Intoleransi di dunia pendidikan masih menjadi problem. Benih-benih sikap intoleransi masih ditemukan di lingkungan satuan pendidikan, baik di tingkat menengah maupun pendidikan tinggi. Bagaimana solusinya?
Oleh
MB Dewi Pancawati
·4 menit baca
Benih-benih intoleransi di dunia pendidikan ini terpotret dari riset yang dilakukan Setara Institute. Survei Setara Institute pada 2017 terhadap siswa 171 SMA Negeri di Jakarta dan Bandung Raya.
Riset ini menemukan, enam dari sepuluh pelajar SMA tersebut sudah membudayakan atau berperilaku toleran dalam kehidupan sehari-hari. Namun, masih ada sekitar 40 persen yang menunjukkan sikap intoleran, yakni 35,7 persen di antaranya berperilaku intoleran pasif. Sementara ada 2,4 persen yang menunjukkan perilaku intoleran aktif, bahkan 0,3 persen sudah masuk terpapar ideologi teror.
Survei juga menemukan, ada sekitar 8,5 persen responden yang menyatakan setuju jika Pancasila sebagai dasar negara diganti dengan dasar agama tertentu. Dengan kata lain, ada 1 dari 12 siswa yang setuju Pancasila sebagai dasar negara diganti.
Potret terhadap perilaku intoleran yang ditunjukkan oleh pelajar SMA atau dalam lingkungan pendidikan ini semakin memprihatinkan dan mencemaskan ketika Setara Institute pada tahun 2019 melakukan survei yang sama terhadap mahasiswa di 10 perguruan tinggi negeri. Survei kuantitatif terkait tipologi beragama mahasiswa ini juga menunjukkan persoalan intoleransi yang serius.
Hasilnya, pada ranah publik kenegaraan dalam lapis kelompok formalisme-substansialis, terpotret kelompok sangat formalis di lingkungan mahasiswa sebesar 8,1 persen, tetapi mereka yang bertipe formalis cukup besar di angka 24 persen.
Menguatnya formalisme keagamaan ini dengan sendirinya akan melahirkan perilaku intoleran yang dapat mengancam segi-segi kemajemukan yang kita miliki, termasuk ideologi bangsa, yaitu Pancasila.
Halili Hasan, Direktur Riset Setara Institute dalam webinar ”Peran Pendidikan Melawan Intoleransi dan Mengawal Kebhinekaan” (1/3/2023) mengatakan, ”Level kecemasan di tingkat perguruan tinggi ini perlu ditingkatkan, jika di level SMA 2,7 persen di perguruan tinggi ada 8 persen kelompok yang sangat formalis yang mempunyai imajinasi menjadikan atau melembagakan ajaran agama sebagai instrumen/regulasi negara, ini problematik.”
Sementara itu, pada lapis kelas sosial-kemasyarakatan, tipologi keagamaan mahasiswa terpotret semakin menguat sisi eksklusivismenya. Hal ini terlihat dari tingginya persentase responden pada kelompok eksklusif (21,8 persen) dan sangat eksklusif (19,5 persen) dibanding kelompok yang inklusif dan sangat inklusif dengan total 38,7 persen.
Potret pelajar dan mahasiswa sebagai generasi muda bangsa yang demikian tentu mengkhawatirkan dan mengancam iklim kebinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Dalam lingkup pendidikan, iklim kebinekaan menyangkut bagaimana lingkungan sekolah menyikapi keragaman, seperti perbedaan individu, identitas, maupun latar belakang sosial-budaya dan mengenai komitmen kebangsaan.
Terkait iklim kebinekaan, hasil asesmen nasional Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada satuan pendidikan menunjukkan, sebanyak 32 persen satuan pendidikan telah membudayakan sikap kebinekaan. Namun, masih ada 59 persen satuan pendidikan yang perlu menguatkan sikap kebinekaan serta 9 persen perlu meningkatkan sikap kebinekaan.
Dengan demikian, hampir 70 persen satuan pendidikan masih memerlukan perhatian lebih serius agar iklim kebinekaan lebih diterima dan membudaya dalam lingkungan pendidikan.
