Waspadai Tren Peningkatan Intoleransi di Kalangan Siswa
Indonesia masih memiliki modal sosial, yakni generasi muda yang mendukung toleransi dalam keberagaman. Namun, perlu diwaspadai juga adanya peningkatan tren sikap intoleran dan potensi terpapar radikalisme.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerimaan terhadap keberagaman yang ditunjukkan dengan sikap toleransi di kalangan siswa menengah atas di negeri ini dinilai masih menjanjikan. Namun, perlu diwaspadai adanya tren bertambahnya kelompok peserta didik yang intoleran dan cenderung terpapar sikap ekstremisme.
Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru Muhammad Muhlisin, di Jakarta, Jumat (19/5/2023), mengatakan, pemerintah dan semua pihak perlu waspada terhadap tren intoleransi di kalangan siswa. Apalagi, para siswa di jenjang SMA merupakan generasi masa depan bangsa yang juga berkontribusi memberikan arah pembangunan bangsa ke depannya.
Apalagi, dalam konteks menghadapi Pemilu 2024, tren peningkatan intoleransi di kalangan anak muda perlu diantisipasi. ”Jangan sampai suasana keragaman kita mudah diledakkan pada tahun depan. Beberapa bulan lalu hingga sekarang ada sejumlah kasus yang menimpa guru. Hal ini bisa memengaruhi warga sekolah dalam memahami dan mempraktikkan penerimaan pada keberagaman yang ada,” kata Muhlisin.
Berdasarkan hasil survei toleransi siswa sekolah menengah atas yang dilakukan oleh Setara Institute dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), sikap toleran siswa secara individu terhadap perbedaan terlihat baik, di atas 90 persen.
Hal ini ditandai sikap mau berteman dengan siswa tidak seagama, berbeda ras, dan warna kulit, serta kesediaan menolong sesama di wilayah lain meski tak masuk kelompok mayoritas 98-99 persen. Namun, terkait perempuan sebagai ketua OSIS, mulai muncul sikap intoleransi meski yang menerima di angka 93,8 persen.
Untuk sikap terkait ideologi dan agama, ada kecenderungan sikap intoleran tinggi. Ketika ditanya soal kemampuan menahan diri tidak melakukan kekerasan meski agama dihujat, sikap intoleran yang tinggi mulai muncul. Bahkan, keyakinan bahwa negara Barat (seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia) mengancam budaya dan agama di Indonesia juga diyakini mayoritas generasi muda Indonesia.
Jangan sampai suasana keragaman kita mudah diledakkan pada tahun depan. Beberapa bulan lalu hingga sekarang ada sejumlah kasus yang menimpa guru. Hal ini bisa memengaruhi warga sekolah dalam memahami dan mempraktikkan penerimaan pada keberagaman yang ada.
”Para siswa yang ditanya sampai 61 persen menyatakan merasa lebih nyaman jika semua siswi memakai jilbab,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan dalam siaran pers acara Diseminasi Hasil Survei Toleransi Siswa Sekolah Menengah Atas, di Jakarta, Rabu (17/5/2023).
Sikap intoleransi di kalangan siswa terlihat dari bisa menerima ketua OSIS yang berbeda sepanjang bukan perbedaan agama. Tentang syariat Islam di negara dengan populasi mayoritas Muslim juga disetujui, mencapai 56,3 persen, di sekolah negeri dan swasta.
Adapun sikap berpotensi terpapar ekstremisme atau radikalisme terlihat dari persetujuan Pancasila sebagai ideologi yang bisa diubah. Ada anggapan bahwa agama lain selain agama yang dianutnya tergolong sesat, yang disetujui sekitar 25,6 persen responden. Demikian pula sikap bersedia memerangi orang dengan agama berbeda dan mendapatkan upah surga juga tinggi.
Halili mengutarakan, survei oleh Setara Institute bersama International NGO Forum on Indonesian Development soal sikap toleransi siswa SMA tersebut dirangkum dari 12 pertanyaan kunci. Survei dilakukan di lima kota (Surabaya, Surakarta, Bogor, Padang, dan Bandung) untuk memperoleh gambaran terkini situasi toleransi siswa dari sampel 947 responden dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Indikator toleran terlihat pada penerimaan perbedaan keyakinan, perbedaan ras, empati terhadap minoritas, dan penerimaan jender. Intoleran pasif ada indikator seperti penggunaan jilbab di sekolah, pemimpin seagama, dan penerimaan pemimpin perempuan. Adapun intoleransi negatif terlihat pada penggunaan kekerasan, penolakan negara Barat, dan pelembagaan agama dalam hukum negara.
Intoleran pasif
Hasil dari survei tahun 2023 menunjukkan sekitar 70,2 persen anak-anak remaja masih toleran dan intoleran pasif sekitar 24,2 persen. Namun, jumlah siswa yang berada di toleran pasif ini juga memungkinkan penambahan pada jumlah siswa yang intoleran aktif dan potensi terpapar.
”Jika dilihat dari kondisi sejak tahun 2016, ada perubahan tren yang kalau harus dibaca dengan kacamata kecemasan, adanya di level kecemasan. Kelompok intoleran aktif kini mencapai 5 persen, dari yang sebelumnya 2,4 persen. Demikian pula yang potensi terpapar menjadi 0,6 persen atau naik dari yang sebelumnya 0,3 persen,” kata Halili.
Melihat potret intoleransi di SMA ini, meski tetap yang toleran naik, ada tantangan yang intoleran pasif bisa berubah menjadi toleran atau sebaliknya. Karena itu, intervensi pendidikan di rumah, sekolah, dan masyarakat untuk menguatkan wawasan kebangsaan dan kebinekaan harus diperkuat dengan cara yang efektif dan holistik. ”Penyelenggara pendidikan mesti meningkatkan pembudayaan wawasan kebangsaan dan mengarusutamakan toleransi,” ungkapnya.
Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity Rizqa Antika mengatakan perlu menganalisis isu toleransi ini dari perspektif jender. Perempuan memiliki kerentanan intoleran, baik ada maupun tidak ada simbol keagamaan di tubuhnya.
Terkait isu atribut keagamaan, pada tahun 2021 INFID menemukan kalangan milenial dan Gen Z cenderung mendukung penggunaan seragam sesuai agama mayoritas di daerah. ”Ini mengkhawatirkan, apalagi dengan adanya paksaan menggunakan jilbab di sekolah. Kalau tidak direndam, eskalasinya akan makin tinggi. Hal ini juga bisa berdampak simbol ajaran agama karena dipaksakan menjadi trauma,” ungkap Rizqa.
Secara terpisah, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim terus menyuarakan komitmen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk menghapus ”tiga dosa besar” di dunia pendidikan. Ketiga hal tersebut meliputi antara lain intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual.
Adapun komitmen ini terwujud salah satunya melalui pembentukan Pusat Penguatan Karakter (Puspeka). Puspeka menjadi satuan kerja di dalam kementerian yang bertugas mengedukasi publik tentang isu kekerasan di lingkungan pendidikan serta memperkuat karakter dengan tujuan mewujudkan Pelajar Pancasila.
”Untuk mencintai belajar, menjadi pembelajar sepanjang hayat, anak-anak harus belajar di lingkungan yang aman dan nyaman, bebas dari kekerasan. Kemendikbudristek mengambil langkah berani dan serius untuk mencegah dan menangani tiga dosa besar di lingkungan pendidikan, mulai dari jenjang paling dasar sampai tinggi,” kata Nadiem.