Pemerintah menaikkan batas minimal usia menikah menjadi 19 tahun pada 2019. Ini untuk mencegah perkawinan anak yang dapat mencabut hak-hak anak akan pendidikan hingga kesehatan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Ada banyak faktor penyebab perkawinan anak. Di beberapa tempat, menikah di usia remaja dianggap wajar karena telah dilakukan masyarakat selama beberapa generasi. Asal ada pasangan dan keyakinan hati, pernikahan bisa dilaksanakan. Di sisi lain, perkawinan anak ditentang karena akan merampas hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan perlindungan.
Kepala Desa Keseneng, Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Mugiharto bercerita, kawin muda sudah jadi hal biasa di desanya sejak dulu. Sebagian warga bahkan menikah di usia remaja. Beberapa orang berpikir, untuk apa menunda pernikahan jika jodoh sudah di depan mata? Beberapa lainnya berpikir bahwa hidup mereka cukup mapan untuk mulai membangun rumah tangga.
Menurut Mugiharto, kebanyakan warganya adalah petani cabai dan sayuran yang hidupnya sejahtera. Sebagian orang tua memberikan rumah hingga lahan kepada anak-anaknya untuk diolah. Ada pula yang meminta anaknya melanjutkan usaha para orangtuanya. Singkat kata, anak-anak tidak perlu risau mencari pekerjaan nanti.
Kondisi ekonomi yang baik juga mendorong para orangtua untuk segera menikahkan anaknya. Katanya, mumpung ada rezeki.
”Pada 2016-2017 banyak warga yang menikah sebelum usianya 18 tahun. Kira-kira ada 15 orang,” kata Mugiharto di Wonosobo, Jawa Tengah, Sabtu (25/2/2023). ”Saat itu harga cabai sedang bagus, jadi pada menikah,” ujarnya.
Dispensasi justru akan melegalkan hubungan seksual dengan anak melalui perkawinan. Dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hal ini termasuk bentuk kekerasan seksual terhadap anak.
Beberapa warga juga menilai bahwa menikah di usia remaja lebih baik daripada kumpul kebo. Selain itu, ada yang ingin segera menikah karena khawatir ora payu atau ”tidak laku”. Orang yang ”tidak laku” merujuk ke perempuan ataupun lelaki yang belum menikah hingga usia 25 tahun.
”Usia 30 tahun ke atas sudah susah cari jodoh. Menurut gosip ibu-ibu, itu karena terlalu banyak milih,” kata Mugiharto.
Warga Desa Keseneng, Rini (28), Yani (32), dan Wulan (32), mengatakan, banyak warga ingin menikah muda agar jarak usia ibu dengan anaknya tidak terpaut jauh. ”Jadi, pas anaknya gede, kita isihenom (masih muda). Jadi kayak kakak-adik,” kata mereka sambil tertawa.
Mugiharto menambahkan, perkawinan anak mulai jarang dilakukan sejak pemerintah menaikkan batas minimal untuk menikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Santernya advokasi pemerintah untuk menghentikan perkawinan anak sampai ke Desa Keseneng. Warga pun menurut.
Perubahan peraturan berlaku sejak DPR merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelumnya, batas minimal untuk menikah adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Pada 2019 batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan jadi 19 tahun, sama dengan bagi laki-laki.
Tidak direkomendasikan
Spesialis Perlindungan Anak Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) Kantor Perwakilan Surabaya, Naning Pudjijulianingsih, mengatakan, anak tidak direkomendasikan untuk menikah apa pun alasannya. Kalaupun anak perempuan hamil, ia tidak disarankan menikah agar tidak dibebani kewajiban domestik sebagai istri. Kewajiban itu akan membuat anak perempuan menanggung beban ganda.
Adapun dispensasi kawin bagi anak, menurut Naning, perlu dikaji. Sebab, dispensasi justru akan melegalkan hubungan seksual dengan anak melalui perkawinan. Dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hal ini termasuk bentuk kekerasan seksual terhadap anak.
Menurut data Mahkamah Agung, permohonan dispensasi perkawinan pada 2020 mencapai 64.000 perkara, lebih dari dua kali lipat dari tahun 2019 (24.000 perkara).
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan, permohonan dispensasi perkawinan yang dikabulkan tahun 2020 sekitar 90 persen. Angkanya turun jadi 82 persen pada 2021 (Kompas, 11/3/2022).
Naning mengatakan, hampir semua anak yang menikah tidak melanjutkan sekolah. Hak atas pendidikan pun tercerabut. Secara jangka panjang, hal ini dikhawatirkan memengaruhi kesehatan mental anak.
”Teman-temanya yang lain masih sekolah, berseragam, dan main, sementara anak ini sudah punya anak. Dia tidak bisa bermain seperti teman-temannya. Ini bisa berdampak ke kesehatan mental,” kata Naning.
Perkawinan anak juga berbahaya bagi kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu, kehamilan pada anak yang masih bertumbuh juga akan membuat tulang keropos. Di sisi lain, kehamilan di usia remaja juga berisiko melahirkan anak dengan tengkes (stunting).