai 1.400 lebih. Adapun di Ponorogo, pada tahun 2022, permohonan dispensasi kawin sebanyak 191.
”Saya mohon ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kita fokus ke sana. Kenapa banyak sekali permohonan dispensasi kawin di Malang,” ujarnya pada Seminar Nasional ”Hasil Kajian Pencegahan Perkawinan Anak untuk Mewujudkan Indonesia Emas 2045”, Kamis (26/1/2023), yang diselenggarakan PPPA.
Kehamilan hanya salah satu alasan orangtua mengajukan permohonan dispensasi kawin. Di Kabupaten Malang, misalnya, paling tinggi permohonan dispensasi kawin karena anak-anaknya putus sekolah. Data Direktorat Jenderal Badilag MA mencatat, pada 2022 secara nasional jumlah permohonan dispensasi kawin paling tinggi di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Jatim, yakni 15.339 permohonan. Adapun jumlah permohonan dispensasi kawin nasional 52.095 berkas.
Selain di PTA Surabaya, permohonan dispensasi kawin terbanyak terjadi di PTA Semarang, Jawa Tengah (12.035 permohonan); disusul Bandung, Jawa Barat (5.778). Di luar Pulau Jawa, paling tinggi permohonan dispensasi kawin di Makassar, Sulawesi Selatan (2.663); Palembang, Sumatera Selatan (1.343); dan Jambi (1.012).
Permohonan dispensasi kawin meningkat sebagai dampak kebijakan pemerintah menaikkan batas umur menikah bagi perempuan, faktor pendidikan, dan kemiskinan. Sebelumnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur batas usia perkawinan bagi perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Namun, UU itu direvisi dengan UU No 16/2019, yang mengubah batas usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan menjadi sama 19 tahun.
Perubahan batas usia tersebut menjadi salah satu pendorong peningkatan angka dispensasi kawin hingga 200 persen, dari sebelumnya pada tahun 2019 sebanyak 24.865 permohonan kemudian meningkat tajam pada tahun 2020 menjadi 64.222 permohonan.
Sejumlah alasan
Mengapa orangtua mengajukan permohonan dispensasi kawin untuk anaknya? Selain karena calon pengantin perempuan hamil, ada sejumlah alasan mengapa orangtua mengajukan permohonan dispensasi kawin bagi anak-anaknya, yakni anak-anak sudah berhubungan suami istri dan calon pengantin sama-sama saling mencintai.
Ada juga alasan lain, yakni takut anak-anak terjerumus hubungan seks di luar nikah serta takut melanggar norma agama dan norma sosial. Namun, dari semua alasan perkawinan, Nur Djannah menegaskan, alasan terbesar orangtua mengajukan permohonan dispensasi kawin untuk anak-anaknya karena cinta.
Dari rekap alasan perkara dispensasi kawin di seluruh pengadilan agama Indonesia pada tahun 2022, alasan cinta yang paling tinggi, yakni 34.987 permohonan, kemudian alasan ekonomi (2.406 permohonan), hamil (13.457), hubungan intim (1.132), dan karena jodoh (113).
Bagaimana jika ada anak yang tetap dinikahkan orangtuanya tanpa mengajukan dispensasi lalu satu saat mengajukan permohonan isbat nikah? Nur Djannah menegaskan, pengadilan agama tidak akan melayani permintaan tersebut. Namun, jika dari perkawinan anak ada anak yang dilahirkan, penyelesaiannya ada mekanismenya tersendiri.
Permohonan dispensasi kawin hanyalah salah satu data yang menunjukkan potret perkawinan anak di Tanah Air. Sebab, datanya baru dari satu agama, belum ditambah data perkawinan anak dari agama lain. Praktik perkawinan anak dikhawatirkan berlanjut di masyarakat lantaran tak ada data pasti jumlah anak yang menikah di bawah umur dengan cara lain (nikah bawah tangan/siri, atau nikah adat).
Baca juga: Pandemi Perburuk Situasi Perkawinan Anak
Hasil kajian cepat tentang pencegahan perkawinan anak yang dilakukan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (Puskapa UI) menemukan kendati prevalensi perkawinan anak menurun, tetapi perkawinan anak tetap menjadi permasalahan.
Bahkan, kajian menemukan sebanyak 34 persen penyebab perkawinan anak adalah kehamilan. Ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi kehamilan anak yang mendorong perkawinan anak.
Pertama, kesulitan hidup di keluarga rentan dan ketiadaan akses pada bantuan pengasuhan. Kedua, lemahnya ikatan kolektif dalam keluarga, komunitas, dan kelompok sebaya. Ketiga, tantangan anak berpikir kritis sehingga sebagian anak tak mampu menimbang risiko kehamilan dan upaya melindungi diri. Keempat, sedikitnya kesempatan dan pelibatan kaum muda yang bermakna sehingga perkawinan menjadi alternatif menikmati masa remaja.