Indikatornya, satuan pendidikan sudah mampu menghadirkan suasana proses pembelajaran yang menjunjung tinggi toleransi agama/kepercayaan dan budaya; mendapatkan pengalaman belajar yang berkualitas; mendukung kesetaraan agama/kepercayaan, dan budaya; serta memperkuat nasionalisme.
Jika iklim kebinekaan dipotret hanya pada satuan pendidikan setingkat SMA/sederajat menurut provinsi, sebanyak 18 provinsi sudah masuk kategori tinggi (membudaya). Sementara 16 provinsi lainnya masih dalam kategori sedang (merintis), yaitu satuan pendidikan mulai mengembangkan iklim kebinekaan tersebut.
Selain iklim kebinekaan, untuk menumbuhkan sikap toleransi, satuan pendidikan juga diharapkan mampu menghadirkan iklim inklusivitas, yaitu bagaimana lingkungan sekolah menyikapi keragaman seperti perbedaan individu, identitas, maupun latar belakang sosial-budaya, terutama bagi siswa disabilitas dan cerdas berbakat istimewa.
Rapor pendidikan 2022 menunjukkan, mayoritas satuan pendidikan setingkat SMA/sederajat di 30 provinsi masih dalam kategori merintis untuk mengembangkan iklim yang inklusif.
Sementara empat provinsi, yaitu Aceh, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Utara, masuk kategori perlu peningkatan. Satuan pendidikan belum mampu menghadirkan suasana proses pembelajaran yang menyediakan layanan yang ramah bagi peserta didik dengan disabilitas dan cerdas berbakat istimewa.
Oleh karena itu mencintai keberagaman penting sebagai dasar untuk memperkuat peran pendidikan dalam melawan intoleransi, mengingat kita hidup di lingkungan yang sangat majemuk.
Sebuah kondisi yang tidak bisa dihindari. Menurut survei BPS, 2010, Indonesia memiliki 6 agama dan banyak aliran kepercayaan, sekitar 1.128 suku dan ribuan sub-suku, serta 633 kelompok suku besar. Selain itu, keanekaragaman data suku di Indonesia jika diukur dengan Ethnic Fractionalize Index (EFI) menunjukkan angka 0,81. Hal ini berarti Indonesia sangat heterogen/majemuk.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek, untuk membentengi siswa agar bisa membudayakan sikap toleran dalam kehidupan sehari-hari.
Jika mengacu pada hasil survei Setara Institute di tingkat SMA, paling tidak agar 35,7 persen siswa yang masih memiliki sikap intoleran pasif bisa terdorong masuk kelompok siswa yang sudah memiliki sikap toleran. Lebih baik lagi jika 2,7 persen kelompok siswa intoleran aktif dan teror juga ikut berubah.
Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah, yaitu memperkuat peran pendidikan untuk melawan intoleransi. Kebijakan Merdeka Belajar merupakan transformasi pendidikan yang dilakukan demi terwujudnya sumber daya manusia (SDM) unggul Indonesia yang memiliki profil pelajar Pancasila sebagai tujuannya.
Tujuan tersebut adalah terbentuknya pelajar yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, kebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Oleh karena itu, pendidikan karakter menjadi salah satu prioritas dalam Merdeka Belajar dan menjadi output capaian hasil belajar selain literasi dan numerasi.
Berdasarkan capaian hasil pembelajaran, indeks karakter tingkat SMA/sederajat menunjukkan, hanya tujuh provinsi (Bali, Bangka Belitung, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat) yang masuk kategori membudaya.
Artinya, siswa secara proaktif dan konsisten menerapkan nilai-nilai karakter pelajar Pancasila. Sementara SMA di 27 provinsi lainnya masih dalam taraf berkembang (terbiasa menerapkan).
Capaian ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter siswa masih perlu ditingkatkan dan peran dunia pendidikan untuk mengikis sikap intoleransi perlu diperkuat. Sebab, berpengetahuan saja tidak cukup untuk menghadapi dunia nyata. Intoleransi akan menghambat generasi muda saat berkarya dan mengembangkan diri. (LITBANG KOMPAS)