Generasi Z yang lahir di era digital mengalami relasi kompleks dengan media sosial. Penggunaan media sosial memengaruhi kesehatan mental mereka.
Oleh
Ninuk Mardiana Pambudy
·5 menit baca
Generasi Z, berusia 11-26 tahun, lahir pada era digital. Meski demikian, survei lembaga konsultasi McKinsey Health Institute menunjukkan, generasi Z mengalami relasi yang kompleks dengan media sosial atau medsos. Sementara generasi baby boomers (1946-1964) ternyata menikmati menggunakan medsos, seperti anak-anak atau cucu-cucu mereka.
Survei dilakukan di 26 negara, termasuk Indonesia, menemukan penggunaan medsos membawa rasa khawatir dan cemas lebih besar pada Gen Z dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Secara rata-rata kekhawatiran terbesar Gen Z adalah ketinggalan isu terkini, dalam istilah Gen Z disebut FOMO, fear of missing out. Kekhawatiran lain adalah tampilan fisik diri tidak seperti yang mereka idealkan di medsos.
Namun, lebih banyak responden, lebih dari 50 persen, dari semua generasi menyatakan sisi positif medsos. Sisi positif medsos adalah ekspresi diri dan keterhubungan sosial. Manfaat positif ini terutama tampak pada anak-anak muda pengungsi dan pencari suaka politik. Medsos membuat mereka tetap terhubung dengan orang-orang yang mereka kenal atau orang baru dan menghindarkan dari kesepian.
Kejutan lain dari penelitian ini adalah keterlibatan generasi-generasi yang lebih tua ternyata setara seperti Gen Z. Generasi baby boomer (lahir 1946-1964) di 8 dari 26 negara yang disurvei menghabiskan waktu sama banyaknya di medsos. Sementara, generasi milenial (1981-1996) ternyata lebih banyak mengirim informasi di medsos.
Kesehatan jiwa
Kesehatan jiwa menurut Organisasi Kesehatan Dunia adalah keadaan kesejahteraan jiwa yang memungkinkan orang menghadapi tekanan hidup, menyadari kemampuan diri, mampu belajar dengan baik, bekerja dengan baik, serta berkontribusi pada komunitas.
McKinsey Health (MHI) melakukan survei berbasis internet pada Mei 2022 di 10 negara Eropa dan Agustus 2022 ada tambahan responden di 16 negara di Amerika Serikat, Amerika Selatan, Timur Tengah, China, Afrika Utara, Asia, termasuk Indonesia.
Survei mendapat respons dari 42.083 responden, termasuk 16.824 orang Gen Z (sebagian besar berusia 18–24 tahun dan sedikit responden dari usia 13–17 tahun non-Eropa), 13.080 orang milenial (25–40 tahun), 6,937 Gen X (41–56 tahun), 5.119 responden baby boomers (57–75 tahun), and 123 orang dari Generasi Diam (76–93 tahun). Survei mengukur kesehatan mental, kesehatan sosial, kesehatan spiritual, dan kesehatan fisik.
Satu dari empat Gen Z di hampir semua negara mengaku mengalami masalah kesehatan jiwa, sementara pada generasi baby boomer kejadiannya satu berbanding tujuh responden dan ada variasi dari negara ke negara. Responden Gen Z dari Arab Saudi, Mesir, dan Nigeria paling banyak menilai kesehatan mental mereka sangat baik.
Sepertiga responden Gen Z menghabiskan lebih dari dua jam sehari untuk medsos. Tetapi, generasi milenial paling aktif di medsos, 32 persen responden mengaku mengirim pesan sekali atau beberapa kali dalam sehari.
Kurang aktifnya Gen Z dapat berkaitan dengan kehati-hatian dan sadar diri yang lebih besar pada kelompok usia muda, enggan memberi komitmen, atau lebih nyaman bermedsos secara pasif, misalnya hanya membaca. Beberapa penelitian lain memperlihatkan, penggunaan pasif medsos mungkin berkaitan dengan perasaan sejahtera yang menurun bersama berjalannya waktu.
Jender berperan pada munculnya perasaan negatif. Responden perempuan Gen Z hampir dua kali lebih banyak dari laki-laki (21 persen dan 13 persen) mengaku mengalami kesehatan mental buruk. Dampak negatif itu terutama menyangkut FOMO (32 persen berbanding 22 persen), citra tubuh (32 persen berbanding 16 persen), dan kepercayaan diri (24 persen berbanding 13 persen).
Gambar dunia nyata
Ada sejumlah faktor yang memengaruhi perasaan kesehatan mental, seperti tahapan perkembangan kejiwaan dan fisik, tingkat keterhubungan dengan layanan kesehatan, dan perilaku di dalam keluarga atau secara sosial.
Dosen psikologi media di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Laras Sekarasih, menyebut perasaan negatif tersebut berhubungan dengan frekuensi berada di medsos. Pada sisi lain, Gen Z yang berusia lebih muda sedang berada pada tahap perkembangan. Mereka masih merasa cemas terhadap FOMO dan penghargaan pada diri (self esteem).
Selain itu, mereka menghabiskan tiga tahun masa formatif mereka pada situasi pandemi Covid-19. Kecemasan pada Gen Z tampaknya akibat pandemi yang mengubah drastis hidup mereka, seperti kesepian, kecemasan akan ketidakpastian, lelah mental dan fisik (burn out), serta tidak bertemu teman.
Karena survei dilakukan secara daring dan responden menjawab sendiri, ahli kesehatan jiwa di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Adhitya Ramadianto, melihat bisa saja responden membayangkan keadaan kesehatan jiwa yang baik dan merasa belum mencapainya, sementara generasi yang lebih tua lebih menerima keadaan.
Ada sejumlah faktor yang memengaruhi perasaan kesehatan mental, seperti tahapan perkembangan kejiwaan dan fisik, tingkat keterhubungan dengan layanan kesehatan, dan perilaku di dalam keluarga atau secara sosial.
Tidak mudah mengatakan medsos sebagai faktor yang memengaruhi kesehatan mental sebesar itu. Banyak faktor lain berpengaruh, seperti jenis, tujuan penggunaan, dan isi medsos. Dari sisi pengguna ada faktor kepribadian, kerentanan, dan pola relasi.
Di luar itu masih ada faktor sosial, politik, ekonomi yang berpotensi atau bahkan sudah mengganggu kesejahteraan. Apabila dilihat gambaran lebih besar, generasi muda menghadapi lingkungan lebih kompetitif dan kesenjangan yang melebar. FOMO, dengan kata lain, bukan inheren medsos, tetapi lebih cermin situasi sosial yang lebih luas dan nyata.
Walakin, terlalu sering mengecek medsos dapat memperburuk situasi. Laras mengingatkan, kehidupan di medsos sudah ”dikurasi” pengguna dan algoritma yang memilihkan informasi yang sampai pada pengguna. Informasi yang tampil hanya yang bagus-bagus sehingga orang semakin merasa terlalu ”biasa”, tidak menarik, bahkan merasa lebih buruk atau menderita.
Banyak penelitian menunjukkan medsos dapat menurunkan penghargaan pada diri karena membandingkan ke cerita atau gambaran yang lebih mewah, hebat. MHI menyebut penanganan kesehatan jiwa dapat diberikan melalui layanan dalam jaringan atau daring.