”Ketika anak hamil lantas putus sekolah, dikawinkan, dan rentan mengalami kekerasan domestik. Faktor itu saling berkelindan ketika anak alami kehamilan, bisa jadi mereka tak mendapat layanan komprehensif, malu berkunjung ke puskesmas akibatnya sulit membesarkan anaknya,” ujar Andrea Andjaringtyas Adhi, peneliti dari Puskapa UI.
Kesadaran publik, termasuk lembaga penyiaran, pun masih minim. Ganesh Cintika Putri dari Tim Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM mencontohkan, ada film menampilkan perkawinan anak, seperti film berjudul Argantara yang ditayangkan di bioskop.
Film ini ditonton 1 juta orang. Ini yang membuat kita bertanya-tanya. Di tengah hukum yang kita coba revisi, cara berpikir masyarakat kita tentang perkawinan anak dianggap sesuatu yang wajar. Ini yang menimbulkan pertanyaan, sebenarnya apa yang terjadi.
Dari kajian cepat yang dilakukan Balitbang Hukum dan HAM, UU Perkawinan diterapkan beragam di daerah. Dari temuan lapangan, di beberapa wilayah revisi UU tersebut menjadi dasar kuat bagi penghulu untuk menolak menikahkan anak di bawah umur. Namun, beberapa hakim masih mengabulkan permohonan dispensasi kawin karena ”alasan mendesak”.
Dari sisi pencegahan, sanksi tidak tertulis yang ditetapkan kepala desa pada orangtua anak yang menikah dini atau penghulu lebih efektif menekan angka perkawinan anak.
Bagi anak-anak muda, menurut Aditya Septiansyah dari Yayasan Plan Internasional Indonesia, saatnya anak-anak tak lagi dipandang sebagai korban. Semua pihak harus mengajak anak-anak berpartisipasi dan jadi penggerak mencegah perkawinan anak.
”Akhir tahun lalu, kami sudah meluncurkan buku-buku saku tentang pencegahan perkawinan anak yang kami bagi di sekolah-sekolah di daerah-daerah di Sukabumi, Jawa Barat, dan di Nusa Tenggara Barat. Harapannya, kaum muda dan agen perubahan bisa muncul di daerah,” katanya.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA Rini Handayani menegaskan, perkawinan anak menjadi tantangan dalam pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Selain berdampak multiaspek dan lintas generasi, perkawinan anak juga menghambat anak-anak mendapat hak-haknya secara optimal.
Terkait hal itu, berbagai upaya dilakukan pemerintah karena Indonesia sudah dalam kondisi darurat perkawinan anak. Berdasarkan Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda, 2020 disebutkan 1 dari 9 anak menikah. Bahkan, sebelumnya, pada tahun 2018, Indonesia berada dalam 10 daftar negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi dunia.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian PPPA Rohika Kurniadi Sari, dalam temu media, Jumat (20/1/2023), menegaskan, tingkat pendidikan orangtua tidak membuat mereka mencegah perkawinan anak. Belum lama ini dia berupaya mencegah perkawinan anak yang justru diinisiasi oleh orangtuanya yang berpendidikan tinggi dan memegang jabatan di bidang pendidikan.
Perhatian pemerintah atas fenomena perkawinan anak yang terus terjadi sudah ditunjukkan. Sejak tahun 2018, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen nasional pengentasan perkawinan anak sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), yakni menghapuskan praktik merugikan seperti perkawinan anak, perkawinan paksa, dan khitan perempuan.
Pada tahun 2019 dilakukan revisi UU Perkawinan, kemudian meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak. Namun, pencegahan perkawinan anak masih menghadapi tantangan. Selain masyarakat di daerah-daerah tertentu masih menggunakan tafsir agama dan adat sebagai pembenar praktik perkawinan anak, faktor sosial dan budaya berpengaruh.
Maka, perlu ada perubahan pola pikir. Hingga kini perkawinan anak langgeng karena masih ada anggapan hal itu sebagai bagian dari tradisi di masyarakat. Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Emil Salim, menegaskan, masyarakat harus diingatkan tentang cara berpikir keliru, yang menilai perempuan di bawah laki-laki.
”Cara berpikir konvensional harus diubah. Kita akan ketinggalan dengan rakyat di dunia. Jadi keliru kalau masih menganggap perempuan lebih rendah dari laki-laki, perempuan sebagai obyek seks,” ujarnya.
Cara berpikir konvensional harus diubah. Kita akan ketinggalan dengan rakyat di dunia. Jadi keliru kalau masih menganggap perempuan lebih rendah dari laki-laki, perempuan sebagai obyek seks.
Menuju 100 tahun Indonesia merdeka pada tahun 2045, perkawinan anak sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan harus dihentikan. Maka, pemerintah dan orangtua tak boleh tinggal diam. Semua pihak mesti berkolaborasi mencegah perkawinan anak agar masa depannya bisa diselamatkan. Jangan biarkan praktik perkawinan anak merajalela dan merenggut masa depan anak-anak.